Artikel

Mungkinkah saat ini kita masih bisa melihat Nabi Muhammad?

24 Oct 2022 08:12 WIB
1382
.
Mungkinkah saat ini kita masih bisa melihat Nabi Muhammad? Banyak ulama melihat nabi secara langsung.

Sebagai Muslim sejati, bermimpi atau bahkan bertemu rasulullah saw merupakan keinginan terbesar yang terus dicita-citakan. Sebagian orang bahkan rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi memuluskan perjalanan (spiritual) untuk bertemu baginda Nabi. Sudah sepantasnya setiap individu Muslim mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Nabi Muhammad, kekasih mereka yang sesungguhnya.

Dahulu Umar ra, pernah tiba-tiba menyatakan cinta kepada kekasihnya, baginda Nabi Muhammad “Aku teramat mencintaimu, wahai rasul. Namun cinta itu tak melebihi cinta pada diriku sendiri”. Sebuah perasaan yang meluap-luap dan tidak lagi bisa dibendung oleh Umar ra. “La Yu’minu Ahadukum Hatta Akuna Ahabba Ilaihi Min Waladihi Wa Walidihi Wa al-Nasi Ajma’in”. Keimanan kalian belum sempurna bila tidak bisa mencintaiku melebihi anak, orang tua, dan bahkan manusia seluruhnya. Tutur Nabi kepada Umar ra. Spontan Umar ra menimpali “Kalau begitu, aku mencintaimu melebihi semua itu”.

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhori mengemukakan cinta yang dimaksud Nabi saw adalah cinta yang diusahakan (ikhtiyari) bukan semata-mata cinta yang tumbuh alami (tabhi’i) begitu saja. Sebab, tidak mungkin Umar ra mampu merubah perasaannya secepat itu. Dan --kata Ibnu Hajar-- maksud mencintai Nabi melebihi segalanya adalah mendahulukan kepentingan Nabi saw daripada kepentingan yang lain.

Mungkinkah Kita Bisa Melihat Nabi saw?

Abu Hurairah meriwayatkan sabda Nabi “Man Roani Fi al-Manam Fa Sayaroni Fi al-Yaqdzoh Wala Yatamatsalu al-Syaitonu Bii”, siapa yang pernah melihatku di (alam) mimpi, maka ia juga akan melihatku secara terjaga, setan tak bisa menyerupai bentukku. Kata sebagian ulama, ini merupakan satu keistimewaan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad. Selain mimpi bertemu atau melihat Nabi adalah sebuah kebenaran --bukan bunga tidur-- yang perlu dicatat juga setan tidak bisa meniru atau menyerupai Nabi dalam mimpi (maupun terjaga). Ini agar setan tidak kuasa berdusta atas nama Nabi melalui mimpi seorang Muslim.

Bagi penulis, hadist di atas ibarat lautan tak bertepi, memberikan ruang interpretasi yang amat luas bagi para cendikiawan Muslim guna memahami makna yang dimaksud Nabi Muhammad dalam sabdanya itu. Ada yang memahami dengan melihat Nabi di dunia. Di sisi lain ada pula yang memaknainya dengan perjumpaan di akhirat kelak.

Imam Nawawi mengatakan hadist Nabi tersebut memiliki beragam kemungkinan; Boleh jadi hadist tersebut hanya tertentu kepada orang-orang Muslim yang hidup di masa Nabi Muhammad saw. Artinya seorang Muslim yang tidak bisa ikut hijrah ke Madinah bersama Nabi dan kemudian bermimpi beliau, akan dipermudah jalannya untuk hijrah serta melihat Nabi saw secara langsung. Atau bisa juga tidak tertentu kepada mereka yang tidak ikut hijrah bersama Nabi. Maka, maknanya apa yang dilihatnya dalam mimpi akan segera menjadi kenyataan.

Intinya --tulis Imam Nawawi lebih lanjut-- tidak mungkin dimaknai melihat Nabi (kelak) di akhirat. Sebab kenyataannya, di akhirat Nabi Muhammad saw akan melihat semua umatnya tanpa terkecuali. Kalaupun kita berasumsi maknanya adalah melihat Nabi saw di akhirat, maka maksudnya melihat secara khusus dan berdekatan dengan beliau. Bisa pula diartikan mendapat syafa’at (pertolongan) kelak di akhirat.

Selain itu ada pandangan lain  dari Abu Jamroh dan sekelompok ulama lainnya yang mengatakan bahwa maknanya adalah benar-benar melihat Nabi saw di dunia dan bisa bercakap-cakap dengan beliau. Sebuah karamah (keistimewaan) yang hanya diberikan kepada orang-orang pilihan Allah swt, para wali dan orang-orang shalih. Pandangan ini menjadi jawaban dari kegelisahan yang selama ini terbetik di benak penulis soal kemungkinan melihat Nabi saw secara kasat mata. Mengingat banyak riwayat dari para shalih yang menceritakan pengalaman bermimpi Nabi Muhammad dan melihatnya secara langsung. Bahkan, menanyakan banyak hal terkait urusan yang tak bisa diselesaikan sendiri dan meminta saran kepada baginda Nabi saw.

Para Ulama Melihat Nabi Secara Langsung

Bukan hanya mendengar “kabar burung” yang tak jelas kebenarannya, lebih dari itu bahkan penulis membaca di beberapa literatur khas pesantren yang menceritakan kemungkinan berjumpa dengan baginda Nabi secara terjaga (bukan mimpi). Misalnya, penulis menjumpai ketika membaca al-Mizan al-Kubro karya Syekh Abdul Wahhab al-Sya’roni, seorang faqih-sufi yang amat masyhur itu. Ia menulis :

وكيف يصح خروجهم عن الشريعة مع اطلاعهم على مواد أقوالهم من الكتاب والسنة واقوال الصحابة ومع الكشف الصحيح ومع اجتماع روحهم برسول الله صلى الله عليه وسلم وسؤالهم عن كل شيء توقفوا فيه من الأدلة هل هذا من قولك يا رسول الله ام لا يقظة ومشافهة بالشروط المعروفة بين اهل الكشف. وكذلك كانوا يسألونه عن كل شيء فهموه من الكتاب والسنة قبل ان يدونوه في كتبهم ويدينوا الله تعالى به ويقولون يا رسول الله قد فهمنا كذا من اية كذا وفهمنا كذا من قولك في الحديث الفلاني كذا فهل ترتضيه ام لا.

“Bagaimana mungkin para imam mazhab keluar dari koridor syariat sementara mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang isi al-Qur’an,  hadis dan aqwal para sahabat yang dikuatkan dengan intuisi (kasyf) yang mereka miliki. Di samping itu, ruh mereka senantiasa membersamai ruh rasulullah saw. Lebih dari itu, setiap kali ada persoalan hukum yang tak dipahami, mereka menanyakan langsung (yaqdzoh) kepada Nabi Muhammad ‘apa benar ini sabdamu, rasul?. Para imam mazhab juga mentashih pemahaman mereka tentang al-Qur’an dan Sunnah kepada rasulullah sebelum dituangkan ke dalam bentuk tulisan dan diamalkan. Mereka berkata; ‘wahai rasulullah, kami memahami ini dari ayat ini atau dari hadis yang diriwayatkan fulan, bagaimana menurut anda?”

Melalui narasi di atas, Syekh Abdul Wahhab al-Sya’roni hendak menguatkan argumen-argumen nya tentang kebenaran para imam mazhab dalam pendapat-pendapat fikih yang mereka sampaikan. Selebihnya, al-Sya’roni juga ingin mengatakan bahwa para imam mazhab adalah orang-orang shalih pilihan Allah swt, yang diberi karunia bisa melihat Nabi Muhammad saw secara langsung.

Tidak berhenti di situ saja, al-Sya’roni juga meceritakan sejumlah wali yang diberi karunia bisa melihat Nabi Muhammad dalam keadaan sadar. Salah satu di antaranya adalah Syekh Abdul Qodir al-Syadzili. Suatu ketika ada seorang yang berperkara di hadapan raja dan meminta pertolongan kepada Syekh Abdul Qodir agar menyelamatkannya. Tetapi Syekh Abdul Qodir malah mengirim balasan “Wahai saudaraku! sampai detik ini aku sudah berjumpa rasulullah saw sebanyak 75 kali. Andai bukan karena khawatir Nabi tidak datang lagi lantaran aku berkunjung kepada raja, niscaya aku akan membantumu. Tapi asal kau tahu, aku adalah pelayan hadist-hadist rasulullah. Aku selalu butuh rasul untuk mentashih hadist-hadist yang dianggap dha’if (lemah) oleh para ahli hadist (muhaddist). Sudah barang tentu itu lebih bermanfaat (untuk orang banyak) daripada membantumu.”

Masih dalam kitab yang sama, al-Sya’roni juga melaporkan sejumlah wali besar seperti Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi dan lainnya yang mengaku senantiasa melihat Nabi Muhammad saw. 

وقد بلغنا عن الشيخ أبي الحسن الشاذلي وتلميذه الشيخ أبي العباس المرسي وغيرهما أنهم كانو يقولون لو احتجبت عنا رؤية رسول الله صلى الله عليه وسلم طرفة عين ما عددنا انفسنا من جملة المسلمين

Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi dan lainnya berkata, “Andai kami terhijab --meski hanya sekejap mata-- melihat rasulullah saw maka kami tak pantas disebut sebagai seorang Muslim.”

Secara tidak langsung, mereka hendak mengatakan bahwa mereka senantiasa bertemu dengan rasulullah saw dan berusaha agar pertemuan itu tidak terhenti sedikitpun. Akhirnya--meminjam pepatah yang pernah disampaikan Imam Syafi’i-- “Uhibbu al-Shalihiin Wa Lastu Minhum La’alli An Anala Bihi Syafa’atah”. Aku mencintai orang-orang shalih meski aku bukan dari kalangan mereka. Barangkali dengan begitu aku bisa mendapat syafa’at (di hari kiamat). Wallahu A’lam

Banyuwangi, 15 Oktober 2022.

 Wandi Isdiyanto
 Wandi Isdiyanto / 9 Artikel

Saat ini menjadi tenaga pengajar Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur. Meminati kajian tafsir, hadits, fikih, ushul fikih dan sejarah.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: