Esai

Pengambilan keputusan dalam perspektif Ibnu Taimiyah (2)

01 Jun 2022 07:18 WIB
772
.
Pengambilan keputusan dalam perspektif Ibnu Taimiyah (2) Parlemen Liga Arab.

Di dalam al-Quran, ada dua ayat yang menyerukan umat Islam untuk bermusyawarah, yaitu QS. Ali Imran 3:159 dan QS. al-Syura 42:38.

Dalam ayat yang pertama, keharusan musyawarah bukan saja antar umat Islam, tapi keharusan bermusyawarah (berdialog) juga dianjurkan dengan orang-orang di luar umat Islam. Umat Islam disuruh bersikap lemah lembut dan mengembangkan iklim dialog, dan dilarang bersikap kasar. Hal itu menunjukkan bahwa, Islam adalah a mercy to all creation (rahmat bagi alam semesta), karena di saat umat Islam kalah dalam perang Uhud, mereka justru disuruh bersikap lemah lembut dan bermusyawarah.

Baca juga: Pengambilan keputusan dalam perspektif Ibnu Taimiyah (1)

Ayat kedua, kata-kata syura disebutkan bersamaan dengan kepatuhan shalat dan infak yang berarti bahwa, musyawarah termasuk salah satu tanda orang yang beriman. Konsultasi sebagai kata kunci bagi syura, merupakan prinsip yang sepenuhnya dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan orang-orang Islam awal (shahabat) dalam kehidupan individu dan masyarakat. Syura yang belakangan dijadikan salah satu prinsip dalam kehidupan bernegara, merupakan cara ideal yang mesti dilakukan setiap orang agar tidak bersikap sombong dan tidak melepaskan tanggung jawab.

Terhadap ayat-ayat di atas, Ibnu Taimiyah melihat bahwa perintah kepada Rasulullah SAW dalam ayat-ayat tersebut dimaksudkan agar umat Islam mengambil suri tauladan dari beliau dalam proses pengambilan keputusan sebagai bagian dari tugas keagamaan. Sebagai suatu proses, konsep konsultasi Ibnu Taimiyah, merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pemikirannya tentang sistem kekuasaan negara, terutama yang berkaitan dengan konsep umat dan baiat.

Sejalan dengan pendapat mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ibnu Taimiyah memandang bahwa umat adalah pemilik utama kekuasaan negara. Penentuan pilihan terhadap pelaku kekuasaan dan jalannya kekuasaan, sepenuhnya berada di tangan umat. Mereka adalah pemilik kepemimpinan secara umum. Mereka berhak memilih dan memberhentikan pemimpin, sebagaimana mereka pula yang menentukan garis-garis besar haluan negara yang mesti dilaksanakan pemimpin.

Garis-garis otoritas bukan pada seorang pemimpin, tapi pada umat. Ibnu Taimiyah menyatakan: Kami tidak menerima bahwa tanggung jawab memelihara Syariah hanya dibebankan kepada seorang imam. Sesungguhnya umat secara keseluruhan yang bertanggung jawab memelihara Syariah. Syariah yang dipelihara seluruh umat akan lebih baik dari pada hanya dibebankan pemeliharannya kepada satu orang pemimpin.

Di dalam tubuh umat terdapat berbagai unsur yang saling terkait sebagai sebuah kesatuan organis. Kesatuan itu direkat oleh rasa sodilaritas yang tinggi yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, sebagai suatu kesatuan tubuh atau bangunan. Keputusan-keputusan, termasuk masalah kepemimpinan negara yang ditetapkan oleh kesatuan umat itu sebagai suatu konsensus (ijma), adalah merupakan keputusan-keputusan terbaik yang harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Al-Quran sendiri memberi gelar umat ini sebagai “khaira ummah (sebaik-baik umat)”, di mana Nabi berkata: “Sesungguhnya kebaikan, petunjuk dan rahmat bersama jama’ah, dan sesungguhnya Allah tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan”. Di dalam umat ini selalu ada kelompok yang menampakkan kebenaran (al-haq) yang tidak bisa dirusak oleh siapa saja yang menentang atau menghina.

Logika yang dikedepankan Ibnu Taimiyah berkenaan dengan keabsahan ijma’ sebagai suatu kebenaran adalah bahwa ketaatan mutlak itu hanya kepada Allah dan hukum itu hanya hukum Allah. Mentaati Rasul itu wajib, karena taat kepadanya berarti taat kepada Allah. Mentaati orang-orang mukmin itu wajib, karena mentaati mereka berarti mentaati Allah dan Rasul-Nya. Berhukum kepada Rasul itu wajib, karena hukum yang ditetapkan adalah hukum Allah. Begitu pula hukum yang ditetapkan umat adalah hukum Allah, oleh karena itu wajib ditaati. Dalam ijmainilah prinsip musyawarah dikembangkan, yaitu bahwa semua permasalahan umat ditentukan bersama oleh umat.

Dalam praktik kenegaraan, sebagaimana konsep yang diajukan Muhammad Iqbal (1873-1938), ijma’ merupakan hasil ijtihad bersama para ulama yang forumnya dapat dilembagakan menjadi sebuah lembaga legislatif (lembaga pembuat undang-undang). Dari lembaga tersebut negara memproses setiap undang-undang untuk ditetapkan sebagai undang-undang negara. Dalam teori khilafah klasik, suara umat diwakili oleh suatu lembaga yang disebut dengan ahl al-hall wa al-aqd (para pemegang kekuatan tertinggi untuk mengikat dan melepaskan). Lembaga ini tidak dikenal pada awal sejarah Islam dan baru populer lama setelah Daulat Bani Abbas berkuasa. Seorang baru dianggap sah menjadi pemimpin (imam) bila ditetapkan oleh lembaga ini melalui proses baiat.

Meskipun konsep lembaga ahl al-hall wa al-aqd dimaksudkan mewakili mayoritas umat, tapi sulit bisa diperbandingkan dengan sebuah parlemen dalam suatu negara modern. Hal itu bukan saja karena orang-orang yang duduk di situ tidak mencerminkan wakil umat, tapi tidak jarang pembentukannya hanya fiktif belaka guna melegalisasi sebuah kediktatoran penguasa. Penjelasan al-Mawardi bahwa baiat sudah dianggap sah walau hanya dilakukan satu orang, dapat mengarah pada praktik suksesi turun temurun, dan dapat membuka peluang terjadinya baiat lain dari para pembangkang.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah mengkritik lembaga ini sebagai tidak mempraktikkan prinsip musyawarah. Lembaga ahl al-hall wa al-aqd yang bersifat elitis dan hanya terdiri dari para ulama terbatas, tidak bisa mewakili umat. Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus dijalankan bukan melalui ijma’ sekelompok tertentu, tapi harus melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili oleh Ahl al-Syawkah. Ahl al-Syawkah adalah orang-orang yang mempunyai qudrah (kekuatan) dan sultah (kekuasaan) di dalam masyarakat, yang tanpa memandang profesi dan kedudukan, mereka ditaati dan dihormati masyarakat. Bagi Ibnu Taimiyah, karena imamah hanya terwujud berkat adanya kekuatan dan otoritas, maka baiat harus dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan dan otoritas itu, yaitu Ahl al-Syawkah.

Secara riilnya, Ahl al-Syawkah itu terdiri dari para ulama dan umara. Ulama harus dipahami dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmu pengetahuan dan pendidikannya, mampu menerjemahkan Syariah secara tepat. Ulama bukan saja tokoh-tokoh tertentu yang ahli di bidang fiqih atau kalam. Ulama mencakup mereka yang ahli di bidang ilmu pengetahuan yang lain. Sedangkan umara’, terdiri dari para tokoh yang mempunyai wilayah (otoritas) di masyarakat.

Orang-orang inilah yang bertanggung jawab melakukan kontrak perjanjian (bai’ah) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Pada gilirannya nanti, setelah dilakukan baiat dan seorang pemimpin telah menjalankan tugasnya, maka Ahl al-Syawkah bertugas memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang umat dan bagaimana perannya dalam suatu negara, sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam setiap keputusan, prinsip syura harus ditegakkan. Adanya kebersamaan seluruh umat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik.

Hal itu tentu saja berbeda dengan paham Syiah yang hanya mengenal rahmat Allah dalam menentukan seorang pemimpin, dan berbeda pula dengan paham Sunni tradisional yang hanya membatasi syura pada kelompok elit ahl al-hall wa al-aqd. Jadi bila peran syura begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyah, maka negara yang diinginkannya adalah negara demokratis, di mana suara umat menjadi sangat menentukan, meskipun tetap harus dibedakan dengan pandangan demokrasi dalam paham barat.

Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah memberi batasan terhadap masalah-masalah yang bisa dimusyawarahkan. Tidak semua masalah umat bisa dikonsultasikan. Di sana ada wilayah yang kebal musyawarah, yaitu wilayah yang sudah secara tegas dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah sebagai ajaran dasar. Sedangkan ajaran bukan dasar sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Ibnu Taimiyah menegaskan tentang perlunya syura.

Karena masalah ketatanegaraan, baik masalah imamah maupun masalah proses pelaksanaan negara, tidak secara tegas dibicarakan oleh al-Quran dan al-Sunnah, maka intervensi ijtihad menjadi sangat dominan, dan dalam sudut pandang seperti inilah Ibnu Taimiyah memberikan pandangannya tentang negara. Hal itu akan terasa berbeda bila dilihat dari pandangan Syiah dan Sunni. Masing-masing memberikan konsep dan rumusan-rumusan yang tidak memberi ruang gerak akal secara leluasa. Konsep imamah Syiah, nyaris tak terjamah oleh akal karena faktor-faktor ilahiyah sangat dominan.

Sementara konsep khilafah Sunni, meskipun membuka peluang konsultasi, tapi ruang geraknya terasa sempit. Hal itu berbeda dengan konsep Ibnu Taimiyah. Baginya, bila negara dibutuhkan oleh umat dengan pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama, maka pemimpin, bentuk dan konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil konsultasi (musyawarah) umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan.

Para pemimpin negara dalam menjalankan tugasnya harus bersandar pada prinsip syura dalam menata problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyah, bila konstitusi negara harus berdasarkan Syariah, maka peran ulama sangat besar guna menerjemahkan Syariah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Syariah. Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang mempunyai otoritas dari semua strata masyarakat yang berkepentingan, dan dari semua orang yang sanggup memberikan pendapat.

Ibnu Taimiyah memberi petunjuk tentang cara bermusyawarah yang baik. Pertama, agar memulai pendekatan setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash al-Quran dan al-Sunah. Bila ada pendapat yang paling dekat kepada nash, maka pendapat itulah yang diikuti. Dilarang mengikuti pendapat seseorang karena jabatan. Ibnu Taimiyah berkata: Bila dalam bermusyawarah terjadi silang pendapat, maka setiap orang dipersilahkan menyampaikan pendapatnya, kemudian yang diambil adalah pendapat yang paling dekat kepada al-Quran dan al-Sunnah.

Hal itu sesuai dengan petunjuk al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (al-Sunnah)nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. QS. al-Nisa’ 4: 59.

Bila masalah yang diperdebatkan itu tidak dapat diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu, atau karena ketidakmampuan peserta musyawarah, maka diperbolehkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkat kapasitas keilmuan dan keagamaannya.

Apakah dengan konsep syura Ibnu Taimiyah yang begitu terbuka, berarti bahwa Islam menganut paham demokrasi dalam berpolitik? Tidak dapat sepenuhnya disamakan antara demokrasi dengan prinsip syura. Hal itu karena, sebagaimana yang telah dijelaskan Ibnu Taimiyah, dalam Islam terdapat wilayah-wilayah yang tidak boleh disentuh oleh syura. Syura hanya berada pada kawasan yang tidak terbicarakan oleh wahyu. Demokrasi adalah produk Barat yang tidak mengenal pembatasan seperti itu. Namun tidak pula dikatakan bahwa syura sama sekali berbeda dengan demokrasi. Setidaknya Fazlur Rahman memandang konsep syura dan demokrasi sebagai yang tidak perlu dipertentangkan. Menurut Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh A. Syafii Maarif, negara Islam adalah negara demokrasi karena keberpihakannya kepada komunitas umat.

Hanya saja, sebagaimana konsep syura itu sendiri, bentuk-bentuk demokrasi dapat saja berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi dalam suatu masyarakat. Dan untuk menentukan bentuk-bentuk itu peranan ijtihad menjadi sangat menentukan. Yang paling pokok adalah bagaimana konsep syura tetap dipertahankan dan dihormati secara sadar. Wallahu a’lam.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf / 105 Artikel

Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: