Buku
Perihal Jalan al-Mutanabi dan ambisiusitas literasi
“Pada masa jayanya, Jalan al-Mutanabi mewujudkan pepatah kuno: Kairo yang menulis, Beirut yang menerbitkan, Bagdad yang membaca.”
Demikian pepatah yang termaktub dalam salah satu artikel bertajuk Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad dalam buku ini. Sebagai judul yang dipakai dalam buku ini, artikel tersebut menceritakan kronologis terjadinya bom bunuh diri yang mengakibatkan surutnya pembeli dan pembaca buku yang ada di jalan al-Mutanabi, pusat komunitas literasi di Bagdad, Irak.
Artikel tersebut ditulis Anthony Shadid untuk mengenang Hayawi, pemilik dan penjual buku dan al-Quran di toko buku yang berada di al-Mutanabi itu dan toko lainnya yang tersebar di seluruh kota. Ia mengembangkan bisnis dengan kakak sulungnya yang telah dirintis almarhum ayahnya sejak tahun 1954. Dan sesudah tahun 1993, kelima saudara Hayawi mewarisi bisnis itu.
Keluarganya adalah Muslim Sunni, tetapi Hayawi mengecilkan pentingnya identitas itu demi mengasah kepekaan diri dan ia tinggal bersama istri dan putranya, Ahmed Akram, di lingkungan yang didominasi muslim Syiah. Ia bangga atas kemandiriannya, menjadi pribadi yang merayakan pusaran abu-abu, suatu cerminan terbaik dari intelektual yang sudah sepatutnya merepresentasikan Jalan al-Mutanabi. (hlm.41)
Sangat naas, ketika kejadian bom bunuh diri itu terjadi di jalan al-Mutanabi yang membuat pengunjung kian hari kian surut. Pada 5 Maret 2007 sejumlah 26 orang tewas akibat kejadian ini, termasuk Hayawi. Aroma pembakaran buku-buku yang ada menguar menyisakan abu dan asap yang memedihkan mata. Jalan tersebut tak lagi ramai pengunjung. Para pembaca buku makin habis, merasa diri mereka tak aman lagi berada di jalan tersebut.
Sejarah panjang yang telah disiratkan lewat pepatah kuno itu tak lagi relevan dengan zaman sekarang. Betapa pentingnya penghargaan Bagdad pada budaya baca yang diyakini sebagai titik berangkat majunya suatu peradaban. Jika Mesir yang menulis, kemudian Lebanon yang menerbitkan, maka Irak yang membaca. Irak yang merawat kitab-kitab ilmu pengetahuan yang ada.
Demikian adalah salah satu hasil karya reportase internasional oleh Anthony Shadid saat meliput invasi AS ke Irak. Seorang yang senantiasa diliputi rasa waswas karena meliput berbagai cerita di tengah peperangan yang melanda nyaris di seluruh negara Arab.
Namun bukan soal perang. Buku tipis tapi sarat akan gizi ini menjadi menarik karena memadukan antara jurnalisme sastra dengan renungan. Kiat-kiat dan proses para penulis dikuliti dalam buku ini. kisah-kisahnya disajikan dengan bahasa naratif yang mengalir. Salah satunya mengisahkan tentang bagaimana penulis bagus mengerjakan tulisannya. Beragam cara dilakukan; ada yang melalui jalan wawancara panjang yang berulang-ulang, ada yang menggunakan buku-buku catatan, dan pula ada yang melakukan pengkategorian lewat kartu-kartu informasi.
Buku yang tebalnya hanya 61 halaman ini sangatlah timpang dengan isinya yang begitu padat dan berisi.
Karya buku ini begitu bagus susunan terjemahannya. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa belajar dari maestro non fiksi dunia membuat kita sadar mengenai kebutuhan kepenulisan kita yang masih taraf jauh dari mereka. Mengingat karya jurnalistik kita masih kalah jauh dari penulis-penulis dalam buku ini.
Bagi yang ingin belajar bagaimana cara menulis non fiksi, maka buku ini cocok untuk dibaca dan dipelajari. Artikel-artikel yang telah diterjemahkan oleh Fahri Salam sangatlah menakjubkan. Pembaca akan tahu bagaimana menjadi penulis, dan bentuk tulisan yang bagus seperti apa.
Lima tulisan di dalamnya cukup mewakili elemen kepenulisan yang diperlukan. Tentang konsistensi menulis, kepekaannya, juga perjuangannnya mencari ide tulisan tersebut. Adalah liputan tentang Pamela Collof dan Lawrence Wright yang begitu kuat. Liputan tentang kultur bunuh diri di Jepang dan cerita tentang seberapa ‘gilanya’ Lawrence Wright dalam melakukan liputan, disajikan secara rinci.
Dikisahkan Lawrence Wright mendapati kondisi yang sangat dilematis: antara pulang untuk pemakaman sahabat karibnya dengan melanjutkan misi kepenulisannya. Akhirnya ia termenung lama, hingga akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ia harus menetap. Sebagai seorang yang yang religius, tibalah momen itu, yang ia sebut dengan mendengar suara Tuhan. Namun ia lebih suka dengan mangatakan sebagai Perasaan. Perasaan yang menjawab pertanyaan bahwa pekerjaannya itu memilki arti.
Ia menghabiskan hampir 2,5 tahun di luar negeri, bepergian ke Mesir dan Arab serta Pakistan untuk risetnya tentang latar belakang serangan al-Qaeda terhadap Menara Kembar. Karena ambisiusitasnya itu, pada 2006 terbitlah karya non fiksinya berjudul The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11 (diterjemahkan penerbit Kanisius pada 2011 berjudul Sejarah Teror: Jalan Panjang Menuju 11/9). Oleh karenya itu ia mendapat penghargaan Pulitzer untuk kategori Nonfiksi pada 2007 karena keautentikan karyanya itu.
Dengan demikian, perlu kiranya kita membaca buku ini sebagai pelajaran berharga agar dapat menulis dengan baik. Sekalipun menulis dapat dilakukan oleh siapapun, tetap saja menulis adalah pekerjaan yang tak mudah.
Judul: Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad: Belajar dari Para Maestro Nonfiksi
Penyusun: Fahri Salam
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: iii+61 halaman
Tahun Terbit: 2018
Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.