Buku

Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Kesulitan Para Sekte dalam Memahami Iradah Tuhan

12 Mar 2024 11:08 WIB
1474
.
Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Kesulitan Para Sekte dalam Memahami Iradah Tuhan Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Kesulitan Para Sekte dalam Memahami Iradah TuhanNgaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Kesulitan Para Sekte dalam Memahami Iradah Tuhan

Kita tahu sifat iradah menimbulkan kemusykilan (kesulitan untuk memahami). Tentu saja sulit bagi orang yang memikirkannya. Kenapa menimbulkan kesulitan? Di dalam teologi Islam (ilmu ketuhanan), Allah Swt. dipahami sebagai Tuhan yang Maha Qadim (ada dari dulu dan akan ada sampai kapanpun). Bahwa wujud Tuhan tidak ada permulaan dan akhir, Allah ada dari dulu dan sampai kapanpun. Jadi tidak pernah terbayangkan Allah Swt. itu tidak ada (wajib al-wujud).

Jika Dzat Tuhan qadim, pertanyaannya adalah apakah sifat-sifat Allah itu qadim atau tidak? Misalnya orang yang jomblo. Semula tidak kepengen menikah, namun karena berubah fikiran ia pada akhirnya menikah. Dengan demikian kehendak pengen menikah datang belakangan, bukan kehendak yang mulai dari dulu.

Sebab, jika kehendaknya dari sudah dulu, maka otomatis menikahnya sudah dari dulu. Fakta bahwa si jomblo baru menikah karena kehendaknya baru datang, maka menunjukkan bahwa kehendak itu baru datang kemudian hari (iradah haditsah).

Tuhan menghendaki segala sesuatu itu ada. Alam raya ini semula tidak ada kemudian menjadi ada. Menurut Ilmu Sains Modern, bahwa alam raya ini baru muncul 13,4 Miliar tahun yang lalu. Artinya, sebelum itu berarti alam raya tidak ada. Maka, alam raya datang kemudian karena Tuhan menghendakinya menjadi ada pada titik waktu tertentu. Lalu apakah iradah-Nya itu haditsah atau qadimah?

Jika kembali kepada contoh manusia, maka iradah adalah haditsah karena datang belakangan. Apakah iradah-Nya juga demikian? Iradah-Nya haditsah (datang belakangan), semula alam tidak ada lalu Allah berkehendak alam ada maka menjadi ada, apakah benar demikian?

Jika jawabannya iradah Tuhan haditsah, maka berarti di dalam diri Tuhan ada dimensi yang hadits (sifat iradah yang hadits), padahal Tuhan qadim. Sesuatu yang ditempati atau ketempatan barang yang hadits maka ia akan menjadi hadits (berarti Tuhan hadits). Artinya, jika Tuhan hadits maka berarti Tuhan tidak qadim, dan otomatis sifat qadim-Nya Tuhan menjadi batal. Di sinilah letak kesulitannya.

Sekali lagi, jika iradah-Nya Tuhan haditsah, maka berarti Tuhan ketempatan sesuatu yang haditsah, dan pastinya Tuhan hadits. Kenapa demikian? Sebab, jika kehendaknya Tuhan haditsah, otomatis semula Tuhan tidak mempunyai kehendak menciptakan alam dan kemudian menghendaki menciptakan alam, berarti ada suatu perubahan di dalam diri Tuhan. Jika berubah maka secara otomatis tidak qadim. Di sini juga para teolog menghadapi dan menemukan kesulitan.

Argumentasi Para Filosof

Syahdan, para filosof Muslim seperti Ibnu Sina mengambil jalan solusi dengan argumen bahwa alam ini tidak hadits melainkan qadim. Bahwa segala hal yang ada ini qadim, dari dulu ada dan akan ada selamanya. Hubungan alam dengan Tuhan seperti hubungan illah dengan ma’lul (antara sebab dan akibat), seperti cahaya dan matahari. Tidak mungkin sinar ada dan bayangan sekitar 10 menit kemudian. 

Kata Gus Ulil, antara sebab dan akibat tidak ada ta’ahkhur (jeda waktu), dan hubungan Tuhan dengan alam seperti itu. Memang alam ada karena Tuhan, tetapi adanya itu bersama Tuhan. Sama dengan adanya api dan panas, meskipun panas itu disebabkan oleh adanya api tetapi api dan panas adanya simultan (berbarengan). Oleh karena Tuhan abadi maka alam juga abadi (qadimun). Dengan pendapat yang demikian ini, maka para filosof akan terhindar dari kesulitan-kesulitan soal iradah.

Sementara itu Muktazilah mengatakan bahwa Tuhan memang mempunyai sifat iradah, dan iradah Tuhan itu hadits. Semula alam tidak ada lalu Tuhan menghendakinya ada, maka berarti kata Muktazilah kehendak Tuhan datang belakangan. Karena itu iradah Tuhan sekarang haditsah tidak qadimah.

Akan tetapi, iradah Tuhan yang haditsah ini tidak berada pada Tuhan, melainkan berada diluar Tuhan. Itu sebabnya, para kaum Muktazilah menteorikan dan membanyangkan adanya sifat yang tidak mempunyai tempat (sifatun la fi mahallin).

Berbeda dengan Mujassimah yang mengatakan memang iradah-Nya Tuhan itu haditsah, dan sifat iradah ini ada pada diri Tuhan serta tidak memiliki persoalan jika di dalam diri Tuhan terdapat dimensi haditsah. Demikian juga orang-orang Asy’ariyah mengatakan bahwa iradah Tuhan itu qadimah tidak haditsah, sebab tidak mungkin di dalam Dzat-Nya Tuhan terdapat sesuatu yang hadits. Sesuatu yang qadim ada pada Dzat yang qadim maka tidak ada persoalansama sekali.

Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin kalau iradah-Nya Tuhan dari dulu ada lalu kenapa alam baru muncul belakangan? Inilah yang dihadapi oleh orang-orang Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Yang jelas, masing-masing kelompok sama-sama menghadapi isykal (kesulitan) di dalam memahami dan solusinya. Hanya saja, kata Al-Ghazali, di antara solusi ini yang paling mudah dipahami (diterima) adalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah.

Kemusykilan Argumentasi Para Filosof

Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya solusi yang diberikan oleh para filosof itu mengandung masalah. Kenapa demikian? Para filosof berpendapat bahwa alam itu abadi. Alam adalah bentuk dari tindakan Tuhan. Tuhan menghendakinya lalu alam ada (fi’lullah). Jika demikian, kata Al-Ghazali, maka pendapat para filosof itu mustahil karena alam diciptakan (tindakan) oleh Tuhan.

Sementara kita pahami bahwa tindakan atau perbuatan itu tidak qadim (semula tidak ada lalu menjadi ada). Makanya jika sesuatu itu abadi maka ia bukan termasuk tindakan (karena jika dari dulu sudah ada maka itu bukan tindakan). Sesuatu disebut tindakan karena mengandaikan awalan dan akhiran.

Misalnya awalnya Anda tidak menulis status di Facebook lalu kemudian pada akhirnya menulis status, maka ini disebut tindakan (ada permulaan dan akhiran). Jika demikian, sekiranya alam abadi maka itu bukan fi’lullah. Pendek kata, jika alam abadi maka itu bukan ciptaan Tuhan.

Kemudian, jika alam abadi, itu hanya masuk akal atau hanya bisa dipahami kalau kita membayangkan ta’diru dauratin la nihayata laha (mengandaikan adanya langkah-langka yang tidak ada awalnya). Jadi, kalau alam itu abadi maka persis seperti rangkaian tasalsul atau tindakan mundur kebelakang yang tidak ada ujungnya.

Contohnya, kursi yang kita duduki berasal dari kayu, kayu dari pohon, pohon dari benih dan seterusnya. Artinya jika alam abadi maka tidak ada yang namanya origin (asal-usul). Pendapat yang seperti ini ditolak kata Al-Ghazali.

Sekali lagi, filosof mengatakan alam ini qadim dan ini bermasalah. Sebab jika alam qadim berarti alam ini bukan ciptaan Tuhan. Karena, pertama, jika alam disebut ciptaan maka itu berarti tindakan (sesuatu disebut tindakan karena ada awalnya). Kedua, jika alam qadim, maka berarti Anda membayangkan alam ini mempunyai asal-usul yang tidak ada awalnya.

Kalaupun para filosof berhasil menjawab dua isykal kesulitan itu, maka mereka pada akhirnya harus menghadapi problem berikutnya, yaitu jika alam qadim lalu bagaimana menjelaskan bahwa iradah-Nya Tuhan berhubungan dengan sesuatu yang datang baru kemudian? Kenapa sesuatu itu ada pada waktu tertentu?

Begitu juga, sekalipun alam itu qadim secara keseluruhannya, tetapi cobalah lihat isinya.Misalnya, dulunya ada pohon sekarang tumbuh menjadi ada, awalnya tidak mempunyai anak lalu kemudian mempunyai anak, pohon jeruk semula tidak berbuah sekarang sudah berbuah. Berarti, di dalam alam raya ini ada sesuatu yang datang belakangan (al-huduts).

Dan semuanya yang huduts ini terjadi karena iradah-Nya Tuhan. Lalu kenapa iradah-Nya Tuhan itu menghendaki isinya alam baru terjadi pada waktu tertentu? Atau kenapa ada sesuatu yang terjadi di alam ini pada titik waktu tertentu? Dan kalau iradah-Nya Tuhan itu yang menyebabkan sesuatu pada titik tertentu, lalu kenapa iradah-Nya Tuhan itu terjadi pada waktu itu juga, tidak sebelumnya atau setelahnya?

Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh para filosof. Tentu saja susah dalam menjawabnya. Sebab, jika mereka menjawab pertanyaan ini, maka mereka terpakasa harus meninggalkan doktrin pokok mereka tentang keabadian alam dan mengatakan bahwa, memang iradah-Nya Tuhan itu menghendaki alam ini terjadi pada waktu tertentu, tidak mungkin qadim.

Nyata-nyatanya, kata Gus Ulil, bahwa iradah-Nya Tuhan menghendaki sesuatu terjadi pada waktu tertentu dan tidak dari dulu. Karena jika alam abadi seperti pendapat para filosof itu, maka berarti tidak terjadi taalluq al-iradah fi al-huduts (tidak terjadi hubungan iradah dengan terjadinya sesuatu).

Secara tidak langsung, maka tidak mungkin Anda membayangkan ada pohon mangga karena semula tidak ada lalu menjadi ada (tidak qadim). Seperti air laut yang semula pasang lalu menjadi surut, dan sebaliknya. Lalu bagaimana Anda para filosof kata Al-Ghazali dalam menjelaskan hal semacam ini? Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf / 134 Artikel

Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: