Esai

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan

29 Jul 2024 08:09 WIB
824
.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan Dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan agama dan sekuler.

Salah satu “prestasi” yang sangat menonjol pada masa klasik, di samping perluasan dan wilayah Islam juga pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Berbagai jenis ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan studi al-Quran dan Hadits berkembang dengan pesat.

Perkembangan tersebut di samping disebabkan oleh kesadaran dan komitmen muslim terhadap ajaran Islam, juga karena faktor sosiologis yang ditandai dengan interaksi terbuka antara Islam dengan kebudayaan lokal.

Itu sebabnya, dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan agama dan sekuler. Beberapa tokoh pada masa klasik menguasai berbagai disiplin ilmu. Misalnya Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd dan Al-Razi. Ibn Sina dan Al-Razi adalah dokter yang juga ahli filsafat.

Sementara Al-Ghazali adalah ahli filsafat, fiqh dan tasawuf. Ibn Rusyd adalah ahli fiqh dan filsafat. Pembagian ilmu menurut fardhu ain dan fardhu kifayah, ternyata berdampak pada munculnya dikotomi ilmu dan kurangnya minat muslim dalam mempelajari ilmu aqliyah.

Bahwa, persoalan dikotomi ilmu merupakan salah satu problem akut dalam Pendidikan Islam kontemporer. Ketertinggalan umat Islam atas Barat antara lain disebabkan oleh lemahnya penguasaan ilmu aqliyah atau intelectual sciences. Inilah “pelajaran” sejarah yang sangat berharga.

Kita tahu, etos belajar dan pembangunan institusi pendidikan dalam masyarakat Muslim disebabkan oleh dua faktor. Pertama, alasan normatif yang bersumber pada al-Quran dan Hadits. Secara sangat tegas, kedua sumber ajaran Islam tersebut memberikan guideline bagaimana pentingnya ilmu dalam Islam.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Di dalam al-Quran, kata “ilm” dengan berbagai derivasinya berjumlah kurang lebih dua persen dari total ayat-ayat al-Quran. Di samping itu, terdapat lebih dari dua ratus (sekitar 3%) ayat al-Quran memerintahkan secara eksplisit agar manusia menggunakan fungsi kognitif dan afektif seperti mendengar, melihat, memperhatikan, memahami, menghayati dan sejenisnya. Penggunaan fungsi-fungsi tersebut sebaga “ulty of understanding” merupakan titik awal lahirnya berbagai macam ilmu pengetahuan, terutama ulum al-aqliyah (ilmu-ilmu rasional).

Selain al-Quran, dalam beberapa hadits Nabi Muhammad memerintahkan kepada setiap individu muslim untuk menuntut ilmu. Salah satu hadits Nabi yang sangat masyhur adalah: “Tuntutlah ilmu walan sampai ke Negeri Cina.” Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangun ilmu pengetahuan, al-Quran dan hadits memiliki dua fungsi integratif sebagai sumber inspirasi dan objek kajian yang kemudian melahirkan ilmu naqliyyah atau ulum al-diniyyah (ilmu-ilmu keagamaan).

Sebab yang kedua adalah pengalaman sosiologis umat Islam sebagai konsekuensi dari perluasan dan perkembangan geografis wilayah Islam. Pada masa klasik, wilayah Islam tidak hanya terkonsentrasi di Haramain (Makkah dan Madinah), akan tetapi sudah jauh melintasi Jazirah Arabia seperti Persia, Eropa dan Afrika.

Perkembangan wilayah Islam memiliki tiga kontribusi positif yang mendorong lahirnya ilmu pengetahuan. Pertama, jarak geografis yang jauh dan sistem komunikasi yang terbatas tidak memungkinkan masyarakat Muslim untuk selalu meminta fatwa dari para ulama yang mayoritas masih terkonsentrasi di Makkah dan Madinah. Kondisi ini mendorong para ulama lokal untuk melakukan ijtihad, khususnya dalam masalah-masalah yang sangat mendesak.

Kedua, terjadinya interaksi antar etnis, antar budaya dan antar agama. Terjadi interaksi intensif antara orang-orang Arab dengan orang-orang non-Arab (ajam/mawaly) yang biasanya merupakan penduduk lokal yang memiliki perbedaan budaya dan agama.

Situasi mendorong kegiatan belajar khususnya pembelajaran al-Quran, Hadits, Fiqh dan bahasa Arab. Termasuk dalam kategori ini adalah pertemuan kebudayaan Arab (Islam) dengan kebudayaan Barat (khususnya Yunani), melalui kegiatan penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab.

Ketiga, perluasan wilayah juga menyebabkan munculnya kompleksitas birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan. Banyak persoalan politik dan realitas sosial yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. Salah satu kasus adalah munculnya konflik politik yang serius pasca wafatnya Nabi.

Diantara konflik tersebut adalah perbedaan tajam di kalangan sahabat tentang siapa yang berhak menggantikan Nabi sebagai kepala Negara. Perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah dan Perang Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Diskusi teologis yang berkembang pada masa tersebut akhirnya menjadi awal kelahiran Ilmu Kalam.

Jika ditelaah secara historis, dinamika pembelajaran dan pertumbuhan ilmu pengetahuan dimulai sejak masa Nabi. Halaqah al-Quran diselenggarakan di masjid dan rumah para sahabat, di mana Nabi membaca dan mengajarkan (tilawah) al-Quran kepada para sahabat. Selanjutnya, para sahabat secara reciprocal mengajarkan bacaan (qiraat) dan tradisi menghafal (hifdl) al-Quran.

Model pembelajaran seperti ini terus berlangsung sampai masa sahabat dan menjadi tradisi utama dalam pendidikan Islam. Tradisi pembelajaran terus berlangsung di berbagai institusi pendidikan dengan bidang kajian yang terus berkembang sampa puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah.

Pertumbuhan pada masa Abbasiyah

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah ditandai oleh tiga aktivitas utama yaitu, penyusunan buku-buku, perumusan ilmu-ilmu Islam dan penerjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.

Meskipun pada dasarnya Islam tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan, para ahli mengelompokkan ilmu ke dalam beberapa klasifikasi. Pengelompokan tersebut dilakukan, terutama untuk kepentingan ilmi (kajian) bukan untuk menunjukkan pemisahan.

Dengan kata lain, secara geneologis, ilmu pengetahuan di dalam Islam diklasifikasikan menjadi dua kelompok: naqliyyah atau transmitted sciences dan ulum aqliyyah atau intellectual sciences. Ulum naqliyyah adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengkajian al-Quran dan Hadits sebagai landasan normatif (naql) dalam pengamalan Islam. Pengkajian terhadap al-Quran dan Hadits melahirkan dua ilmu pokok yaitu ulum al-Quran dan ulum al-Hadits.

Ulum al-Quran adalah ilmu yang berkaitan dengan cara memahami al-Quran. Ilmu-ilmu ini meliputi ilmu al-qiraat (ilmu tentang variasi pembacan al-Quran), ilmu al-tafsir, ilmu al-asbab al-nuzul, ilmu al-makki wa al-madani, dan ilmu al-nasikh wa al-mansukh.

Sedangkan ulum al-hadits adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits-hadits Nabi baik yang menyangkut otentisitas maupun validitasnya. Ilmu ini terdiri dari dua cabang pokok yaitu ilmu hadits dirayat dan ilmu hadits riwayat.

Di samping ilmu-ilmu tersebut, usaha pemahaman al-Quran dan hadits melahirkan berbagai disiplin ilmu baru seperti ilmu al-lughah (bahasa) dan ilmu sejarah. Perkembangan ilmu bahasa berkaitan erat dengan naskah Quran yang tertulis di dalam bahasa Arab. Ilmu ini menjadi sangat penting terutama setelah banyak kalangan non-Arab yang memeluk Islam.

Ilmu bahasa terdiri dari dua ilmu pokok yaitu ilmu nahwu dan sharf. Ilmu sejarah berhubungan erat dengan studi hadits, terutama yang menyangkut biografi para perawi hadits. Ilmu sastra (balaghah) juga telah lahir sebagai bagian tak terpisahkan dari studi al-Quran dan tradisi kaum Arab; terutama pada masa Umaiyah yang gemar dengan syair.

Pada masa klasik; lahirnya ilmu fiqh dan kalam

Rupanya, pada masa klasik juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan ilmu fiqh cukup pesat. Hal ini antara lain disebabkan oleh banyaknya persoalan hukmiyah seiring dengan perkembangan wilayah dinamika sosio-kultural masyarakat muslim.

Terdapat banyak problematika persoalan dan realitas sosial yang tidak ditemukan pada zaman Nabi Muhammad. Misalnya, persoalan pembagian harta rampasan perang, penegakan hukum Islam, pidana dan perdata dalam pemerintahan Islam. Dari sinilah awal cikal-bakal lahirnya ilmu-ilmu Fiqh.

Syahdan. Sesuai dengan pengertian lafdziyahnya, fiqh berarti pemahaman terhadap dalil-dalil naqliyah untuk masalah baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi. Dalam hal ini, kaum muslim terbagi menjadi dua kelompok ahl al-hadits yang sangat dominan dalam menggunakan hadits, dan ahl al-rayu yang banyak menggunakan nalar-rasional.

Disinilah lahir ilmu fiqh (jurisprudensi Islam) dan ilmu ushul al fiqh (prosedur penetapan hukum Islam). Di sini juga, kadang-kadang karya-karya bidang hadits seringkali menjadi rujukan fiqh, misalnya Al-Muwattha’ (Imam Malik) dan Al-Musnad (Imam Hanafi).

Kajian bidang teologi juga berkembang pada masa klasik. Studi dalam bidang ini bermula dari “ikhtilaf” di kalangan para sahabat tentang kepala negara atau pemerintahan dan “arbitrase” yang terjadi paska Perang Shiffin. Dari sinilah muncul beberapa aliran teologi pokok: Jabariyah, Murjiah, Mu’tazilah, Ahl al-sunnah wa al-Jamaah dan Syiah.

Dari sisi ukhuwah perdebatan teologis menimbulkan akibat negatif dalam sejarah Islam, terutama setelah paham teologi didukung oleh penguasa politik. Tetapi, dari sisi ilmiah, perdebatan tersebut cukup positif karena banyak karya-karya bidang teologi, penelitian terhadap hadits-hadits dan lahirnya ilmu-ilmu baru seperti Ilmu Logika dan Ilmu Mantiq.

Berkembangnya Ilmu Akhlak (Tasawwuf)

Ilmu lain yang ternyata juga berkembang adalah Ilmu Akhlaq atau Tasawwuf. Ilmu ini muncul sebagai reaksi dari kaum Sufi atas perilaku para filosof dan mutakallimin yang suka berdebat dalam wilayah ke-Tuhanan. Sebab lainnya adalah kehidupan para penguasa yang sarat dengan kemewahan dan gemerlap harta.

Di samping ilmu-ilmu naqliyah atau diniyyah tersebut muncul pula ilmu-ilmu aqliyah. Sebagian ilmu-ilmu aqliyah lahir karena kontak kaum muslimin dengan kebudayaan Barat (Romawi dan Yunani), terutama melalui proyek penerjemahan yang digalakkan pada masa Abbasiyah.

Sebagian lainnya muncul sebagai perpaduan antara pengaruh Yunani-Romawi dan peng Ilmu Fiqh. Misalnya, Aritmatika yang sangat dibutuhkan dalam faraid (warisan) dan Astronomi untuk penentuan arah kiblat dan falaq.

Meskipun lahir setelah proses penerjemahan, ilmu-ilmu aqliyah yang berkembang pada masa klasik tidak merupakan jiplakan dari ilmu serupa yang berkembang di Barat. Ciri yang paling menonjol dalam ilmu ini adalah perpaduan atau penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah ada dan sebagian merupakan ilmu yang genuinely Islamic.

Ilmu ilmu tersebut antara lain Filsafat Kedokteran (al-Thib) dan Matematika (riyadhiyat). Dari beberapa ilmu tersebut berkembang ilmu-ilmu baru seperti farmasi (shaidaliyyah), kimia dan tumbuh tumbuhan (nabat) yang merupakan pengembangan dari ilmu Kedokteran Matematika berkembang menjadi ilmu baru seperti Aljabar dan Aritmatika penunjang.

Karena perkembangan sosiologis, ilmu-ilmu yang sebelumnya termasuk dalam ilmu naqliyyah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri. Diantara ilmu tersebut adalah Sejarah. Kajian sejarah tidak hanya berkait dengan para perawi hadits, tetapi juga kajian tokoh dan masyarakat terutama berkaitan dengan pemerintahan Daulah Umaiyah dan Abbasiyah.

Dengan demikian, tak keliru jika dikatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa klasik tidak dapat dipisahkan dari eksistensi al-Quran dan Hadits sebagai referensi induk ajaran Islam. Selain itu, dinamika sosiologis umat Islam yang sangat pesat sebagai hasil interaksi antara budaya Arab (Islam) dengan budaya dan masyarakat baru, juga melahirkan disiplin ilmu baru, terutama ilmu-ilmu aqliyah. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf / 134 Artikel

Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: