Artikel
Pesan Moderatisme di Tengah Surat al-Baqarah
Kita mengenal surat al-Baqarah sebagai surat kedua di urutan mushaf dan merupakan surat terpanjang di dalam al-Qur`an. Jumlah ayatnya 286, dan mayoritas ulama mengkatagorikannya ke dalam surat madaniyyah, yaitu surat yang turun pada periode Madinah.
Sebanyak 286 ayat jika dibagi 2, maka hasilnya 143. Ayat ke-143 terletak di tengah surat al-Baqarah dan secara kandungan makna menegaskan tentang posisi umat Islam sebagai ummatan wasathâ, umat yang moderat, ada di tengah-tengah.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Tafsir Ummatan Wasathâ
Dalam beberapa literatur tafsir disebutkan bahwa kata “wasathâ” mengandung makna adil dan pilihan. Hal ini sebagaimana yang ditulis oleh al-Wâhidî (468 H) dalam kitab “al-Wajîz fî tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz”, bahwa kata wasathâ bermakna adil dan pilihan. Artinya, umat nabi Muhammad SAW dipilih oleh Allah SWT sebagai umat yang adil, agar dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia.
Peran umat nabi Muhammad sebagai saksi akan terealisasi nanti di kehidupan akhirat. Yaitu ketika Allah SWT bertanya kepada umat-umat terdahulu, “Apakah para Rasul itu telah menyampaikan risalah?”
Mereka menjawab, “Tidak ada seorang pun yang menyampaikan risalah dari-Mu.”
Lalu para Rasul berkata, “Kami telah menyampaikan risalah-Mu, namun mereka mengingkarinya.”
Allah bertanya, “Apakah kalian punya saksi?”
Para Rasul menjawab, “Umat Nabi Muhammad.”
Kemudian umat Nabi Muhammad memberikan kesaksian bahwa para Rasul telah melaksanakan tugasnya menyampaikan risalah, namun umatnya mendustakan risalah tersebut. Umat-umat terdahulu bertanya keheranan, “Bagaimana mereka tahu tentang kami padahal mereka hidup jauh setelah kami?”
Umat Nabi Muhammad menjawab, “Karena Nabi kami telah mengabarkannya kepada kami melalui al-Qur`an.” (HR. Bukhari)
Riwayat tersebut memberikan gambaran tentang karakter luhur dan penting umat nabi Muhammad sebagai umat yang adil dan teguh dalam kebenaran. Selain itu, kata “wasath” juga menyiratkan makna tengah-tengah, lurus dan tidak berlebihan.
Al-Baghawî (516 H) dalam “Ma’âlim at-Tanzîl”, menjelaskan status “ummatan wasathâ” sebagai umat yang menganut ajaran agama secara proporsional dan ideal, tengah-tengah antara ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dan taqshîr (sikap terlalu kaku, pelit). Karena agama Islam adalah agama yang moderat (dînun wasathun).
Jika kita bandingkan dengan sebagian ajaran agama lain, dalam menyikapi kehidupan dunia, Islam cenderung memposisikan diri berada di tengah. Jika ada sebagian agama yang mengekang sebagian pengikutnya secara berlebihan, misalnya tidak boleh menikah sepanjang hidup, tidak boleh makan daging, sedangkan Islam membolehkan itu, dengan syarat dan kriteria tertentu. Bahkan ada juga sebagian ajaran agama yang mewajibkan pengikutnya untuk bisa sampai pada tingkatan tertentu, wajib menjalani ritual yang mengarah pada penyiksaan fisik dan lain sebagainya.
Di sisi yang lain, ada sebagian masyarakat di dunia yang begitu memuja materi secara berlebihan. Islam memberikan ajaran yang tengah-tengah di antara itu semua, karena tidak hanya ruh saja yang ditempa, fisik juga tetap harus dipenuhi hak-haknya. Tidak hanya kehidupan akhirat saja yang dikejar, kehidupan dunia juga harus dijalani dengan sebaik-baiknya.
Syekh Muhammad Abduh, sebagaimana ditulis oleh Rasyid Ridla dalam Tafsîr al-Manâr, menjelaskan tentang posisi tengah umat Islam di antara umat lainnya. Pada masa pra Islam, manusia bisa diklasifikasikan menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang yang fokus mengejar untuk materi dan pemuasan kebutuhan jasadi saja, yaitu penganut Yahudi dan orang-orang musyrik. Kedua, adalah yang fokus pada unsur ruhani, dan mengesampingkan kehidupan dunia dan kenikmatan jasadi, yaitu pengikut agama Nasrani, kaum Sabian (ash-shâbi`ûn) dan penganut agama Hindu. Di antara kedua golongan tersebut, hadirlah Islam, sebagai agama yang memperhatikan pemenuhan hak jasad dan ruh secara seimbang.
Moderat Eksternal dan Internal
Yang penulis maksud sikap moderat eksternal adalah posisi ajaran Islam yang berada di tengah-tengah di antara ajaran agama lain. Sedangkan secara internal, maksudnya adalah sikap dalam memahami dan menjalankan ajaran agama.
Dalam realitanya, sejarah telah mencatat bahwa secara internal, umat Islam juga terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok, dalam menyikapi hal terkait dengan ajaran teologi, syari’ah maupun akhlak. Jika posisi Islam telah ditegaskan berada di tengah, maka tergantung penganut agama Islam bagaimana betul-betul mampu mengimplementasikan ajaran moderatisme itu dalam segala lini kehidupan.
Yang menjadi problem internal umat Islam semenjak akhir masa khulafa’ur râsyidîn hingga saat ini adalah munculnya ragam pemahaman terhadap sumber-sumber teks keagamaan. Hal ini tak jarang memicu konflik yang mengarah pada pertumpahan darah antar umat Islam. Sebagai sebuah fitrah, munculnya perbedaan tidak akan mungkin bisa dihindari. Apalagi Allah sudah menegaskan dalam surat al-Hujurât ayat ke 13, bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar saling mengenal antar sesama. Namun demikian, pengamalan ayat ini belum sampai pada titik maksimal dan ideal.
Dari proses saling mengenal itulah sesungguhnya masing-masing kelompok bisa saling berdiskusi dengan tetap saling menghormati dan menghargai. Bahwa dalam hal memahami makna teks, al-Qur`an maupun hadis, manusia tidak bisa dipaksa untuk sama. Bahkan dalam konteks ijtihad, meskipun salah, seseorang tetap dapat pahala.
Umat Islam perlu kedewasaan dalam memahami makna ummatan wasathan ini agar bisa tetap saling menghormati dan bekerjasama. Karena moderatisme islam itu tidak hanya ada dalam alam pikiran, melainkan harus diejawantahkan dalam tindakan. Jika secara internal umat Islam masih terus saling menyalahkan, bahkan sampai mengkafirkan, tentuk akan sulit peran sebagai syahîd atau saksi atas umat-umat terdahulu itu dapat terwujud.
Oleh karenanya, menyadari peran dan posisi umat Islam sebagaimana tergambar di surat al-Baqarah ayat 143, hendaknya kita belajar tentang esensi ajaran Islam itu sendiri. Islam tidak mendorong umatnya untuk menjadi kaku dan keras, begitu juga tidak membebaskan tanpa batas, melainkan berada di tengah di antara dua titik. Karena sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Sehingga doa sapujagad yang sering kita munajatkan, sesungguhnya memberikan gambaran jelas tentang pentingnya keseimbangan dalam menjalani kehidupan (at-tawâzun fi al-hayâh).
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah [2]: 201)
Wallahu a’lam bi ash-shawâb. Rembang, 17 Agustus 2020, 27 Dzulhijjah 1441
Ustadz Mohammad Luthfil Anshori, Lc. M. Ud. Lulusan Universitas Al-Azhar, Peneliti dalam Kajian Tafsir AL-Qur'an, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Rosyid Rembang, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang Rembang.
Baca Juga
Hati-hati jika berbasa-basi
06 Oct 2024