Tokoh
Princess Fatma dan Tongkat Sihir
Dia acapkali membayangkan suatu hari kelak kecantikannya akan pudar, daging sintalnya melembek, dan tentu, sederet kekayaan yang ia miliki tidak akan memberinya apa-apa kecuali kenangan. Demikian pula dengan mahkota kebesaran yang tak mungkin ia sandang sampai ke liang lahat. Pikiran-pikiran seperti itu sepintas saja hinggap di benaknya, ia lebih rajin merenungkan nasib bangsanya.
Dialah Tuan Puteri (Amiirah/Princess) Fatma Ismail (1853-1920 M), sosok dermawan yang mampu mengubah wajah negerinya.
Keriput mulai tampak di wajah Fatma ketika didengarnya salah satu lembaga pendidikan yang dibanggakan Mesir ngos-ngosan untuk sekadar membayar sewa gedung. Tanpa banyak perhitungan, ia bersedia memberikan apapun yang sanggup ia ulurkan. Barangkali dengan begitu, pikirnya, siapapun yang mendengar cerita hidupnya akan ingat bahwasannya, berapapun harga yang harus dibayar, pendidikan layak diperjuangkan. Lebih dari itu, pada hakikatnya, ia tengah memberi contoh kepada semua orang, khususnya kaum bangsawan, lebih khusus lagi sesama perempuan supaya tidak segan-segan berkorban demi kehormatan dan kebaikan bersama.
Sama sekali tidak mengejutkan ketika majalah Rawi memasukkan Fatma ke dalam daftar 25 perempuan paling berpengaruh di Mesir sepanjang sejarah, bersanding Hypatia, Cleopatra VII, Ummi Kultsum, Safiya Zaghloul, dan lain-lain. Dialah penyokong besar di balik berdirinya Al-Jami'ah al-Masyriyah yang saat ini kita kenal dengan Universitas Kairo (Jami’ah al-Qahirah/Cairo University).
Seperti yang masyhur diketahui, berdirinya universitas inilah yang menjadi titik penting dalam sejarah pencerahan pada paruh abad ke-20 di Mesir. Sejak saat diresmikan, lembaga pendidikan tersebut sudah melahirkan ribuan tokoh dalam berbagai bidang keahlian, sebagian mereka penulis, ilmuwan, budayawan, seniman, politisi, dan seterusnya. Tahun ini, Universitas Kairo merayakan ulang tahun ke-112, dan tentu, selama satu abad lebih tersebut, kenangan tentang Fatma tidak begitu saja terlupakan.
Puteri bangsawan tersebut menyumbangkan sebidang tanah yang sangat luas di Giza, yang mana sekarang menjadi sangkar bagi gedung-gedung besar Universitas Kairo. Tidak hanya itu, Fatma juga turut andil mendanai pembangunannya, bahkan rela mendonasikan perhiasan mewah dalam jumlah yang sangat besar demi hasil yang terbaik.
Fatma adalah seorang 'pendidik' sejati, ia rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk kepentingan pendidikan, bukan malah mengambil jatah dari lembaga pendidikan melebihi haknya demi kepentingan pribadi.
Karena kedermawanan tersebut, Fatma mendapat julukan Umm al-Muhsinin dari rakyat Mesir, yang bisa kita artikan sebagai, paling dermawan di antara yang dermawan. Tidak seperti ayahnya yang bermimpi menjadikan Kairo seperti Paris dari segi infrastruktur, padahal daya dan upaya yang dimiliki tidak memadai, Fatma lebih mengutamakan struktur pendidikan di negerinya: institusi besar yang kelak mampu bersaing demi perkembangan sumber daya manusia, dan itu mampu terwujud melalui kekayaan dan wawasan yang ia miliki.
Fatma adalah kakak dari Sultan Husein Kamil dan Raja Fuad, dengan demikian ia adalah bibi Raja Faruk. Ia lahir pada tanggal 3 Juni, 1853. Sejak kecil ia sudah terdidik untuk menjunjung tinggi pendidikan, kesenian, dan kebudayaan. Ia menikah pada usia delapanbelas dengan Pangeran Tusun Muhammad Said, namun sayang, pernikahan tersebut hanya berlangsung tujuh tahun dikarenakan kematian Sang Pangeran. Dari rumah tangga tersebut Fatma melahirkan seorang putera bernama Omar, dan seorang puteri yang kerap dipanggil Ismat. Fatma kemudian menikah lagi dengan Pangeran Mahmud Sari, pernikahan kedua sekaligus terakhir ini memberinya dua anak laki-laki, Mohammad dan Ahmad, dan seorang puteri bernama Amina.
Melihat kepribadian Sang Ibu yang begitu hebat, tidak aneh bila kelak Omar menjadi tokoh penting dalam pembangunan sosial dan keilmuan di Mesir.
Fatma juga tergabung dalam komunitas derma Islam yang telah membangun banyak sekolahan dan rumah sakit yang diperuntukkan bagi orang-orang tidak mampu. Termasuk di dalamnya adalah Rumah Sakit Derma Islam di Agouza yang aktif melayani masyarakat sampai hari ini.
Tanpa menyebut seluruh dedikasi Fatma bagi negeranya, tentu ia sudah pantas menyandang predikat tokoh penting dalam sejarah pembangunan Mesir modern. Perjuangannya adalah menemukan kembali jati diri Mesir dari serangan kolonial, bukan semata dengan memperkaya persenjataan tentara-tentaranya, bukan pula membangun rumah-rumah besar untuk ajang gengsi di antara kaum bangsawan, lebih dari itu, ia mengembangkan senjata manusia paling efektif sepanjang sejarah, tidak lain tidak bukan adalah pendidikan. Pendidikan secara umum dan menyeluruh.
Boleh dibilang, peran yang diperagakan Fatma adalah taktik tercantik dalam berpolitik. Singkat cerita, pada awal abad duapuluh, Dinasti Usmani mengalami beberapa prahara serius di daerah kekuasaannya, banyak propinsi telah takluk di bawah bendera Inggris maupun Perancis, di situlah panggung politik Fatma digelar, ia turut berjuang mengentaskan negerinya dari penjajahan melalui jalur pendidikan.
Sebagai seorang wanita, Fatma memiliki pandangan yang memukau soal nasib kaum hawa di negerinya, ia selalu berangan-angan jika saja seluruh perempuan Mesir menerima pendidikan yang layak, maka, sudah tentu negara tersebut akan terbebas dari serangan-serangan asing.
Hampir seluruh perempuan yang berada di barisan terdepan lahir dari spirit motivasi seperti yang dimiliki Fatma, perjuangan berikut kontribusi mereka tidak tanggung-tanggung. Sebut saja di antaranya yang berlatar belakang sama seperti Huda Sya’rawi, keberaniannya dalam membela hak perempuan masih dijadikan rujukan kajian feminisme hingga sekarang; Mufidah Abdel Rahman, seorang pengacara perempuan pertama Mesir yang sangat berpengaruh dalam bidang hukum; Lutfiyah al-Nadi, pilot perempuan pertama Mesir yang banyak memberi inspirasi bagi generasi-generasi setelahnya; Nazly Fadhil, yang mana forum diskusinya mampu melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Qasim Amin dan Muhammad Abduh; Safiyah Zaghlul, seorang tokoh revolusi ternama yang mampu menggerakkan ribuan masa pada zamannya.
Sederet nama-nama tersebut di atas hanyalah sekelumit dari sekian perempuan yang tercerahkan di Mesir, seperti halnya Fatma, mereka tidak menekankan apa-apa kecuali pendidikan yang sudah selayaknya diperoleh secara menyeluruh, bagi laki-laki maupun perempuan.
“The only kind of magic wand is education.” Tampaknya kalimat mutiara sederhana ini yang dihayati benar-benar oleh Fatma. Satu-satunya tongkat sihir adalah pendidikan. Satu-satunya kunci untuk membuka pintu perubahan adalah pendidikan, termasuk pintu untuk berpartisipasi dalam politik praktis maupun penghayatan mendalam terhadap seni dan budaya manusia.
Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.