Artikel

Quraish Shihab jelaskan bagaimana orang mukmin menyikapi takdir

26 Sep 2023 08:18 WIB
632
.
Quraish Shihab jelaskan bagaimana orang mukmin menyikapi takdir Quraish Shihab jelaskan bagaimana orang mukmin menyikapi takdir.

Manusia dalam hidupnya (sejak lahir hingga kematiannya) selalu berkaitan erat dengan takdir. Pemahaman-pemahaman tentang takdir ini selalu menimbulkan sikap yang berbeda, sebagaimana muncul paham ekstrem dan juga paham moderat. Yang jadi pertanyaan, apakah manusia mampu untuk menentukan takdirnya atau hanya sekedar pasrah?

Sebenarnya uraian menyangkut takdir ini tidak dikenal pada masa Nabi, sebagaimana dibahas oleh filsuf-filsuf atau ahli-ahli ilmu kalam. Para sahabat Nabi memahami takdir adalah sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Dan, dalam arti penyerahan diri itu mereka para sahabat tidak pernah membahas soal takdir.

Sayyidina Umar misalnya tidak senang jika ada orang berbicara dan membahas takdir. Karena itu, siapa pun yang berbicara takdir di depan Sayyidina Umar, maka seketika beliau langsung memarahinya, bahkan tak segan-segan untuk mencambuknya. Sebab, kata Sayyidina Umar, persoalan-persoalan takdir tidak perlu dibahas. Begitulah sikap Umar.

Sayyidina Umar memahami bahwa yang lebih penting dari takdir adalah usaha, tidak usah membahas apakah usaha itu terpaksa atau tidak. Itu sebabnya, suatu waktu saat ada wabah, semula Sayyidina Umar hendak pergi ke Syam, Damaskus, akhirnya beliau batalkan.

Lalu sahabat Nabi yang lain yaitu Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah (seorang panglima perang yang pandai mengatur siasat) waktu itu bertanya: “Hai kamu lari dari takdir wahai Umar?” Umar menjawab: “Saya lari dari takdir menuju takdir yang lain.”

Akan tetapi ketika Sayyidina Umar terbunuh karena ditikam, ia berujar “Wa kaana qadarullahi qadaran maqduura.” Bahwa yang ditakdirkan oleh Allah Swt., maka kita tidak bisa menolak dan mengelak dari-Nya. Inilah yang kemudian di sebut oleh para ulama-ulama dengan sebutan sikap berserah diri kepada Allah Swt. Pendek kata, berusaha, dan setelah ada hasil, maka inilah sudah takdirnya.

Argumentasi Quraish Shihab

Quraish Shihab mengatakan, bahwa Nabi dan para sahabat-sahabatnya tidak pernah bicara tentang takdir. Dalam artian tidak menjelaskannya, tidak mendiskusikannya dengan cara pendiskusian seperti ulama-ulama ahli kalam atau para teolog. Bahkan, pernah suatu ketika dari kubur (hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bersumber dari Sayyidina Ali) Nabi bersabda: “Tidak ada seorang pun di antara kamu kecuali telah diketauhi oleh Allah di mana tempatnya. Apakah di surga atau di neraka.”

Waktu Nabi menyampaikannya, para sahabat bertanya: “Jika begitu kita andalkan saja keputusan ini kepada Allah karena semuanya sudah ditentukan.” Nabi menjawab: “Bisa jadi ada di antara kamu yang melakukan amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang baik. Tetapi, pada akhir hidupnya dia melakukan amal buruk sehingga dia masuk neraka, begitu pun sebaliknya.” Sahabat bertanya lagi: “Kalau begitu ya sudah kita tidak usah berusaha.” Nabi kemudian bersabda:

اِعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

Artinya: “Beramallah, karena semuanya dimudahkan terhadap sesuatu yang telah ditentukan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Jelasnya, kamu harus berusaha, karena semuanya akan dipermudah. Lalu Nabi kemudian membaca:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10

Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”  (QS. Al-Lail: 5-10)

Syaikh Abdul Halim Mahmud pernah berkata, bahwa andaikan kita membaca hadits itu, awalnya seakan-akan berfaham fatalisme (adalah suatu pandangan filsafat yang meyakini bahwa seseorang sudah dikuasai oleh takdir dan tidak bisa mengubahnya), namun pada akhirnya kita tetap saja di suruh bekerja. Jika demikian, apakah benar suatu pekerjaan mempunyai pengaruh terhadap surga dan neraka?

Quraish Shihab juga mengatakan, sekalipun al-Quran berbicara tentang takdir dan Nabi menjelaskan bahwa salah satu dari rukun iman adalah “an tu’mina bi qadarihi khairihi wa syarrihi”, bahwa kamu harus percaya adanya takdir Allah yang baik dan buruk, namun pada masa Nabi dan sahabat-sahabat besar, masalah percaya kepada takdir ini sama sekali tidak pernah dibahas. Kata para sahabat “Kita tidak usah mendiskusikan hal itu, yang terpenting kita mempercayainya.” Begitulah sikap para sahabat.

Dari konflik Ali dan Muawiyah hingga lahirnya aliran

Masih tentang takdir. Baru kemudian terjadi perubahan total sejak meninggalnya Sayyidina Ali dan sejak berkuasanya Muawiyah. Kita tahu, dalam sejarah dikatakan bahwa ke khalifahan yang direstui Allah Swt. adalah ada 4 khalifah (Sayyidina Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali). Sesudah ini, maka tidak ada lagi ke khalifahan, yang ada hanya kerajaan dimulai dari Muawiyah.

Memang dalam sejarah terjadi konflik antara Sayyidina Ali dengan Muawiyah. Pada akhirnya, setelah Ali terbunuh, maka Sayyidina Hasan kemudian tidak ingin terjadinya perpecahan dan bunuh-membunuh dalam masyarakat. Lalu Sayyidina Hasan berkata, “Saya tidak menuntut tahta lagi, saya ingin mengakui Muawiyah sebagai khalifah dengan syarat; jangan jadikan anakmu sebagai penerus.”

Tentu saja ada orang-orang yang tidak senang dengan hal keputusan Sayyidina Hasan. Karena sistemnya kerajaan, maka terjadilah kedzaliman-kedzaliman dalam masyarakat. Saat itu penguasa Umawiyah ingin menggambarkan pada masyarakat bahwa apa yang terjadi ini diizinkan dan direstui oleh Allah karena itulah takdirnya.

Katanya penguasa Umawiyah, “Itu Ali terbunuh karena takdir Allah, Muawiyah jadi khalifah karena takdir Allah. Ini sudah restunya, jadi jangan marah.” Ia mengartikan takdir Allah bukan sebagai izin Allah, melainkan restu Allah.

Atas kejadian ini, maka timbullah pertanyaan bagaimana nanti ketetapan hukumnya? Bagaimana nanti sikap Allah? Akhirnya, lahirnya kemudian apa yang di sebut dengan irja’ (Murjiah). Sebuah golongan yang terdapat dalam Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij. Jelasnya, orang-orang menunda ataupun menangguhkan atau juga penangguhan keputusan atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah kelak.

Untuk menyebarluaskan ide ini, “agama” diperalat (politik sudah memperalat agama). Bagaimana caranya? Suatu waktu, Muawiyah yang ada di Damaskus mengirim surat kepada sahabat-sahabat Nabi yang ada di Madinah. Bertanya dalam suratnya, “Apa doa Nabi habis salat?”

Di duga keras sebenarnya Muawiyah tahu. Akan tetapi, Muawiyah mau informasi yang jangan dianggap datang darinya. Maka, akhirnya dari Madinah datanglah surat yang menyatakan, doa Nabi setiap habis salat itu adalah:

اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Artinya: “Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalihnya yang menyelamatkan dari siksaan). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.”

Dan, ini disebarkan di masyarakat yang tujuannya ingin mengatakan bahwa itu kehendak Allah memberi saya kekuasaan, maka jangan salahkan saya. Atas dasar ini, tentu saja ada orang tidak senang melihat penyelewengan, penganiayaan yang terjadi dalam masyarakat oleh penguasa yang ketika itu berkata, “Tidak ada takdir. Ini semua tanggung jawab manusia.”

Terbunuhnya Ma’bad Al-Juhani

Ternyata, orang yang pertama menyebarkan sikap ekstrim ini (tidak ada takdir) adalah Ma’bad Al-Juhani (seorang tabi’in yang sangat terpercaya). Hati nuraninya tidak mengizinkan dia untuk menyatakan bahwa, kedzaliman yang dilakukan oleh siapa pun itu restu Allah. Akan tetapi, karena pandangan ini (yang tadi berkata semua takdir Allah), maka dia katakan “Tidak ada takdir Allah dan manusia bebas.”

Setelah perkataan itu menjadi viral dalam masyarakat, akhrinya Ma’bad pun di bunuh. Tetapi, kelihatannya dia terbunuh bukan karena pandangan tentang takdir yang mengatakan bahwa tidak ada takdir, melainkan karena hal itu berbau menentang politik pemerintah.

Dalam perjalanannya, lahirlah satu orang lagi. Ia membuat pertanyaan, “Apakah benar takdir tidak ada? Apakah manusia bebas melakukan apa saja yang dia kehendaki?” Maka dia berkata, “Takdir ada.” Ini jelas bertolak belakang dengan yang awal. Dan inilah nantinya yang berkembang lebih jauh dalam masyarakat sehingga ada faham fatalisme (Jabariyah), bahwa semuanya ditentukan oleh Allah, dan faham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia bebas menentukan segala sesuatu.

Yang berkata “manusia bebas menentukan segala sesuatu” akhirnya terasa oleh satu pihak bahwa ini menyita sebagian kuasa Tuhan. Yang berkata manusia ini ditentukan oleh Tuhan segalanya kemudian berkata, “Kalau begitu kenapa kisa disiksa.”

Terlepas dari itu semua, dalam perkembangannya masyarakat, masing-masing mencari pembenaran dalam al-Quran dan Hadits. Yang berkata bebas misalnya berpegang pada surah Al-Kahfi ayat 29: “Siapa yang mau beriman silahkan beriman, dan siapa yang mau kafir silahkan kafir.” Yang berkata manusia tidak bebas, dia membaca surah At-Takwir ayat 29: “Kamu tidak berkehndak kecuali dikehendaki oleh Allah.”

Dan, yang berkata manusia tidak mempunyai kemampuan dia membaca surah As-Shaffat ayat 96: “Allah menciptakan kamu.” Kemudia dia mengartikan “Dan apa yang kamu kerjakan itu Allah ciptakan.” Masing-masing mencari ayat pembenaran.

Hingga akhirnya lahirlah satu tokoh yang bernama Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, nantinya menjadi akidah Asy’ariyah. Akidah ini adalah jalan tengah. Akan tetapi, walaupun demikian, ada juga ulama-ulama yang tidak setuju. Bahwa semuanya dalam sisi keagamaan memiliki pandangan yang berbeda-beda.

Al-Asy’ari berupaya mencari jalan tengah yang disebut dengan Kasb (usaha). Memang ada hal-hal yang dilakukan oleh manusia di mana hal itu tidak dalam kontrolnya. Misalnya seperti bersin (ini di luar kontrol manusia dan ini di bawah kuasa Tuhan). Sementara yang dalam kontrol manusia (yang dilakukan) atas dasar kesadaran dan keinginan manusia itulah yang dinamakan Kasb. Sebagaimana yang dalam al-Quran surah Al-Baqarah ayat 225:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ

Artinya: “Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 225)

Jadi, kata Al-Asy’ari, yang berkata bahwa Tuhan menciptakan amal dan itu datangnya dari Tuhan itu benar pada sebagian (kita tidak bisa menguasai denyut jantung). Tetapi, yang berkata juga bahwa manusia bebas melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya itu benar tapi tidak semuanya.

Yang dituntut tanggung jawabnya adalah yang dilakukan manusia dengan sengaja, dan dengan maksud-maksud yang di sadari oleh keinginan manusia. Inilah jalan tengan Al-Asy’ari. Bahwa, kita tidak berkata manusia bebas sebebas-bebasnya, tapi tidak juga berkata bahwa manusia segala kegiatannya ditentukan 100% oleh Tuhan. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf / 110 Artikel

Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: