Artikel
Reaktualisasi dan kontekstualisasi kitab kuning dalam menjawab problematika kekinian
Setiap kali mendengar nama “kitab kuning” pikiran kita biasanya akan tertuju pada pondok pesantren. Sebab, lembaga ini adalah institusi pendidikan yang aktif mengajarkan pelajaran-pelajaran agama Islam sejak masa lalu. Selain sebagai pedoman praktik beragama, kandungan kitab kuning -mulai nilai konseptual hingga metodologinya- merupakan karya monumental peradaban Islam. Ia menjadi salah satu saksi bisu sejarah keemasan Islam yang telah berkontribusi bagi peradaban manusia modern.
Secara umum ada dua arus berlawanan dalam memandang kitab kuning. Kalangan konservatif melihat kitab kuning sebagai produk pengetahuan yang mapan. Dalam perspektif mereka kitab kuning sudah sempurna sebagai landasan praktik beragama dan berintelektual. Sehingga tidak ada kebutuhan mereaktualisasi kitab kuning, baik wilayah metodologi maupun produk pengetahuannya. Tugas generasi sekarang sekadar menyamakan kasus aktual dengan produk yang ada di dalam kitab kuning.
Sementara itu, kalangan modernis hadir menjadi antitesa. Sebagai wacana pembanding, kitab kuning di mata mereka sudah tidak dibutuhkan dalam tatanan pengetahuan modern. Memercayakan keberagamaan dan intelektualitas manusia modern kepada manusia abad pertengahan merupakan langkah menuju degradasi. Manusia modern hidup dengan tuntutan zaman yang begitu kompleks, maka setiap produk keberagamaan dan intelektual seharusnya bisa dibentuk sendiri tanpa melibatkan manusia yang sudah wafat berabad-abad lamanya.
Sejatinya, kalangan modernis tidak lahir dari proyek korporatif. Ia berdiri sebagai respon atas fenomena kegagalan kitab kuning dalam menjawab isu-isu kekinian. Barangkali kasus pengharaman perbankan konvensional oleh beberapa pembaca kitab kuning konservatif menjadi segelintir dari sekian banyak potret kegagalan kitab kuning dalam merespon tuntutan zaman. Sederhananya, kalangan konservatif berani mengharamkan perbankan konvensional namun tak ada daya untuk menghindari interaksi finansial dengan pihak perbankan. Mungkin sebagian kalangan konservatif akan beralibi dengan kemunculan perbankan syariah. Sayangnya mereka tidak sadar bahwa prosedur perbankan syariah sendiri masih terikat dengan perbankan pusat yang sifatnya konvensional.
Tulisan ini pada dasarnya hendak menyoroti pola kalangan konservatif dalam membaca kitab kuning. Namun, bukan berarti penulis juga sepakat dengan modernis yang fastun dengan karya generasi terdahulu. Bagi penulis, kitab kuning bukanlah Al-Qur’an-Hadis sehingga tidak perlu sakralisasi, tapi dia juga bukan sekadar warisan kuno yang cukup dimuseumkan shingga tidak layak ditanggalkan.
Pada hakikatnya, kitab kuning adalah produk manusia yang tidak lepas dari kritik. Hanya saja kitab kuning yang identik dengan ijtihad ulama salaf membuat sebagian pembacanya segan dalam melakukan kritik intelektual. Subjektifitas ini tanpa disadari telah berkontribusi dalam membatasi kreatifitas pembaca kitab kuning dalam menghadapi perubahan sosial, politik, ekonomi, merespon arus pemikiran modern, dan yang paling buruk tidak mampu bertarung dengan peradaban Barat modern.
Jika ditelisik secara historis, perjalanan kitab kuning selalu mengalami transformasi yang kompleks dari berbagai aspek. Dalam aspek penulisan, misalnya, kitab kuning yang dulunya satu tipologi penulisan berkembang dengan wajah matn, syarh, hâsyiyah, hingga taqrîrât. Tipologi studi dan kajian juga mengalami transformasi. Dalam disiplin usul fikih, misalkan, muncul tipologi al-jam’u baina tharîqatain (kombinasi Hanafi dan Jumhur), maqâṣidiy (orientasi syariat), ṭarîqah al-munâdzarah (tipologi dialektika), dan takhrîj al-furū’ ‘alal uṣūl (ekstraksi furuk dari usul).
Kandungan hâsyiyah, syarh, dan taqrîrât adalah potret konkret dimana ulama klasik melakukan kontra wacana dan wacana perbandingan atas karya-karya sebelumnya. Selain menyajikan kritik kitab-kitab dengan genre tersebut menghadirkan elaborasi metodologis. Mereka menyadari bahwa Ide adalah milik bersama, bukan hanya milik orang terdahulu. Karenanya, tidak salah jika karya generasi terdahulu ditelaah ulang untuk menyesuaikan dinamika zaman.
Sayangnya, fungsi hâsyiyah, dan taqrîrât tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh para pembaca kitab kuning. Mereka lebih cenderung membaca permukaan materi dengan melompati kritik ide, metodologi, bahkan epistemologi. Gaya pembacaan demikian tentu menghilangkan beberapa nilai esensial kitab kuning. Sebab, dalam diskursus ilmu, setiap pengetahuan bukanlah ide kosong tanpa metodologi yang akuntabel.
Pentingnya studi interdisipliner dalam kitab kuning
Kitab kuning jika ditelaah dengan analisis yang kaya akan perspektif akan menampakkan karakter dinamisnya, terutama dalam bidang fikih. Terkadang, faktor eksternal seperti hegemoni politik dan budaya ikut andil dalam membangun tatanan pengetahuan. Karenanya, pembacaan kontekstual tidak boleh dilewatkan dari kitab kuning. Munculnya tema dualisme kepemimpinan hingga perubahan prosedur pemimpin dan transformasi mekanisme pengangkatan pemimpin dalam konteks imâmatul ‘udzma yang kita sebut dengan khilafah tunggal adalah bukti ril keberadaan interaksi teks primer (Al-Qur’an dan Hadis) dengan sosial-politik di dalam kitab kuning.
Kecenderungan menerima produk yang sudah matang tanpa mendedah alur metodologis adalah sikap yang kaku dalam memahami kitab kuning. Kondisi ini hanya menjebak para pembaca kitab kuning dalam pusara dogma yang memasung dinamika peradaban. Sebagian dari kita mungkin lupa bagaimana gereja Eropa di abad pertengahan berperan aktif dalam mengklaim kebenaran beberapa teori pengetahuan, seperti teori geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), atasnama agama. Faktanya, mereka telah menjerumuskan Eropa pada jurang kegelapan. Sebaliknya, dunia Islam kala itu berhasil melakukan inovasi-inovasi pengetahuan. Dalam kontak peradaban dengan warisan intelektual Yunani kuno umat Islam melakukan pembacaan kritis dengan metodologi akuntabel.
Dalam bidang ilmu kalam yang berkaitan dengan keyakinan kita akan sulit menemukan perubahan produk ilmu kalam. Hal ini harus dimaklumi, sebab Islam tidak pernah mengajarkan untuk meyakini satu Tuhan di hari ini dan dua Tuhan di hari esok. Biarpun begitu, bangunan epistemologi dan pendekatan argumentatif dalam ilmu kalam bisa saja berubah. Restorasi qiyâs al-ghâ`ib ‘ala asy-syâhid, dekonstruksi istqrâ`, hingga asimilasi logika deduktif (mantik) dengan metode tradisional melukiskan transformasi ilmu kalam klasik.
Hilangnya insting pembacaan analisis-kritis seperti inilah yang telah membawa stagnasi kitab kuning. Dalam membaca disiplin fikih, mislakan, lebih didominasi oleh perhatian terhadap produk hukum dibanding mengulas argumen, pendekatan, hingga kriteria produk hukum tersebut. Sehingga, kerap kali kasus aktual dimasukkan ke dalam kasus yang memiliki kemiripan hanya dengan melihat bentuk permukaan saja. Rebonding rambut adalah salah satu kasus yang sering dilarikan ke dalam taghyîru khalqillâh (merubah ciptaan Allah) karena memandang adanya perubahan bentuk rambut dari keriting menjadi lurus. Jika perspektifnya terhenti pada bentuk perubahan saja seharusnya khitan, potong kuku, pangkas rambut, juga termasuk kategori taghyîru khalqillâh.
Sebelum benar-benar memasukkan satu kasus ke dalam taghyîru khalqillâh alangkah lebih bijaknya para pembaca menilik dahulu kenapa taghyîru khalqillâh diharamkan? Apa landasannya? Pola taghyîr seperti apa yang perlu diharamkan dan yang tidak sampai haram? Dengan demikian para pembaca juga mampu mengambil unsur-unsur metodologis yang membangun keharaman taghyîru khalqillâh, sehingga dalam menyamakan kasus aktual terhadap kasus yang sudah ada di dalam kitab kuning tidak membuka celah perbedaan yang signifikan (al-fâriq al-mu`atstsir).
Asya’irah dan Maturidiyah (Ahlussunah) memang aliran yang banyak diikuti oleh masyarakat muslim di penjuru dunia. Sebagai mazhab mayoritas Ahlussunah dituntut mampu menjadi payung bagi minoritas. Namun, fakta sosial mengatakan sebaliknya, mereka yang merasa dirinya mayoritas lebih suka memarginalkan minoritas. Abul Hasan al-Asy’ari sendiri adalah orang yang humanis, terbukti beliau tidak pernah mengafirkan setiap kelompok yang berseberangan, selama masih menghadap kiblat yang sama. Sisi humanisme al-Asy’ari juga bisa kita lihat di beberapa persoalan akidah.
Tugas ilmu kalam memang menyampaikan kebenaran, tetapi pola penyampaian itu persoalan yang melibatkan audiens, sehingga memerlukan pendekatan kognitif agar tidak terkesan meminta pembenaran publik. Para pegiat ilmu kalam perlu menghindari bahasa-bahasa yang memarginalkan kelompok lain demi merawat persatuan. Jika kalimat “batil” selalu dipahami secara radikal maka alangkah baiknya mencari kalimat yang lebih halus seperti “kurang tepat” dan semacamnya.
Penulis tidak menyalahkan kalimat “batil” secara etimologi atau epsitemologi, namun terkadang suatu kata sering terjadi pergeseran linguistik, oleh karena itu di dalam literatur kitab kuning sendiri kita mengenal istilah haqîqah al-‘urfiyyah (kalimat yang maknanya beralih dari makna asal oleh masyarakat umum). Tidak setiap kata dalam bahasa Arab harus diterjemah dengan pola literal agar penyampaian ilmu kalam terasa lebih harmonis-sosialis.
Demikian juga dalam merespon bias keagamaan, mengingat bias tersebut didominasi Barat yang selalu mengalami transformasi metodologis dan epistemologis. Para pegiat ilmu kalam harus mampu membacanya dengan pendekatan filosofis, dan menghadirkannya dalam wajah counter discourse (kontra wacana), bukan sebagai dogma, karena bidang garapnya sudah memasuki ranah pengetahuan, bukan ceramah keagamaan atau pengenalan dasar. Seperti menjawab soal klaim ilmu kalam tidak “ilmiah”. Jika yang dimaksud ilmiah adalah “berbasis ilmu” otomatis ilmu kalam yang dibangun dengan asimilasi teks dan rasionalitas sudah bisa disebut “ilmiah”.
Berbeda jika yang dikehendaki adalah “sains” yang dibuktikan dengan verifikasi empirik maka ilmu kalam tidak disebut “ilmiah”. Jika ingin berdialektika tentang ilmu kalam bisa ilmiah atau tidak, maka perlu adanya pendekatan metodologis dan kritik epistemologis untuk meruntuhkan dikotomi pengetahuan antara sains dan nonsains demi menyeterilkan kembali makna “ilmiah” agar tidak terbatas pada wilayah pengetahuan yang dibuktikan dengan fakta empirik saja.
Kitab kuning pada dasarnya tetap relevan sabagai pedoman metodologis-interaktif dalam menjawab problematika kekinian. Meski begitu, kita tidak bisa memosisikan kitab kuning pada wilayah sakral seperti Al-Qur’an dan Hadis. Sebab, selama produk kitab kuning memiliki unsur-unsur yang melibatkan teks implisit (dzanniy ad-dalâlah), budaya, dan unsur dinamis lainnya, maka produk kitab kuning tidak sepenuhnya statis. Hemat penulis, kitab kuning adalah wacana perbandingan (comparative discourse) untuk membentuk tatanan pengetahuan masyarakat muslim modern. Inilah yang dicontohkan ulama terdahulu seperti Al-Ghazali, Al-Amudi, An-Nawawi, Taj as-Subki, Syarif al-Jurjani, hingga Hasan al-Athar.
Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah
Baca Juga
Belajar Nahwu dulu, Balaghah kemudian
05 Nov 2024