Esai

Refleksi Green Ramadan, bulan tasyakur atau takatsur?

17 Apr 2023 11:51 WIB
911
.
Refleksi Green Ramadan, bulan tasyakur atau takatsur? Sampah makanan justru meningkat pada bulan Ramadan.

Seruan untuk menciptakan suasana Green Ramadan sejatinya semata kembali menghidupkan tradisi panjang Islam tentang kebersinambungan (sustainability) bumi, serta kepedulian terhadap alam lingkungan sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw.

Tidak dapat dipungkiri, siapa pun menyadari ada kebiasaan yang sulit dipisahkan dari aktivitas berbuka puasa, yaitu menghasilkan limbah makanan secara berlebihan, yang ironinya, keseringan berlipat-lipat lebih banyak dibanding hari-hari normal di luar bulan puasa. Selain limbah masakan, sebut saja penggunaan tetek bengek plastiknya, mulai dari kantong sekali pakai, botol minuman, styrofoam, sedotan, hingga barang-barang kecil seperti sendok dan garpu plastik.

Eko-Ramadan

Untuk mendorong umat Islam supaya lebih sadar akan dampak bulan suci terhadap lingkungan bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan sinergitas masjid-masjid, ormas-ormas Islam, dan seluruh lapisan masyarakat untuk mengurangi (syukur-syukur meninggalkan) barang-barang pencemar sekali pakai tersebut.

Seorang sejarawan dari Baltimore, Noor Zehra Zaidi, memandang ‘penghijauan’ Ramadan seutuhnya sesuai dengan tradisi keimanan, bulan di mana seorang muslim harus kuat menahan diri bahkan dari seteguk air dan secuil gorengan sejak sebelum terbit hingga terbenamnya matahari. Inilah bulan di mana setiap muslim digembleng untuk mensucikan diri dari euforia takatsur (dua pihak atau lebih saling bersaing memperbanyak dan membangga-banggakan harta dunia) dan candu materialisme, sehingga diharapkan spirit suci tersebut tetap lestari pada bulan-bulan berikutnya. Namun tidak jarang yang terjadi malah sebaliknya, takatsur dan gila dunia justru menapaki klimaksnya ketika Ramadan.

Salah satu goal bulan Ramadan adalah ketika mampu menjadikan umat Islam sebagai hamba yang senantiasa bertasyakur, yakni pandai-pandai mensyukuri karunia nikmat yang diberikan Allah; bukan terperosot ke dalam kubang materialisme sehingga menjadi hamba yang secara konsumtif menghambur-hamburkan materi.

Meski demikian, selama beberapa tahun terakhir sejumlah kalangan muslim dari berbagai kalangan sedikit demi sedikit telah membangkitkan kesadaran masyarakat dengan menggalakkan Green Ramadan. Tentu di dalamnya termasuk mengkaji isu-isu terkini krisis lingkungan, juga pemahaman terkait dampak israf (pemborosan) yang membahayakan jangka panjang kebersinambungan sumber daya alam. Ramadan, dalam berbagai aspek mulianya, teramat layak dijadikan momentum untuk membangkitkan kesadaran-kesadaran eko-spiritualisme seperti itu.

Dewan Muslim Inggris (MCB), misalnya, mendorong pemeluk Islam yang mampu mereka jangkau untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai selama Ramadan, yakni ‘berpuasa’ sebulan penuh untuk menahan diri tidak menggunakan pencemar terbesar lingkungan itu. Hal tersebut diupayakan, antara lain, supaya terlatih mengamalkan prinsip reduce (mengurangi penggunaan-penggunaan barang sekali pakai) selepas Ramadan pergi nanti. Bila langkah-langkah cerdas tersebut dapat menginspirasi komunitas-komunitas Muslim yang lain, bisa dibayangkan gerakan Ramadan Hijau akan tampak sumbangsih besarnya bagi krisis lingkungan.

 
Walang Gustiyala
Walang Gustiyala / 48 Artikel

Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: