Berita

Berikut Enam Pertanyaan yang Jelaskan Ketegangan di Perancis

02 Nov 2020 11:34 WIB
1385
.
Berikut Enam Pertanyaan yang Jelaskan Ketegangan di Perancis

Serangan Nice Perancis pada Kamis (29/10) lalu menunjukkan ketegangan hubungan pemerintahan Presiden Emmanuen Macron dengan warganya sendiri yang Islam dan dengan negara-negara mayoritas muslim di dunia.

Beberapa peristiwa besar terjadi pada minggu belakangan ini. Mulai dari kartun kontroversial Charlie Hebdo, pembelaan Macron, kemarahan masyarakat muslim dunia, gerakan boikot produk Perancis hingga serangan Nice Perancis.

Bagaimana memahami ketegangan yang terjadi di Perancis saat ini? Berikut laporan panjang Middle East Eye yang ditulis oleh wartawan asal Perancis, Chloé Benoist pada Sabtu (30/10) lalu.

Apa yang Terjadi?

2 September: Dibuka pengadilan dibuka untuk 14 tersangka serangan terhadap majalah Charlie Hebdo dan supermarket Yahudi di Paris pada Januari 2015. Sebanyak 17 orang tewas selama tiga hari pertumpahan darah.

Pelaku Amedy Coulibaly serta dua bersaudara Said dan Cherif Kouachi tewas terbunuh saat baku tembak dengan polisi Perancis. Dalam rekaman video, Coulibaly mengatakan serangan itu terkoordinasi dan dilakukan atas nama ISIS serta menargetkan Charlie Hebdo.

25 September: Dua orang terluka dalam penyerangan pisau di luar bekas kantor Charlie Hebdo di Paris. Polisi menangkap pelaku tidak lama kemudian.

2 Oktober: Presiden Emmanuel Macron berpidato tentang memerangi "radikalisme" di Perancis. Pemerintahnya akan mengajukan RUU yang bertujuan untuk memperkuat sekularisme dan melawan apa yang disebutnya sebagai "separatisme Islam".

"Islam adalah agama yang berada dalam krisis di seluruh dunia saat ini," kata Macron yang kemudian memicu kemarahan dari sejumlah pemimpin muslim.

16 Oktober: Seorang guru Perancis dipenggal kepalanya di luar sekolah di Conflans Sainte-Honorine Paris. Samuel Paty menjadi sasaran kampanye yang menyerukan pemecatannya setelah dia menunjukkan kartun Carlie Hebdo kepada para muridnya dalam diskusi tentang kebebasan berbicara. Penyerang, seorang pengungsi Chechnya kelahiran Rusia berusia 18 tahun, ditembak polisi di dekat lokasi serangan.

Baca juga: Muslim Council of Elders Bentuk Komite Hukum Internasional untuk Gugat Charlie Hebdo

18 Oktober: Dua wanita muslim Perancis bercadar ditikam dan dilukai di Paris, dekat Menara Eiffel, menyusul pertengkaran di mana mereka disebut "orang Arab kotor". Polisi menangkap dua wanita atas serangan itu.

22 Oktober: Kakak beradik dua warga negara Yordania, dipukuli di kota Angers setelah dilaporkan dihina karena berbicara bahasa Arab. Penyerang belum ditangkap.

26 Oktober: Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan kepada rakyat Turki untuk memboikot produk Perancis. Sebelumnya, Erdogan meminta Macron untuk menjalani pemeriksaan kesehatan mental dan mendorong Paris menarik duta besarnya dari Ankara.

Seruan boikot produk Perancis menyebar di negara-negara Arab dan mayoritas muslim, sebagai protes atas komentar Macron tentang Islam dan publikasi lebih lanjut kartun Nabi setelah pembunuhan Paty.

Para pengunjuk rasa Pakistan membawa plakat selama protes menentang pencetakan ulang kartun Nabi Muhammad oleh majalah Perancis Charlie Hebdo di Rawalpindi pada 4 September 2020 (AFP)

28 Oktober: Pemerintah Perancis membubarkan Badan Amal Muslim Perancis, BarakaCity - yang sebelumnya disebut Mendagri Gerald Darmanin sebagai "musuh republik". Organisasi itu diklaim mempertahankan hubungan dengan "gerakan Islam radikal". Badan amal itu dengan tegas menolak tuduhan dan akan mengajukan banding ke pengadilan.

Charlie Hebdo kemudian menerbitkan kartun mengejek Erdogan di halaman depan. Kepala jaksa Ankara memutuskan dilakukan penyelidikan terhadap pemilik majalah tersebut, karena pihak kepresidenan Turki mengatakan akan mengambil setiap langkah hukum dan diplomatik untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang menghina Erdogan.

29 Oktober: Tiga orang tewas dan beberapa lainnya terluka dalam serangan pisau di gereja Notre Dame di kota Nice, Perancis, yang oleh pejabat setempat disebut sebagai "terorisme". Salah satu korban sampai dipenggal.

Kemudian terjadi serangkaian percobaan serangan di seluruh Perancis, termasuk di Avignon, di mana seorang pria yang dilaporkan berafiliasi dengan kelompok sayap kanan dibunuh oleh polisi. Perancis mengumumkan keadaan darurat nasional.

Beberapa jam setelah serangan Nice, seorang penjaga di luar konsulat Perancis di Jeddah Arab Saudi, terluka dalam serangan pisau. Penyerang, warga negara Saudi ditangkap.

Perdebatan Kartun Charlie Hebdo Tentang Apa?

Kartun Nabi Muhammad telah memicu kontroversi di seluruh dunia sejak tahun 2005, ketika sebuah surat kabar Denmark yang konservatif Jyllands Posten menerbitkan serangkaian gambar nabi.

Para sarjana muslim bersepakat melarang penggambaran visual dari nabi, sosok yang sangat dihormati. Fakta bahwa sebagian besar kartun nabi telah merendahkan atau mengejek telah memperburuk ketegangan.

Penggambaran tersebut dinilai ofensif dan merupakan serangan terhadap Islam, serta memperlebar marginalisasi kaum muslim di negara-negara Barat.

Baca juga: Dari Pemakai Narkoba Berubah Religius, Riwayat Pelaku Serangan Nice Perancis

Charlie Hebdo telah sering menerbitkan kartun nabi, baik sebelum maupun sesudah serangan mematikan yang menargetkan majalah tersebut. Ia mengklaim sebagai tindakan atas nama kebebasan berekspresi dan hak untuk menghujat di bawah kebijakan sekularisme Perancis, "laicite".

Pelaku penistaan ​​agama tidak dapat dihukum oleh hukum di Perancis, meskipun beberapa kasus hukum telah diajukan atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik.

Setelah pembunuhan Paty, Macron bersumpah bahwa Perancis "tidak akan menyerah membela kartun (Charlie Hebdo)."

Apa Itu Laicite?

Sementara banyak negara menjunjung sekularisme, Perancis memiliki versinya sendiri tentang paham itu. Laicite mereka menyebutnya. Laicite telah menjadi nilai landasan negara selama lebih dari satu abad.

Laicite pertama kali diabadikan menjadi undang-undang pada tahun 1905, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. UU yang berusia 115 tahun itu mengakhiri sistem "agama yang diakui" di bawah Konkordat tahun 1801, yang menempatkan gereja di bawah mandat negara.

UU tahun 1905 meresmikan pemisahan tegas antara agama dan negara, dan menjamin kebebasan berpikir serta kebebasan beribadah. Namun UU tersebut tidak berlaku di wilayah Alsace Moselle, yang diduduki oleh Jerman hingga tahun 1918, di mana gereja-gereja terus berada di bawah Konkordat.

Kemudian konstitusi Perancis tahun 1958 menempatkan laicite sebagai pusat nilai-nilai negara, sebagaimana disebutkan dalam pasal pertamanya, "Perancis akan menjadi republik sekuler, demokratis, dan sosial. Ia harus menjamin kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum, tanpa membedakan asal, ras atau agama."

Dalam dua dekade terakhir, interpretasi baru tentang laicite telah mendapatkan dasar dalam wacana publik dan politik Perancis, yang menganjurkan pemisahan yang lebih ketat antara agama dan ruang publik. Menafsirkan ekspresi keyakinan di depan umum dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sekuler Perancis. Perdebatan ini lalu menjadi pusat kontroversi seputar Islam di Perancis.

Siapakah Muslim Perancis?

Perancis melarang sensus berdasarkan ras atau agama, sehingga sulit untuk memiliki data statistik yang dapat diandalkan, meskipun negara itu diyakini memiliki populasi muslim terbesar di Eropa.

Menurut Observatorium Laicite pada 2019, pekiraan jumlah muslim di sana bervariasi antara 4.1 juta sampai 8 juta muslim. Penganut Islam mewakili 10 persen dari 67 juta penduduk negara itu.

Jajak pendapat tahun 2019 yang dilakukan oleh lembaga penelitian pemerintah tentang kepemelukan agama, menunjukkan bahwa tiga persen responden mengatakan mereka merasa memeluk Islam. Sementara 48 persen responden menyebutkan memeluk Katolik dan 34 persen mengatakan mereka tidak memiliki afiliasi agama.

Baca juga: Syekh Al-Azhar dan Paus Fransiskus Ajak Bijak Sikapi Serangan Gereja Notre Dame

Dalam jumlah yang susah dilacak keakuratannya, sebagian besar muslim di Perancis diyakini berasal dari bekas jajahan Perancis di Afrika Utara dan Sub-Sahara, meskipun komunitas minoritas lain dari tempat lain juga hadir.

Pemerintah Perancis sendiri mengakui bahwa daerah pinggiran kota tempat yang dihuni para imigran dari bekas koloni diaglomerasi (dikumpulkan dalam satu tempat) selama abad ke-20 dan kurang terlayani.

"Kami telah memusatkan populasi bersama berdasarkan asal-usul mereka, kami belum cukup menciptakan kembali keragaman," kata Macron mengakui selama dua kali pidato pada Oktober lalu. "Perancis memikul tanggung jawab atas 'ghettoisasi' daerah-daerah miskin tempat banyak muslim tinggal."

Bagaimana Islam Didiskusikan di Perancis?

Meskipun pada prinsipnya sekularisme berlaku setara untuk semua agama, namun Islam berada di persimpangan konsepsi baru laicite, karena sejumlah undang-undang dalam 16 tahun terakhir berupaya mengambil sikap yang lebih keras terhadap ekspresi keagamaan di instansi dan ruang publik.

UU tahun 2004 yang melarang simbol-simbol keagamaan yang "mencolok" di sekolah, telah digunakan oleh otoritas sekolah untuk membenarkan mencegah beberapa siswa muslim menghadiri kelas sambil mengenakan pakaian yang dianggap memiliki konotasi religius, seperti rok panjang.

Pada tahun 2010, undang-undang lain disahkan yang menetapkan bahwa "tidak seorang pun boleh, di ruang publik, mengenakan pakaian apa pun yang dimaksudkan untuk menutupi wajah," dengan merujuk pada penutup wajah wanita muslim seperti niqab atau burqa.

Diperkirakan 1.000 hingga 2.000 wanita mengenakan pakaian berpenutup seperti itu di Perancis. Komite HAM PBB menemukan pada 2018 bahwa larangan niqab melanggar hak asasi manusia.

Topik Islamofobia sudah menjadi perdebatan lama di Perancis. Para pakar dan pengamat berpendapat bahwa persimpangan sejarah kolonial, ras, agama, dan kelas telah membuat banyak muslim negara itu menderita kemiskinan, diskriminasi, dan marginalisasi dalam kehidupan publik, di samping keyakinan mereka yang  dikriminalisasi oleh hukum dan diremehkan dalam wacana publik.

Temuan dalam jajak pendapat 2015 menyebutkan bahwa lebih dari setengah responden percaya Islam tidak sesuai dengan "nilai-nilai Perancis".

Kemudian semakin banyak tokoh politik yang menepis tuduhan Perancis mengidap Islamofobia, dengan mengatakan tindakan yang diambil dalam dekade terakhir, dan terutama sejak serangan Charlie Hebdo tahun 2015, telah bertujuan untuk melawan ekstremisme Islam dan mempertahankan nilai-nilai republik.

Bagaimana Ekstremisme Disikapi di Perancis?

Selain sejumlah serangan di Perancis sejak 2012 yang dilakukan oleh individu yang mengklaim berideologi ekstrem, ratusan warga Perancis melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Pada tahun 2018, badan intelijen Perancis memperkirakan bahwa 730 orang dewasa Perancis telah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah, di mana sekitar 300 dan 500 di antaranya diyakini tewas.

Sesudah ISIS kehilangan kendali atas wilayah yang dikuasainya, nasib orang asing yang ditahan di kamp-kamp, ​​yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, tetap menjadi pertanyaan bagi banyak negara, termasuk Perancis. Negara itu enggan memulangkan warga negara yang mungkin memiliki hubungan dengan kelompok militan. Sekitar 370 warga Perancis, sebagian besar dari mereka anak-anak, ditahan di kamp-kamp Suriah pada Juli 2019, menurut Pusat Analisis Terorisme (CAT).

Perancis telah mengeluarkan UU anti-terorisme dan UU yang berfokus pada keamanan lainnya setidaknya sekali setahun dalam satu dekade terakhir. Menyusul serangkaian serangan di sekitar Paris pada 13 November 2015, keadaan darurat diterapkan di seluruh negeri selama dua tahun.

Lalu Perancis juga berjanji untuk terus maju dengan RUU anti-separatisme setelah pembunuhan Paty. Anggota parlemen Eric Diard, telah memperingatkan bahwa "separatisme" belum secara formal didefinisikan oleh Otoritas Perancis.

"Belum ada definisi yang baik saat berbicara tentang separatisme agama," kata dia pada 24 Oktober lalu.

Laporan Unesco 2017 tentang pemuda dan ekstremisme kekerasan di media sosial juga mencatat bahwa tidak ada konsensus yang dicapai di Perancis tentang definisi "radikalisasi".

Kurangnya definisi yang jelas tentang beberapa terminologi yang paling sering digunakan, dapat mempengaruhi UU yang ada saat ini dan yang akan datang serta membiarkan penerapannya mengikuti interpretasi atas apa yang bakal dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan Perancis.

Redaksi
Redaksi / 443 Artikel

Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial. 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: