Kisah
Sindiran Thawus yang menampar Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
Salah satu dari sekian tugas seorang ulama yang punya akses kedekatan dengan penguasa adalah dengan mengingatkan dan mengarahkan penguasa jika ada sesuatu kebijakan yang dirasa tidak pas dan tidak memihak kepentingan warga.
Walaupun keberadaan ulama di sisi penguasa sering kali dipandang sebelah mata, akan tetapi sebenarnya jika ditilik dari esensi keberadaannya justru kehadiran ulama menjadi sebuah hal yang urgen. Karena bagaimana pun sosok yang mempunyai otoritas keagamaan adalah ulama.
Sebagaimana diungkapkan al-Ghazali, agama dan negara adalah dua koin yang tak terpisahkan. Keduanya saling mengisi dan menguatkan.
الدين والملك توأمان، فالدين أصل والسلطان حارس، فما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
“Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan.”
Oleh sebab itu, jika kita menelaah sejarah dan kisah-kisah para penguasa semenjak dahulu, bisa dipastikan selalu ada ulama -baik yang ada di lingkaran kekuasaan atau di luarnya- yang senantiasa menjadi penasihat yang mengawal berlangsungnya roda pemerintahan. Cara dan penyampaiannya pun beragam, mulai dari cara yang terkesan konfrontatif seperti kisah Ahmad bin Hanbal hingga cara halus dengan menasihatinya secara langsung.
Seperti ketika era Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (w. 125 H), khalifah ke-10 dinasti Umayah. Ia pernah secara halus tapi pedas diingatkan oleh ulama dan tabiin beken saat itu.
Suatu ketika tatkala Khalifah Hisyam bin Abdul Malik sedang berkunjung di Kota Mekkah. Ia mempunyai wishlist untuk bertemu dengan para ulama yang ada di Mekkah. Salah satu diantara nama-nama yang dingin ditemuinya ada sosok Thawus bin Kaisan al-Yamani. Ia merupakan salah satu pembesar ahli fikih dari kalangan tabiin. Dia juga termasuk santri kinasih dari sahabat Abdullah bin Abbas.
Singkat cerita Thawus bin Kaisan dibawa ke hadapan khalifah Hisyam di sebuah tempat yang sengaja sudah disiapkan. Tatkala menemui khalifah Thawus mencopot sendalnya di pinggir permadaninya Khalifah Hisyam tanpa memberi salam.
Thawus pun tidak memanggil Khalifah Hisyam bin Abdul Malik dengan sebutan Amirul Mu’minin, melainkan ia menyapa dengan nama aslinya, “Wahai Hisyam bin Abdul Malik, bagaimana kabarmu?”
Ia pun langsung duduk begitu saja di sisi khalifah Hisyam.
Menyaksikan itu, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik hanya melongo. Begitu beraninya Thawus, dia memanggil langsung Hisyam dengan namanya secara langsung. Amarah sang khalifah mulai naik. Ia benar-benar tak sabar menghadapi tingkah Thawus ini. Tak biasanya ada orang selancang itu di hadapannya. Amarah yang ia pendam begitu besar. Hampir saja ia bertitah kepada pengawalnya untuk menghunus pedang di tepat di kepalanya.
Belum sempat sang pengawal, mengeluarkan pedangnya, sudah ada seorang yang mencegahnya. Sejurus dengan itu ia memohon kepada khalifah.
"Sabar wahai Amirul Mukminin, engkau saat ini berada di kawasan tanah haram (Mekkah), sungguh tak elok jika perbuatan jelek terjadi."
Hisyam pun mengurungkan perintahnya, tetapi dengan keras dia berkata kepada Thawus "Wahai Thawus apa maksudmu bertingkah seperti ini di hadapanku?"
"Lo aku salah apa?" protes Thawus dengan polosnya.
"Dasar tak tahu diri, engkau dengan seenaknya datang dan mencopot sandalmu di pinggir permadaniku, engkau juga tidak memberi salam dengan menyapa wahai Amirul Mukminin, tidak memanggilku dengan julukanku, lalu duduk di sampingku tanpa seizinku," kata Hisyam.
"Oh itu," kata Thawus, masih dengan ekspresi datar. "Mengapa aku mencopot sandalku di pinggir permadanimu?” ia mengawali bicaranya “Ya karena aku sudah biasa mencopot alas kakiku kala aku salat berada di hadapan Allah ta'ala, akan tetapi Allah sama sekali tidak mencela ataupun marah kepadaku,"
Thawus pun melanjutkan alasannya tak memberi salam. "Adapun ucapanmu engkau tidak memberi salam kepadamu dengan menyapa wahai Amirul Mukminin karena tidak setiap muslim setuju atas naiknya engkau ke tampuk kekuasaan."
"Jadi, aku takut menjadi seorang pendusta," katanya.
Ia menghela napas sebentar, “Kemudian engkau juga protes karena aku memanggilmu dengan nama langsung, tidak dengan kunyahmu, karena Allah juga menamai para nabinya lalu memanggil mereka 'wahai Daud', wahai 'Yahya', wahai 'Isa'. Bahkan dia menyebut musuh-musuhnya dengan julukan dalam Firman-Nya celakalah tangan Abu Lahab.”
Sedangkan ucapanmu, duduk di sampingku tanpa seizin, maka hal itu karena aku telah mendengar Ali Bin Abi Thalib berkata,
"Apabila engkau ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seseorang yang duduk sementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya," Jawab Thawus memberi argumen atas tindakannya terhadap khalifah tadi.
Hisyam bin Abdul Malik hanya bisa tertegun mendengar jawaban cerdik dan menusuk Thawus. "Kalau begitu nasihatilah aku." ucapnya lemah.
Thawus berkata aku mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, "Sesungguhnya di neraka jahanam terdapat ular-ular dan kalajengking sebesar bighal (peranakan antara kuda dan keledai) yang mematuk setiap penguasa yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya."
Setelah mengatakan itu, Thawus langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Ia merasa tugasnya untuk mengingatkan akan pentingnya berlaku adil bagi penguasa sudah tersampaikan. Sang khalifah juga tampaknya bisa menerima nasihat tersebut.
Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.
Baca Juga
Kisah patah hati Sayidah Khadijah
18 Oct 2024
Kasih sayang KH. Hasyim Asy’ari terhadap anjing
19 Aug 2024