Tokoh
Sultan An-Nasir Hasan: Dari Wabah Hingga Dijebloskan ke Penjara
Untuk bisa memahami kisah Sultan an-Nasir Hasan secara komprehensif silakan membaca terlebih dahulu bagian pertama kisah ini berjudul “An-Nasir Hasan: Sultan Muda di Tengah Kemelut Politik Mamluk” di sini.
Belum genap satu tahun an-Nasir Hasan naik tahta, Ia sudah menghadapi masalah berat yang menerpa kesultanan Mamluk di Mesir. Musim gugur tahun 1348 Masehi menjadi saksi berjatuhannya banyak nyawa di Mesir. Wabah Hitam (black death) yang sebelumnya hanya ada di Eropa kini telah sampai di Mesir melalui jalur perdagangan Turki dan Syam. Tangis anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan rintihan orang-orang sakit menggema di setiap sudut kota Kairo. Langit serasa menghitam oleh kesedihan yang menyayat hati penduduk ibu kota Mesir.
Jalanan kota Kairo yang biasanya ramai kini sepi lengang. Masjid-masjid kosong dari jamaah. Pasar-pasar tutup. Sedangkan rumah-rumah menutup rapat pintu dan jendalanya. Tidak ada warga Kairo yang keluar dari rumahnya. Di sisi lain komplek pemakaman Qarafa ramai sibuk dengan prosesi pemakaman ribuan jenazah. Ribuan jiwa tak tertolong. Banyak rumah kehilangan penghuninya karena seluruh isi rumah mati karena penyakit wabah Hitam. Banyak harta tak lagi memiliki pewarisnya sehingga diakuisisi oleh kerajaan. Konon begitu mencekamnya kota Kairo hingga tidak ada penduduk Kairo yang mau membukakan pintu untuk tetangganya dan para orang tua harus rela meninggalkan anak-anaknya yang terkena wabah Hitam ini menjemput ajalnya.
Wabah hitam ini menjadi bencana bagi penduduk Mesir sekaligus menjadi ujian berat bagi kekuasaan sultan an-Nasir Hasan di tahun pertama pemerintahannya. Sultan yang bernama kecil Qumari itu pun harus disibukkan dengan urusan pandemi yang memuncak di bulan Oktober hingga Desember 1438. Empat amir yang mewakili kekuasaannya pun harus sibuk memikirkan perekonomian yang memburuk akibat wabah. Perdagangan di dalam dan ke luar negeri terhenti total. Bahkan mereka pun harus banyak kehilangan ulama-ulama terbaiknya di masa itu. Para tentara yang bertubuh kekar pun tak luput dari bencana kesehatan ini.
Awal tahun 1349 wabah Hitam mulai bisa dikendalikan, meski sudah menelan banyak korban. Bulan Februari 1349 wabah Hitam dinyatakan telah berakhir Mesir. Roda perekonomian kembali berjalan. Jalan-jalan utama Kairo mulai dipenuhi pedagang dan orang-orang yang berlalu-lalang. Masjid-masjid kembali dipenuhi jamaah. Madrasah-madrasah kembali ramai oleh para penuntut ilmu. Kehidupan kota Kairo perlahan membaik.
Pulihnya kehidupan masyarakat membuat para politisi kembali melakukan konsolidasi internal kelompok mereka. Sikut-menyikut kepentingan antar klan yang sempat terhenti di saat bencana wabah kini berlanjut kembali. Masing-masing klan kembali siaga menghadapi setiap manuver lawan politiknya. Era Dinasti Mamluk memang masa paling panas dan berdarah dalam sejarah Mesir Islam. Pertikaian politik berlangsung hampir setiap hari di sepanjang tahun. Meski di era ini pula bangunan-bangunan megah kota Kairo dibangun. Masjid-masjid dibangun hampir di setiap sudut kota Kairo. Madrasah-madrasah didirikan untuk para penuntut ilmu. Khanqah-khanqah dibuat untuk tempat beribadah para sufi. Begitu juga infrastruktur-infrastruktut publik yang lain seperti benteng, tempat minum musafir, dan sarana belajar anak-anak banyak didirikan di masa ini.
Salah satu bangunan megah yang dibangun di era Mamluk adalah Madrasah dan Masjid Sultan Hasan. Bangunan yang memiliki panjang kurang lebih 76 meter dan tinggi 36 meter ini memiliki fungsi ganda, yaitu menjadi sekolah bagi para penuntut ilmu dari empat madzhab fikih dan menjadi masjid.
Madrasah dan masjid Sultan Hasan dibangun dari hasil mengumpulkan harta-harta peninggalan penduduk Kairo yang wafat ketika terjadi wabah Hitam dan mereka tidak lagi memiliki ahli waris. Pembangun madrasah dan masjid ini dimulai di tahun 1356 Masehi, satu tahun setelah Hasan terbebas dari tahanan rumah dan memulai masa kekuasaannya yang kedua. Namun hingga kelak sang sultan wafat, madrasah dan masjid ini belum juga selesai dibangun. Madrasah dan masjid ini juga diproyeksikan menjadi makam bagi Sultan Hasan jika kelak wafat. Namun karena jenazah Hasan tidak pernah ditemukan hingga hari ini, maka makam yang ada di madrasah dan masjid ini ditempati oleh jenazah putranya.
Di bulan Februari 1360 kecelakaan besar menimpa proyek pembangunan madrasah dan masjid ini. Menara ketiga yang berketinggian puluhan meter menjulang ke langit runtuh menimpa para pekerja. Sekitar tiga ratus orang kehilangan nyawa dalam kecelakaan ini. Setelah kejadian tersebut menara keempat batal dibangun. Menara yang runtuh itu pun tidak lagi diperbaiki. Dari empat menara yang rencananya akan dibangun, akhirnya hanya dua menara yang sukses terselesaikan.
Saat sudah memasuki usia dewasa an-Nasir Hasan menikah dengan Tulubiyya (w. 1363), putri salah satu amir ayahnya, Abdullah an-Nasiri. Dengan dia dan mungkin juga dengan istri atau selir lainnya, an-Nasir Hasan memiliki sebelas putra dan enam putri. Putra-putranya adalah Ahmad (w. 1386), Qasim (w. 1358), Ibrahim (w. 1381), Ali, Iskandar, Sya'ban (w. 1421), Isma'il (w. 1397), Yahya (w. 1384), Musa, Yusuf dan Muhammad. Sementara itu dari enam putrinya, hanya Shaqra (w. 1389) yang tercatat dalam sejarah. Putrinya ini menikah dengan Amir Baybugha al-Qasimi (juga dikenal sebagai Aurus), salah satu amir utama kesultanan pada masa pemerintahan an-Nasir Hasan.
Setelah merasa dewasa, Hasan merasa tidak lagi membutuhkan perwalian dari para amir. Ia berniat untuk mengambil kekuasaan yang menjadi haknya dari para amirnya. Dia pun mengumpulkan dewan hakim yang terdiri dari empat hakim ketua. Di depan dewan hakim, Ia menyatakan bahwa dirinya sudah tidak lagi membutuhkan perwalian para amir dan akan mengambil kekuasaan eksekutif dari para amir.
Rencana pengambil alihan kekuasaan itu dimulai Hasan dengan memecat Amir Manjak al-Yusufi dari posisinya sebagai wazir dan Ustadar (kepala staf kesultanan). Beberapa bulan kemudian upaya Hasan mengambil kekuasaan dari para amir ini dihentikan oleh Amir Taz an-Nasiri.
Pagi itu adalah puncak musim panas, pertengahan Agustus 1351 Masehi, dengan membawa prajurit yang setia kepadanya, Amir Taz an-Nasiri menangkap Sultan an-Nasir Hasan dan menggiringnya untuk dijadikan tahanan rumah. Hasan dikurung di tempat tinggal ibu mertuanya, Khawand, di dalam gedung khusus para harim di Citadel Kairo.
Hasan adalah seorang pemuda yang sangat giat belajar. Terbukti masa tahanannya dia gunakan untuk mempelajari teologi Islam khususnya karya-karya cendekiawan madzhab Syafi’i al-Bayhaqi. Dia juga mengkhatamkan kitab Dalail an-Nubuwwah. Hasan juga dikenal sebagai seorang sultan Mamluk yang mahir dalam ilmu bahasa Arab dibandingkan para pendahulunya sehingga para sejarawan menggambarkannya sebagai sosok sultan yang sangat berbudaya.
Di luar tahanan, Amir Taz bermanufer politik dengan mengangkat ash-Shalih Shalih, saudara tiri dari Hasan sebagai sultan yang baru. Tentu saja pengangkatan ini bukan murni pengangkatan seseorang menjadi sultan, akan tetapi di baliknya ada rencana licik dari Amir Taz untuk memperalat ash-Shalih Shalih dan menjadikannya boneka yang bisa dengan mudah Ia kendalikan. Dengan begitu jabatan dan kenyamanan fasilitas yang selama ini Ia dapatkan tidak akan hilang dengan tersingkirnya Hasan dan naik tahtanya ash-Shalih Shalih.
Ash-Shalih Shalih menjabat sebagai sultan selama tiga tahun. Selama itu pula Amir Taz menjadi orang memiliki kekuasaan terkuat di kesultanan Mamluk Mesir. Sementara itu ash-Shalih Shalih—sebagaimana Hasan di awal kekuasaannya—hanya menjadi boneka dan wayang yang dikendalikan Amir Taz dari balik layar. Pengendalian ekonomi, militer, politik, dan birokrasi dikendalikan penuh oleh Amir Taz.
Melalui kekuasaannya mengendalikan pemerintahan kesultanan Mamluk ini, Amir Taz memperoleh pundi-pundi kekayaan yang berlimpah. Ia bahkan bisa menghadiahi istrinya sebuah istana semewah istana sultan yang dibangunnya di jalan Saliba, tidak jauh dari Citadel. Istana Amir Taz ini mulai dibangun tahun 1352, setahun setelah penggulingan Hasan dari tahtanya. Istana tersebut kini menjadi museum yang dibuka untuk umum di siang hari. Sementara malam harinya dijadikan arena pertunjukkan teater dan musik. Sebelum berfungsi seperti hari ini, istana ini pernah berfungsi sebagai sekolah khusus perempuan dan gudang penyimpanan oleh kementrian pendidikan Mesir.
Alumni Universitas al-Azhar Mesir. Suka menerjemah kitab-kitab klasik. Sekarang tinggal di Banyumas Jawa Tengah.