Berita

Syekh Al-Azhar: Dua Kelompok yang Menyimpang dari Wasathiyah Islam

20 Apr 2021 01:29 WIB
1708
.
Syekh Al-Azhar: Dua Kelompok yang Menyimpang dari Wasathiyah Islam

Grand Syekh Al-Azhar Asy-Sharif, Dr. Ahmed at-Tayeb mengatakan bahwa wasathiyah atau moderasi Islam membutuhkan tanggung jawab kaum muslimin dalam mengemban kewajiban menjaga peradaban kemanusiaan serta melindunginya  dari penyimpangan dan dari berubahnya kemajuan mutakhir menjadi sumber kesengsaraan dan keterasingan kendati fasilitas dan kemudahan begitu mudah didapat.

Dalam ketidakseimbangan itu, menurut Imam Besar Al-Azhar, manusia mengalami kebingungan dan tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Demikian disampaikan Syekh Ahmed at-Tayeb dalam program serial Ramadhan beliau episode keempat, seperti dilaporkan youm7.com pada Jumat (16/4).

Pada tiga episode sebelumnya, beliau menjelaskan bahwa karakter paling menonjol dari agama Islam adalah wasathiyah (moderat) dan tawasuth (bersikap tengah-tengah) di setiap hukum dan syariatnya. Bahkan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ibadah.

Lebih lanjut, Ketua Majelis Hukama al-Muslimin itu menerangkan bahwa karakteristik wasathiyah tidak dapat dipungkiri oleh peneliti siapapun, ada dalam syariat Islam yang lurus. Agama Islam berdiri di tengah antara paham atheisme yang anti-Tuhan di satu sisi dan syirik atau politheisme di sisi lain. Ibadah dalam Islam berada di tengah-tengah antara pelbagai agama yang cukup menjalankan syiar ibadahnya dengan kontemplasi ruhani (tidak mengenal praktik peribadatan), dan agama-agama lain yang menyerukan paham kerahiban, fokus ibadah dan lepas dari hal-hal normal keseharian.

Syekh Al-Azhar menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang menyemangati pemeluknya agar mengingat dan menghadirkan Allah dalam laku hidup, tidak membutuhkan tempat dan tata cara tertentu (untuk mengingat-Nya). Seorang muslim menyembah Allah; bisa sambil berjalan di bumi untuk memakmurkan dan makan dari rezeki yang ada di atasnya. Seorang muslim bisa menikmati makan dan minum tanpa berlebihan dan mubadzir. Seorang muslim dapat memanfaatkan perhiasan dunia namun tanpa disertai rasa ujub, takabur dan memandang rendah orang lain. Dengan kata lain, muslim dibebani (taklif) ibadah-ibadah yang mudah untuk dijalankan, baik yang rutin harian, bulanan atau bahkan sekali seumur hidup, supaya komunikasi dengan Tuhannya tidak terputus.

Wasathiyah atau moderasi Islam, menurut beliau, menjadi representasi dari kendali keselamatan agama ini. Melenceng keluar dari prinsip wasathiyah sama dengan keluar dari agama itu sendiri, baik dalam bentuk berlebih-lebihan maupun bermudah-mudah terhadap perkara agama.

Perbedaan keduanya jelas. Sikap berlebihan-lebihan dalam agama terlihat dalam upaya menambahkan atas apa yang telah disyariatkan Allah swt. kepada hamba. Adapun sikap bermudah-mudah tampak dalam meremehkan hukum syariat agama. Keduanya sama-sama buruk dan tercela, karena sama-sama keluar dari garis tengah atau keadilan. Orang yang ketat, kaku bahkan ekstrem dalam beragama hingga mengharamkan apa yang dihalalkan atau mewajibkan sesuatu yang sebenarnya tidak wajib, tidak lebih baik daripada orang yang berani mengeluarkan fatwa yang isinya justru mencoreng ajaran Islam, seperti berfatwa menghalalkan apa yang diharamkan.

Syekh Ahmed at-Tayeb melanjutkan bahwa kedua model beragama itu justru akan mencabut Islam dari esensi agama yang diinginkan Allah swt. dan dipraktekkan Rasulullah saw. Kaum muslimin di setiap zaman dan tempat selalu diuji dengan kelompok-kelompok seperti itu. Mereka menyesatkan generasi muda Islam, entah dengan propaganda “keluar dari kungkungan ajaran agama” atau dengan beragama yang kaku, ekstrem dan menutup diri dari lingkungan dan sosial.

Kunci agar terhindar dari bahaya dua kelompok itu, menurut beliau, adalah dengan belajar dan bertanya kepada ulama yang menyampaikan agama Allah dengan adil dan yang tidak takut kepada siapapun kecuali Tuhannya.

Tiga Premis Sebelum Bicara Wasathiyah Islam

Grand Syekh Al-Azhar Ahmed at-Thayeb menegaskan bahwa ada tiga premis yang harus diketahui sebelum membicarakan wasathiyah Islam.

Pertama: Al-Quran adalah sumber pertama dan prinsip-prinsip umum universal bagi kaum muslimin dalam merumuskan aturan-aturan sosial, ekonomi dan politik. Kerangka legislatif universal inilah yang disebut dalam bahasa modern sebagai tsawabit (hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen) dalam syariat. Adapun model-model terapan yang terus berubah itu disebut dengan mutaghayyirat (hal-hal yang mengalami pergantian). Hukum-hukum al-Quran yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang berubah-ubah (seperti transaksi), semua itu adalah hukum-hukum umum yang memungkinkan untuk mengikuti perubahan zaman.

Kedua: Tidak ada dalam al-Quran dan hadits, dalil yang menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat temporal saja, sekiranya orang-orang Islam bisa mengantongi alasan jika ingin berlepas atau menanggalkan beberapa ajaran agama. Yang pasti ditegaskan nash adalah bahwa syariat Islam bersifat permanen sekaligus fleksibel dan memiliki kemampuan mengimbangi perubahan zaman.

Ketiga: Premis yang diterima kalangan cendekiawan yang berpikir adil bahkan dari kalangan non-Muslim sekalipun, adalah bahwa syariat Islam telah memberikan sumbangsih nilai-nilai, konsep pemikiran, ajaran dan hukum legislasi yang terbaik dan terindah sepanjang sejarah peradaban manusia.

Program Al-Imam Tayeb ini disiarkan pertama kali pada bulan Ramadhan tahun 2016. Dalam tahun kelima ini, Imam besar Al-Azhar itu akan membahas tentang karakteristik agama Islam, prinsip wasathiyah, hukum-hukum taklif, kemudahan syariat, sumber legislasi hukum Islam dan bantahan atas syubhat (penyimpangan dan kekeliruan) yang menyerang sunnah (hadits) dan turats.


Abdul Majid
Abdul Majid / 107 Artikel

Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: