Artikel
Syekh Ali Jum’ah: Alasan Harta Waris Laki-laki Dua Kali Bagian Perempuan
Mengapa harta waris laki-laki dua kali lipat bagian perempuan? Syekh Ali Jum’ah mengatakan bahwa kewajiban materi dan beban finansial yang harus ditanggung oleh kaum laki-laki, membuat mereka mendapatkan bagian lebih dalam sistem hukum waris Islam.
Tanggung jawab secara materi dan finansial yang ditanggung oleh golongan laki-laki, dijelaskan secara terperinci oleh anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar itu sebagai berikut: Pertama: Kaum laki-laki memikul beban tanggungan dalam urusan keuangan di awal kehidupan rumah tangga serta hubungan dia dengan istrinya. Itulah alasan mengapa laki-laki wajib membayar mahar.
Allah swt. berfirman:
وَآتُواْ النِّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa: 4)
Mahar adalah sejumlah harta yang wajib dibayarkan laki-laki kepada perempuan sebagai bagian dari ketentuan syariat di awal kehidupan berumah tangga. Dalam hal ini, kedudukan wanita lebih unggul daripada laki-laki, di mana laki-laki tidak berhak meminta mahar dari perempuan, meskipun jika perempuan itulah yang ingin dinikahi.
Kedua: Setelah menikah, laki-laki berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya, meskipun istrinya memiliki sejumlah harta kekayaan yang bahkan si suami tidak memilikinya.
Suami tidak memiliki hak meminta harta tersebut untuk digunakannya menafkahi si istri. Dia lebih tidak berhak lagi memintanya menafkahi dirinya sendiri. Karena Islam memberikan keistimewaan kepada perempuan (dalam hal ini adalah istri), melindungi hartanya, dan tidak mengharuskan dia menafkahi suaminya.
Ketiga: Kaum laki-laki juga dibebani tanggung jawab atas kerabat-kerabatnya dan orang lain yang wajib ia nafkahi. Dengan alasan, ia menjadi penanggung jawab beban keluarga serta kewajiban-kewajiban sosial yang ditanggung oleh pewarisnya dalam kapasitasnya sebagai bagian dari si pewaris tersebut atau penerusnya atau merupakan keluarga dari jalur laki-laki.
Baca juga: Syekh Ali Jum’ah: Islam Datang Bukan Untuk Kampanyekan Poligami
Syekh Ali Jum’ah kemudian melanjutkan bahwa sebab-sebab di atas—dan masih ada sebab lainnya—menjadikan kita melihat masalah harta atau kekayaan secara lebih obyektif. Yaitu, bahwa kekayaan dan harta atau kepemilikan dipahami secara lebih umum daripada sebuah pendapatan (income).
Pendapatan adalah harta yang masuk ke dalam kekayaan. Pendapatan bukanlah kekayaan itu sendiri. Kekayaan adalah simbol akumulasi jumlah harta yang menetap dan tersisa dari kalkukasi pemasukan dan pengeluaran.
Dengan pertimbangan ini, kita mengetahui bahwa Islam memberikan perempuan separuh bagian laki-laki dalam pendapatan yang masuk (khususnya dalam hal warisan), serta membebaninya untuk menjaga pendapatan (warisan) ini tidak terkurangi kecuali untuk menunaikan hak Allah swt. seperti zakat.
Adapun bagi kaum laki-laki, Allah memberikan pendapatan yang lebih besar kepada dia, namun menuntut dia harus memberikan nafkah dari pendapatan tersebut kepada istri, anak-anak, dan kedua orang tuanya mereka sudah lanjut usia, serta kerabat dan pembantu yang wajib ia nafkahi.
Selain itu, dia juga yang harus membayar beban-beban tagihan sebagaimana yang ada pada masa sekarang seperti biaya sewa dan biaya-biaya tagihan lainnya.
Hal di atas semakin menguatkan bahwa Allah lebih mengutamakan kaum perempuan daripada laki-laki dalam hal kekayaan. Pihak perempuan ditugasi menjaga harta miliknya dan tidak dituntut mempergunakannya sebagai nafkah dalam bentuk apapun.
Oleh karena itu, ketika urusan finansial tidak membebani pihak laki-laki sebagaimana dalam kasus warisan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, kita menemukan bahwa Allah Yang Maha Bijak telah menyamakan mereka dalam hal warisan. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, sama-sama mendapatkan bagian waris yang sama.
Baca juga: Syekh Ali Jum’ah: Adanya Poligami untuk Memuliakan Kaum Wanita
Allah swt. berfirman:
وإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (QS. An-Nisa: 12)
Dalam kasus di atas, ada penyesuaian atau penyamaan antara bagian laki-laki dan perempuan dalam warisan. Mereka memiliki hak waris karena faktor kekerabatan di luar ahli waris dzawil furudh (disebut dzawil arham). Mereka bukan golongan ahli waris ‘ashabah mayit. Jika mereka termasuk ‘ashabah, tentu akan menjadi penerus mayit (dalam beban tanggung jawab). Dalam keadaan ini, tidak ada beban-beban tanggung jawab di punduk mereka, para kerabat yang tergolong dzawil arham.
Dengan meneliti secara mendalam terhadap kondisi dan persoalan yang terjadi terkait warisan, para ulama mengungkap sekian banyak fakta yang mencengangkan banyak orang. Ada lebih dari 30 kasus di mana pihak perempuan mendapatkan warisan yang sama dengan pihak laki-laki, atau bahkan lebih banyak, atau dia dapat mewaris sementara saudara laki-lakinya tidak dapat mewaris, dibandingkan dengan 4 kasus spesifik di mana perempuan mendapatkan setengah dari bagian waris laki-laki.
Kesimpulan Syekh Ali Jum’ah, semua itu adalah hasil dari meneliti dan mempelajari kasus waris dalam ilmu faraid. Penemuan itu lantas membuktikan betapa besarnya peradaban Islam menghormati dan menghargai kaum perempuan.
Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024