Tokoh
Syekh Sya’rawi, sosok ulama yang diterima semua kalangan
Seolah alam menghendaki agar beliau tetap ada. Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi barang kali masih terlalu asing ketika saya mendengar dulu di Indonesia. Kemudian mulai mendengar namanya ketika awal mula di Mesir, itu pun mengenalnya hanya sebatas seorang ulama Azhar yang sudah wafat tahun 1998 atau 24 tahun yang lalu, itu saja.
Memang, Syekh Sya’rawi adalah ulama yang bisa diterima oleh hampir semua kalangan penduduk Mesir—dengan penduduknya yang sangat beragam. Hal itu bisa dilihat dengan mudah pada kehidupan sehari-hari. Banyak kaca-kaca mobil angkutan umum banyak dihiasi oleh foto senyum beliau, seolah para sopir angkutan merasa bangga memasangnya. Bahkan spanduk nama toko atau tempat minum (semacam kotak pendingin air) yang disediakan di banyak sudut jalan, juga banyak yang memasang foto-foto beliau.
Kemudian kebiasaan masyarakat Kairo adalah memutar radio dengan suara lumayan kencang di toko mereka atau di mobil angkutan umum, bahkan di pasar. Saya sangat sering mereka memutar ceramah beliau yang bahkan sudah berlalu seperempat abad. Namun suara beliau masih saja mengiringi denyut nadi kehidupan masyarakat Kairo.
Dokumentasi video beliau ketika sedang mengajar majelis tafsir maupun memberikan ceramah juga kebanyakan yang menggunakan bahasa Mesir ala masyarakat awam kampung (Amiyah Rayfiyah). Sehingga untuk memahaminya butuh upaya yang berkali-kali lipat dibanding memahami bahasa Mesir kota Kairo. Setelah lama kelamaan agak terbiasa dengan bahasa yang beliau gunakan, mulailah bisa menangkap lebih utuh tentang apa yang beliau sampaikan. Di sinilah pengenalan itu lebih dalam.
Siapa sangka, justru di antara kehebatan Syekh Sya’rawi adalah kemampuan menyampaikan pengajaran dengan bahasa yang sangat sederhana, bahasa ala kampung, yang mampu dipahami oleh segala lapisan masyarakat. Tidak hanya itu, cara beliau menyampaikan pengajaran dengan gestur yang sangat akrab, seolah mengajak bicara pada para pendengarnya. Di samping juga penguasaan beliau terhadap tafsir yang seolah telah mendarah daging. Sehingga semua itu mampu menyihir para hadirin untuk larut dalam kalam yang disampaikan beliau. Seolah penyampaian beliau itu hidup, punya ruh.
Saya tidak menyangka bahwa daya tarik beliau berhenti ketika beliau wafat. Bahkan berlanjut bahkan hingga kini. Setidaknya beberapa hal mengatakan demikian. Pertama, bagi orang non-Mesir jika dia mampu memahami bahasa yang beliau gunakan, hampir pasti akan terbawa dengan asyik pada untaian kalam beliau. Keindahan bahasa hanya bisa dirasakan bagi orang yang menggelutinya.
Kedua, kajian tafsir Al-Quran beliau yang dulu hanya terdokumentasikan dengan video dan berbahasa Amiyah, ternyata kemudian semua itu diketik ulang dalam bahasa Arab Fusha dan terkumpul sekitar 19 jilid. Bahkan hingga kini pun karya tafsir itu masih mudah ditemukan di toko-toko kitab. Saya memahami bahwa meski beliau tidak menuliskan sendiri, namun masyarakat seolah menghendaki karya beliau terabadikan dengan cara menyalinnya dalam bentuk tulisan. Betapa sangat diterimanya beliau ini oleh masyarakat Mesir.
Ketiga, saya juga cukup terkejut ketika dikabari bahwa ternyata sangat banyak pemirsa video versi terjemahan beliau dalam bahasa Indonesia. Ketika baru sebentar di upload, viewernya langsung tinggi. Yang paling membuat saya kaget ketika beberapa waktu yang lalu bertemu dengan teman lama di Indonesia, dia bilang kalau dirinya ngefans dengan ulama Mesir dan sering menyimak videonya, namanya Syekh Sya’rawi.
Saya tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa menikmati kalam beliau yang hanya melalui terjemahan, dan tentu terjemahan itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan memahami langsung pada kalamnya. Ada sisi-sisi yang tidak bisa diwakili oleh terjemahan, misalnya bercanda ala lokal, gaya bahasa setempat, budaya dan tradisi masyarakat. Tapi kenyataannya mereka tetap bisa menikmatinya.
Sehingga ketika julukan Imam Ad-Duaat (sang maestro dai) yang dilekatkan masyarakat Mesir pada beliau tidak salah. Iya, memang demikian kenyataannya. Berikut ketika beliau mengajar di Masjid Sayidina Husain di Kairo:
Syekh Sya’rawi dan al-Quran
Beliau dilahirkan pada tahun 1911 di kampung Daqadus, Miyt Ghamr, Provinsi Daqahliyah sekitar 93 kilo sebelah utara dari Kota Kairo. Pendidikannya dimulai dari sekolah dasar (Ibtidaiyah) Al-Azhar, kemudian berlanjut hingga jenjang sekolah menengah atas (Tsanawiyah) yang juga di bawah naungan Azhar. Sempat tidak ingin melanjutkan, namun orang tuanya mendorong untuk masuk Universitas Al-Azhar dan beliau sampai lulus dari fakultas Bahasa Arab pada tahun 1940.
Kecintaan beliau terhadap bahasa Arab dan sastra mengantarkan beliau pada kemampuan yang mumpuni dibidang tersebut, yang pada saatnya nanti akan terlihat ketika beliau mengfokuskan diri pada Al-Quran dan tafsirnya. Berikut kisah beliau sebagaimana dituturkan oleh Prof. Syaikh Hasan Syafii dalam otobiografinya:
“Salah seorang murid Syekh Sya’rawi berkata padaku bahwa Syekh Sya’rawi adalah sastrawan dan penyair. Setelah Syekh Sya’rawi beberapa tahun berada di Aljazair (dalam rangka penugasan) dan di sana beliau berinteraksi dengan salah satu Syekh Sufi (saya menduga adalah gurunya yang bernama Syekh Balqaid) Syekh Sya’rawi bernazar untuk mengabdikan diri pada Al-Quran. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam hal itu, dan mampu memberikan ceramah bertema berat dengan gaya sastra indah.”
“Kejeniusan itu tampak ketika beliau menjelaskan Al-Quran, beliau dianugerahi Allah kemampuan sangat baik dalam menyederhanakan pembahasan dan memudahkan penyampaian pemahaman beliau dan keindahan sastra terhadap para pendengarnya sekalipun mereka masyarakat paling awam. Di samping juga beliau memiliki banyak murid berpendidikan tinggi. Serta kemampuan beliau dalam membawa masyarakat dengan segala lapisannya dalam memahami Al-Quran dan mengenal sisi keindahannya.”
Hal yang sangat menarik ketika mengunjungi makam beliau di kampung halamannya. Syekh Sya’rawi yang pernah menjabat berbagai jabatan termasuk menjadi menteri urusan wakaf (Wizaratul Auqaf) dan bahkan sempat akan dicalonkan sebagai Syaikhul Azhar namun beliau tidak berkenan. Ternyata beliau di kampung halamannya juga membangun sarana pendidikan, layanan masyarakat, bahkan klinik kesehatan.
Semua itu sekarang menjadi semacam komplek bangunan yang tersambung satu dengan yang lain dan masih berjalan hingga kini, sekaligus menyatu dengan bangunan makam beliau. Kemarin tanggal 22 Safar adalah peringatan wafat beliau. Iya, beliau memang sudah wafat lama, namun ilmu, jasa, dan nama beliau masih menggema hingga saat ini. Alfatihah.
Asal Malang Jawa Timur. Pernah belajar di pesantren Lirboyo. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar jurusan Tafsir. Berkhidmah di PCINU Mesir. Penulis adalah penerjemah video Youtube Sanad Media.