Esai

Tantangan fikih muamalah di era digital

20 Oct 2023 09:05 WIB
622
.
Tantangan fikih muamalah di era digital Fatwa atau rumusan hukum harus selaras dengan nilai etik dan mendorong kemajuan peradaban.

Perkembangan dunia industri yang sangat cepat bahkan memasuki 5.0 tak pelak mengubah banyak hal dan tata cara manusia berperilaku dan bersosial. Di saat yang sama, tuntutan agar fikih tetap menjadi solusi akan semakin menguat. Sebab rumusan pada era 100  tahun yang lalu saja sudah banyak yang berubah akibat perubahan praktik kehidupan. Apa lagi rumusan hukum yang jauh sebelumnya. Fikih sangat dinamis karena ia bersifat ijtihadi. Terlebih fikih muamalah atau transaksi yang menjadi urat nadi kehidupan sebab berkaitan dengan kebutuhan primer manusia.

Di saat yang sama, fikih perlu ditangani oleh ahlinya yang mengetahui mana yang statis dan yang dinamis, tidak perlu suara semangat tanpa keahlian. Fikih muamalah merupakan bagian fikih yang dominan sisi logis atau ma’qulil ma’na. Aturan dalam fikih muamalah sebenarnya kembali pada hal-hal yang merugikan pelaku transaksi. Jika pun ada aturan yang bersifat tanpa alasan yang mampu dijangkau nalar atau ta’budy maka itu hanya sebagian kecil saja seperti benda yang masuk kategori riba.

Berangkat dari sana fikih muamalah memang dari awal telah memiliki gaya tersendiri berupa kelenturan yang lebih dominan di banding dengan fikih ibadah. Hal ini sangat selaras dengan pola kehidupan yang terus berkembang dan dinamis.

Ada dua corak yang digunakan oleh para pakar fikih di era saat ini dalam memandang, mengategorikan (takyif), cara menggali dalil hingga dalam memberi hukum terhadap muamalah kontemporer. Berikut analisa Dr. Magdi Asyur, penasihat mufti bidang akademi di Darul Ifta Mesir.

Corak pertama, mayoritas keputusannya mengategorikan muamalah atau transaksi yang muncul di era kini ke dalam bab-bab fikih turas yang sudah ada, sesuai dengan gambaran praktik transaksi. Corak ini memasukkan esensi transaksi tersebut ke dalam bab fikih yang ada, tanpa opsi untuk melahirkan konsep baru meski terkadang terasa memaksakan untuk tetap masuk dalam bab fikih tersebut.

Corak kedua, memandang pada berbagai sisi yang ada dalam transaksi tersebut dan memahami dengan benar pada praktik transaksi itu, lantas terdapat beberapa tahap dalam upaya pengategorian transaksi tersebut masuk dalam bab fikih tertentu.

Tahap pertama adalah ketika transaksi itu bisa masuk kepada dengan bab fikih yang ada, seperti jual beli, penyewaan, hutang, syirkah, mudharabah dan lain sebagainya. Jika ternyata masuk dalam bab fikih yang ada maka konsentrasi pembahasan selanjutnya adalah pada hal-hal yang masih menjadi khilaf ulama dan mengambil yang paling menjadi solusi dan sesuai dengan tradisi yang berlaku, dan yang bisa meminimalisir sengketa pihak yang bertransaksi. Langkah ini yang biasa disebut dengan “ikhtiyar fiqhiy” atau memilih pendapat para ahli fikih.

Jika ternyata praktik transaksi yang ada tidak sesuai dengan akad tertentu dalam fikih secara tertulis maka digunakanlah cara selanjutnya yaitu mencari sisi kemiripan dengan akad yang ada (isti’nas). Penulis  menyebutnya dengan istilah “ilhaq masail bin nadzair” atau menyamakan dengan apa yang sudah tertulis dalam akad yang ada dalam fikih dan melahirkan hukum yang sama.

Jika ternyata tidak sesuai dengan dua tahap di atas, di sinilah muncul yang disebut “akad baru” yang belum ada dalam turas fikih. Jadi membuat kategori sendiri untuk transaksi tersebut. Upaya ini  adalah suatu rumusan baru bernaung dalam maqasid syariat dan mengakomodir maslahat yang lebih kuat dari pada mafsadah. Dengan syarat tidak menerjang pada larangan yang sudah menjadi ijmak.

Semua itu dengan cara mengukur akad baru tersebut dengan kaidah fikih yang menjadi standar transaksi, agar tidak sampai keluar dari kaidah tersebut. Contohnya adalah kaidah “benda yang ditransaksikan bukanlah yang haram secara esensinya atau dzatiyahnya” seperti anjing babi. Atau “yang haram sebab faktor eksternal (sadd dzariah)”. Juga “larangan terjadinya tidak jelasan dan penipuan”, berikut berbagai model darinya. “Larangan riba dan perjudian”. “Keharusan adanya kerelaan dalam transaksi yang tidak haram”, berikut larangan mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar.

Jika akad baru tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah di atas maka dirumuskan bahwa itu boleh.

Perbedaan dua corak dalam merespons itu tampak pada bagaimana memandang transaksi menabung uang ke bank dan mendapat hasil darinya atau disebut bunga. Corak pertama memandang dan mengategorikan tabungan di bank masuk dalam hutang oleh pihak bank terhadap nasabah. Meski dalam transaksi tersebut terkandung sisi investasi nasabah terhadap uangnya ke dalam sektor yang terpercaya, dalam hal ini adalah bank.  

Sedangkan corak kedua memandang pada tujuan dari transaksi tersebut serta model transaksi yang secara garis besar mengandung sisi investasi dari nasabah. Bukan hutang maupun riba. Ditambah melihat aturan dan praktik yang ada di bank (Mesir). Berangkat dari situ, corak kedua mengategorikan transaksi tersebut sebagai akad baru yang tidak mengandung kebohongan maupun kerugian, dan relasi antara nasabah dengan bank adalah relasi investasi bukan hutang. Hal itu sesuai dengan aturan bank sentral Mesir pada tahun 2003 berikut praktiknya. Keuntungan yang dihasilkan pun tidak berdasar keinginan pihak bank, namun berdasar kajian tentang risiko dalam bisnis dan mengikuti strategi keuangan dengan cara terbaru.

Dua corak tersebut punya perbedaan yang nyata. Pertama memandang akad baru dalam koridor akad yang ada dalam turas, terikat dengan teks, tidak menembus pada esensi, tujuan dan maslahat manusia mukalaf.

Di saat yang sama corak kedua bertumpu pada penggambaran logis dalam tiga tahapan yang telah disebutkan, yang berorientasi pada menghalau kesukaran dan menjadi solusi bagi mereka, dengan tanpa menabrak pada ijmak maupun nash syariat yang sudah final (qath’iy). Ditambah peran seorang pemberi fatwa sebisa mungkin untuk memberikan legalitas perilaku, transaksi dan pernikahan masyarakat dan ini menjadi metode para mufti agung khususnya di Dar Ifta, di mana peran mereka melakukan pembaharuan atau tajdid dalam ranah fikih dan transaksi secara khususnya.

Corak demikian adalah metode bijak yang otomatis mengharuskan adanya tajdid melalui fikih berikut perangkatnya;  usul fikih, sumber fikih, maqasid, kaidah dan takhrij. Tajdid fikih tidak berada di tangan ahli ekonomi, perundangan atau yang lain. Begitu pula tampak betapa pentingnya suatu rumusan bersama dan dilakukan oleh institusi memandang bahwa permasalahan ekonomi kontemporer merupakan sesuatu yang membutuhkan informasi yang jelas sehingga bisa mewujudkan tujuan syariat dan menjadi solusi bagi masyarakat. Dengan demikian fatwa atau rumusan hukum selaras dengan nilai etik dan mendorong pada kemajuan peradaban

Hafidz Alwi
Hafidz Alwi / 6 Artikel

Asal Malang Jawa Timur. Pernah belajar di pesantren Lirboyo. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar jurusan Tafsir. Berkhidmah di PCINU Mesir. Penulis adalah penerjemah video Youtube Sanad Media.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: