Buku
Toleransi Islam dalam berinteraksi dengan Non-Muslim dalam pandangan Imam Besar al-Azhar Syekh Muhammad al-Khidr Husain
Prinsip keadilan yang ditunjukkan agama Islam dalam ajaran dan syariatnya, salah satunya dapat dilihat dari bagaimana agama ini merumuskan prinsip-prinsip interaksi antara Muslim dan Non-Muslim.
Ini yang dikatakan oleh Syekh Muhammad al-Khidr Husain, Grand Syekh al-Azhar asal Tunisia dalam esai panjang yang diterbitkan pada tahun 1350 H/ 1932 M. Tulisan ini kemudian dibukukan bersama kitab lain karangan beliau dalam sebuah ensiklopedia lengkap karya beliau yang terbit pada tahun 1431 H. Beliau menjabat sebagai Imam Besar al-Azhar ke-41 pada tahun 1952-1954.
Syekh Muhammad al-Khidr hendak menunjukkan bagaimana Islam begitu teliti dalam memberikan rambu-rambu interaksi dengan para pemeluk agama di luar Islam. Dalam pandangan Islam, orang yang berbeda agama ada tiga: (i) orang yang memerangi Islam; (ii) orang yang membuat perjanjian damai dengan orang Islam; dan (iii) golongan ahli dzimah.
Menghadapi golongan pertama, Islam memerintahkan orang-orang Muslim untuk mempertahankan diri dan melawan bila mereka menyerang—dengan cara-cara yang baik. Sebagai contoh, tidak diizinkan memerangi orang-orang yang tidak ikut berperang dari mereka seperti pendeta, wanita, anak-anak dan orang tua. Pun yang tertangkap dan jadi sandera, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam.
Terhadap golongan kedua, Islam memerintahkan orang-orang Muslim untuk menepati setiap perjanjian yang diteken bersama dengan orang-orang Non-Muslim. Harta benda dan kekayaan mereka harus dihormati, tidak boleh diganggu. Seandainya ada dari mereka pulang ke kampung halaman, dan memiliki barang atau piutang (di negara Islam), maka yang bersangkutan wajib menyerahkan kepadanya. Andai dia ternyata sudah meninggal, harus diserahkan kepada ahli warisnya. Kemudian jika ahli warisnya tidak diketahui, tetap harus diserahkan kepada pemimpin kaumnya.
Adapun golongan ketiga, mendapatkan perlindungan hak dan kebebasan selama hidup di dalam sebuah negara Islam dan menjadi bagian masyarakat bersama orang-orang Muslim lainnya, di mana satu sama lain terikat oleh ikatan persaudaraan, solidaritas dan kerja sama untuk kemaslahatan bersama.
Menurut Syekh Muhammad al-Khidr Husain, al-Quran memberikan rumus asasi dalam aspek sosial dan politik untuk menjadi pedoman dalam memerinci detail-detail hukumnya. Ini bisa dilihat dalam aspek sosio-politik terkait interaksi dengan Non-Muslim ketika mereka memilih untuk tinggal di tengah-tengah umat Islam.
Allah swt. berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8)
Syekh Muhammad al-Khidr melihat betapa ayat di atas mendorong untuk menegakkan prinsip keadilan dalam berinteraksi dan bermuamalah dengan Non-Muslim. Ayat itu juga menunjukkan keutamaan berbuat kebajikan terhadap mereka. Tidaklah makna ini diungkapkan dengan kalimat “Allah tidak melarang”, melainkan karena hendak membantah apa yang mula-mula terlintas dalam benak pikiran, bahwa karena mereka berbeda agama dengan kita, maka kita tidak perlu berbuat baik kepada mereka dan boleh-boleh saja menelantarkan hak-hak mereka.
Perlindungan syariat Islam terhadap Non-Muslim yang berstatus ahli dzimmah betul-betul dipahami oleh para ulama fikih. Mereka beristinbath dari prinsi-prinsip asasi itu kemudian melahirkan hukum-hukum fikih di mana orang Muslim dan Non-Muslim berada dalam posisi yang sama. Mari kita lihat paparan ulama fikih terkait hal ini.
Para fukaha memperbolehkan seorang Muslim mewasiatkan atau mewakafkan sebagian dari hartanya kepada ahli dzimmah, dan wasiat atau wakaf tersebut harus dijalankan. Ketika Nabi Muhammad saw. bersabda, “Janganlah seseorang membeli barang yang telah dibeli kepada saudaranya dan janganlah dia melamar perempuan yang telah dilamar saudaranya,” para ulama mengatakan, “Larangan membeli dan melamar ini juga berlaku bagi ahli dzimmah; sama-sama haram.”
Oleh karena itu, dalam menerangkan etika bermuamalah dengan Non-Muslim, para ulama fikih selalu mengingatkan hak-hak ahli dzimmah dan menganjurkan untuk berlemah lembut kepada mereka.
Syihabuddin al-Qarafi dalam kitab al-Furuq mengatakan, “Akad (perjanjian) dzimmah mengharuskan kita melindungi dan menjaga hak-hak mereka karena mereka hidup di tengah-tengah kita. Siapa saja menyakiti mereka walaupun dengan sekadar kata-kata buruk, maka dia telah menyia-nyiakan apa yang telah dijamin oleh Allah, Rasulullah dan agama Islam.”
Lebih tegas lagi, Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’ mengatakan, “Bilamana orang kafir harbi datang ke tanah kita, hendak menangkap seorang ahli dzimmah, maka kita wajib membelanya walaupun harus dengan perang mengangkat senjata. Karena menyerahkan dirinya, berarti menyia-nyiakan akad dzimah.”
Jadi, orang-orang Muslim tercerahkan oleh keagungan toleransi agama mereka. Dari aturan-aturannya, mereka belajar bagaimana berinteraksi dengan para penganut agama lain, selama tidak merencanakan kejahatan dan tidak menunjukkan permusuhan terhadap mereka. Mereka dapat hidup bersama dalam kedamaian dan saling bekerja sama untuk kepentingan nasional sebagai sesama warga negara.
Sering kali kita membaca berita tentang orang-orang yang hati mereka dilapangkan oleh Islam. Mereka menyatakan bahwa di antara alasan mereka mendapatkan hidayah adalah kelapangan dada dan kemurahan hati yang mereka lihat dalam agama ini, serta perintah untuk berbuat baik dan lemah lembut di setiap berurusan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan.
Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.