Artikel

Urgensi Mengkaji Ulang Turats Ibnu Arabi

04 Aug 2021 09:23 WIB
1355
.
Urgensi Mengkaji Ulang Turats Ibnu Arabi

Apa pentingnya mengkaji ulang turats Syekh Ibnu Arabi di zaman Ini? Demikian judul pengantar Syekh Saeed Foda dalam kitab Al-Kasyif ‘an Madzhab Ibn ‘Arabi (Bagian I). Saya terjemahkan dengan  menyelaraskan paragrafnya sebagai berikut:

Pertanyaan di atas muncul terus-menerus, yang mana orientasinya ialah untuk membantah kajian-kajian tersebut. Terkadang diucapkan: Seorang pengkaji telah fokus terhadap masalah yang telah lampau, dan makalah-makalahnya telah cukup dalam membahas ulama terdahulu, maka dari itu membicarakan dan mengkritik ulang hal di atas tak ubahnya berperang tanpa musuh. Maka apa pentingnya mengkaji ulang turats Syekh Ibnu Arabi?

Saya berkata: Pembahasan tentang Ibnu Arabi serta ulama lainnya, terkhusus tokoh yang banyak mengeluarkan ungkapan-ungkapan kontroversial yang memicu perdebatan luas di tiap masanya, bukanlah pembahasan dari segi biografis—sebagaimana yang saya sebutkan, melainkan dari segi ajaran dan pendapat mereka.

Benar, Syekh Ibnu Arabi wafat pada tahun 638 H., namun ajarannya masih hidup sampai sekarang. Kita harus membedakan antara personalitas dan ajaran serta pemikirannya. Ketika ajaran dan pemikiran sudah tersebar, maka keduanya tidak akan mati. Dan kita tidak mengkritik pemikiran seseorang yang mana ia sendiri menutup rumahnya atau menyepi dari manusia dalam semedinya. Akan tetapi di sini kita mengkritik seseorang yang mengungkapkan pemikirannya, menganggitkannya karangan, menyebarkan keyakinannya dan mengajak orang-orang menuju ke sana, serta meninggalkan murid-murid yang akhirnya membawa pemikiran dan membangun pondasi-pondasinya.

Jika demikian adanya, berarti sang tokoh pemikir itu memberikan hak kepada seluruh pengkaji yang pakar di bidangnya untuk memberikan pandangan mengenai ungkapan-ungkapannya serta kalau perlu mengkritiknya. Bagaimana jika semua hal itu mendorong orang untuk mengkritik ajaran para teolog (mutakallimin), baik itu mazhab Asya’irah maupun yang lainnya? Hal ini, tepatnya, merupakan status orang yang ungkapan-ungkapannya kita kritik dan kita bantah di sini. Dan ungkapan-ungkapan itu ditampilkan agar menjadi prototipe di dalam kerangka koneksi-koneksi atas satu masalah, sebagaimana pembaca yang budiman lihat nanti.

Ajaran Ibnu Arabi, yang mana telah meletakkan pondasi akbarnya dan merancang konstruksi umumnya, telah berkembang sangat pesat. Para murid, muridnya murid, dan para pengikutnya, telah mengkonstruksi ulang pondasinya, menyempurnakannya, kemudian merinci dasar-dasarnya, seperti yang terjadi dalam mazhab teologis maupun formalis mana pun.

Oleh karena itu, tidak sepatutnya jika ada pengkaji yang mengkritik pendapat Ibnu Arabi dikomentari: Ah, tokoh itu telah mangkat menghadap Tuhannya—karena ajarannya masih tetap hidup, dan kita melihat pemikiran dan pengaruhnya dalam kitab-kitab akidah, kitab-kitab tafsir, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

Kita pun melihat di antara kita terdapat para sufi akbarian (nama bagi pengikut Ibnu Arabi—Penerj.) yang mengikrarkan ajarannya. Apakah seorang ahli fikih yang menyoal pendapat Abu Hanifah, misalnya, layak disangkal dengan argumen bahwa Abu Hanifah telah mangkat? Apakah orang yang mengkaji ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi layak disangkal dengan alasan seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bermakna lagi jika dikembalikan kepada fakta bahwa interaksi para pengkaji dan pemikir dengan suatu pendapat dan pemikiran tidak mengenal kata putus sampai kapan pun. Justru pemikiran itu tetap hidup, aktif, dan berpengaruh, khususnya pemikiran yang berhubungan dengan akidah, di mana itu merupakan asas yang membangun moralitas dan tindakan.

Orang-orang yang menyangka bahwa penutupan atas tema-tema tertentu dan penyetopan terhadap kajian-kajian yang bersifat khilafiyah (berbeda pendapat) itu merupakan solusi paling benar bagi perang pemikiran, maka mereka adalah para pengkhayal. Karena upaya itu tidak berdampak kecuali tak ubahnya menutup bara api dengan tumpukan sekam, seraya menyangka bahwa hal itu bisa memadamkan baranya, akan tetapi cepat atau lambat justru akan memantik nyala api. Tiap-tiap pemikiran kontroversial yang ada di kitab-kitab terbitan harus senantiasa diteliti oleh seorang pengkaji, sehingga ia terpengaruh, kemudian pikirannya terobrak-abrik atau muncul pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya lalu ia pecahkan dengan suatu kajian. Adakalanya ia menerima, meyakini dan mengkuatkan pemikiran-pemikiran kontroversial itu, atau justru mengkritiknya. Contoh-contoh atas hal ini tak terhitung lagi.

Selama masalah-masalah itu belum tersingkap dan pemecahannya belumlah purna, maka intensi para pengkaji terhadap masalah tersebut tidak akan pernah berhenti, karena masalah itu ibarat penyakit. Pembungkaman para pengkaji dari masalah itu dan pemberangusan mulut para penggumam dari hal tersebut merupakan upaya pengabaian terhadap gejala penyakit dan pelestarian terhadap mala. Cepat atau lambat, oknum pembungkam bakal lenyap dan penyakit itu akan kembali meletupkan gejalanya, dengan intensitas yang lebih kuat daripada yang dibungkam sedari semula. Dari itulah, jalan yang sesuai ialah dengan memberikan kebebasan kepada para pemikir dan pengkaji untuk berdebat, berdiskusi, dan bertukar pendapat, sesuai dengan etika yang berlaku. Dengan begitu permasalahan jadi jelas, argumentasi jadi jernih, pendapat yang benar jadi terpilah dari yang keliru, dan ideologi dan pemikiran yang kokoh akan tampak jelas mengalahkan pendapat yang tumpul dan lemah.


M.S. Arifin
M.S. Arifin / 24 Artikel

M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: