Tokoh
Zainab binti Jahsy, wanita yang dinikahkan Allah dengan Nabi
Pada umumnya anak perempuan dinikahkan oleh orang tua atau walinya, tetapi tidak dengan Zainab binti Jahsy.
Istri Nabi yang satu ini memiliki kisah yang berbeda dari perempuan lainnya. Zainab ra--sapaan karibnya--mendapat keistimewaan lantaran Allah langsung yang menikahkan dirinya dengan Nabi Muhammad saw.
Ini membuat dirinya besar hati di hadapan istri-istri Nabi yang lain dan berujar , “Kalian dinikahkan oleh orang tua masing-masing, sedang aku dinikahkan langsung oleh Allah swt di atas langit ketujuh.” Begitu kira-kira dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori melalui jalur Anas bin Malik.
Pernikahan Zainab ra dengan Nabi berlangsung pasca dirinya menikah dengan Zaid bin Haristah, seorang mantan budak yang diangkat anak oleh baginda Nabi Muhammad saw,. Kisahnya diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 36-37.
Muhammad bin Jarir al-Tabari—seorang pakar tafsir dan ahli sejarah kenamaan yang dikenal melalui karyanya yang berjudul Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir al-Tabari—menceritakan sekelumit kisah yang menjadi sabab nuzul (latar belakang) turunnya ayat tersebut. Semua bermula dari Nabi yang melamar Zainab ra untuk putra angkatnya, Zaid bin Haritsah.
Sontak saja lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh Zainab bin Jahsy dan keluarga. Tentu saja penolakan itu bukan tanpa alasan. Zainab ra adalah perempuan yang nyaris sempurna.
Selain berparas cantik, dirinya berasal dari marga Quraish—suku yang amat terhormat di kalangan Arab—yang itu berarti Zainab ra juga satu marga dengan baginda Nabi saw.
Tidak berhenti di situ, keluarga Zainab ra juga tergolong keluarga yang kaya raya dan taat beribadah. Sedangkan orang yang akan jadi calon suaminya tidak lebih dari seorang mantan budak yang diangkat anak oleh baginda Nabi saw. Rasanya secara manusiawi sah-sah saja Zainab ra enggan menikah dengan Zaid.
“Aku tidak sudi menikah dengannya, mau dilihat dari sisi manapun jelas aku lebih baik dari Zaid,” ujar Zainab yang juga diamini oleh saudaranya, Abdullah bin Jahsy.
“Cobalah kau terima dia,” Nabi berusaha merayu Zainab agar mau menikah dengan Zaid. Bukannya termakan dengan bujuk-rayu Nabi, Zainab malah menyergah, “Bagaimana mungkin aku diperintah atas diriku sendiri?” Belum lagi percakapan tersebut usai, Nabi tiba-tiba ketiban wahyu dari Allah swt:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Artinya: “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.”
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ayat di atas turun sebagai teguran Allah swt atas penolakan Zainab binti Jahsy dan keluarga. Kontan saja, Zainab ra berubah pikiran dan berbalik arah menerima lamaran Nabi.
“Kalau begitu, aku tidak akan mendurhakai rasulullah. Aku setuju menikah dengannya,” kata Zainab sembari mematapkan jawabannya. Syahdan, Nabi segera menikahkan keduanya.
Singkat kisah, hubungan rumah tangga Zainab dan Zaid berada diujung kehancuran. Zaid tak tahan dengan kelakuan istrinya itu. Dia tidak diperlakukan layaknya seorang suami. Cacian dan makian makin hari membuat hatinya hancur berkeping-keping. “Toxic relationship” adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan hubungan keduanya.
Dr. Lillian Glass—seorang ahli komunikasi dan psikologi—dalam bukunya berjudul Toxic People (1995) mendefinisikan toxic relationship adalah hubungan yang tidak saling mendukung satu sama lain. Slah satu pihak berusaha memiliki kontrol yang besar terhadap pihak lain. Dalam hal ini, Zainab binti Jahsy yang memiliki kontrol penuh atas Zaid bin Haristah.
Lantaran tidak kuasa menjalin hubungan toxic itu, Zaid berkeluh-kesah pada Nabi dan menyatakan akan mencerai talak istrinya. “Amsik Alaika Zaujak, pertahankan istrimu.” Saran Nabi saw.
Sejatinya Nabi tahu bahwa dalam waktu dekat Zainab akan menjadi istrinya, tetapi beliau enggan menyuruh Zaid untuk menceraikannya lantaran khawatir menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat. Persis seperti yang dikisahkan al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 37:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا (37)
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi”.
Ayat di atas sekaligus menyuratkan bahwa Islam tidak menyetujui tradisi Arab yang melarang ayah menikahi mantan istri anak angkatnya. Sebab bagaimanapun anak angkat (al-mutabana) tidak sama dengan anak kandung.
Dan yang lebih penting, dari pernikahan Zaid dan Zainab Allah swt hendak mengajarkan arti kesetaraan (al-musawah) kepada umat Islam. Putri bangsawan dinikahi oleh seorang mantan budak. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah masyarakat Arab kala itu. Dengan kata lain, tolak ukur kesetaraan dalam pernikahan tidak ditentukan oleh nasab maupun kekayaan, melainkan dengan ketaatan.
Imajinasi Kaum Orientalis
Lagi-lagi pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy menjadi ladang empuk para orientalis untuk menyerang pribadi Nabi Muhammad saw.
Dengan lantang mereka menyuarakan bahwa Nabi Muhammad adalah laki-laki hiperseks (rojul syahwani) yang tak bisa menahan diri untuk tidak tergoda dengan perempuan. Mereka mengarang cerita berdasarkan imajinasi masing-masing.
Emile Dermenghem misalnya, orientalis asal Prancis itu menuliskan cerita imaginer dalam bukunya “Hayah Muhammad” tentang awal mula Nabi kepincut dengan Zainab ra.
“Dalam suatu kisah, Muhammad berkunjung ke rumah Zaid bin Haristah. Kebetulan putra angkatnya itu sedang tak ada di rumah. Belum lagi Muhammad bergegas pulang, ia mendapati Zainab sedang berjalan menuju kamarnya dengan kondisi separuh telanjang. Muhammad tak kuasa melihat kemolekan tubuh Zainab dan berujar, ‘Mahasuci tuhan yang membolak-balikkan hati’ kemudian ia pergi begitu saja. Setelah mengetahui kejadian tersebut dari istrinya, Zaid kelabakan, bingung tak karuan, tanpa tau harus berbuat apa. Hingga akhirnya Zaid memutuskan pergi ke rumah Muhammad dan menawarkan untuk mentalak istrinya agar dinikahi oleh ayah angkatnya itu. Ternyata keinginan Muhammad disetujui oleh Tuhan dengan menurunkan wahyu khusus untuknya.”
Setelah ditelisik lebih dalam, imajinasi para orientalis tersebut tidak lepas dari sebagian pakar tafsir yang menyajikan riwayat bahwa Nabi saw jatuh cinta pada Zainab. Perasaan itu dipendam lantaran khawatir mendapat cacian dari orang-orang. Namun, Allah swt buru-buru menegur Nabi dengan menurunkan wahyu melalui malaikat jibril. Riwayat seperti ini bisa kita jumpai dalam Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Baghawi, Mafatih al-Ghaib dan lainnya.
Dr. Abdul Karim Zidan dalam bukunya “al-Mustafad Min Qasas al-Qur’an” memaknai ayat “Wa Tukhfi Fi Nafsika Ma Allahu Mubdihi” sebagai teguran Allah pada Nabi Muhammad lantaran meminta Zaid agar mempertahankan rumah tangganya. Padahal Nabi sudah diberi tahu bahwa Zainab akan menjadi istrinya. Tafsir seperti inilah—tulis Dr. Abdul Karim lebih lanjut—yang seharusnya kita pakai untuk memaknai ayat tersebut. Kalaupun ada yang berbeda, maka perlu dipertanyakan kebenarannya.
Hal senada disampaikan Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dalam bukunya “Adhwa’ al-Bayan Fi Idhah al-Qur’an Bi al-Qur’an”. Ia menuliskan :
وهذا هو التحقيقُ في معنى الآية الذي دلَّ عليه القرآنُ وهو اللائِق بجنابِه - صلَّى الله عليه وسلَّم
“Penafsiran seperti inilah yang seharusnya digunakan untuk memaknai ayat tersebut. Dan tentu saja, tafsir ini menyelamatkan baginda Nabi Muhammad dari hal-hal yang dapat mencederai kesempurnaan beliau”
Terlepas dari itu semua, kita tahu bahwa Nabi dan Zainab binti Jahsy memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Zainab ra tidak lain adalah putri dari bibi Nabi saw. Karena itu, keduanya pernah menghabiskan masa kecil bersama dan dibesarkan bersama-sama pula. Mana mungkin Nabi baru melihat Zainab di usianya yang sudah senja? Wallahu a’lam.
Saat ini menjadi tenaga pengajar Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur. Meminati kajian tafsir, hadits, fikih, ushul fikih dan sejarah.