Hujjatul Islam al-Ghazali adalah salah satu ulama paling disegani dalam sejarah Islam. Beliau tokoh cendekiawan muslim dengan karya yang bejibun, bahkan hampir dalam setiap disiplin keilmuan, ada karya tulis yang beliau tuliskan.
Dalam fikih, Imam al-Ghazali sudah mencapai derajat Mujtahid Mazhab. Beliau ulama yang bertipe polymath, menguasai segala bidang disiplin keislaman. Melalui Ihya’ ‘Ulumiddin, namanya harum di segala penjuru. Kredibilitasnya diakui kawan maupun lawan. Bahkan karya monumentalnya yang satu ini, menurut sebagian kalangan, hampir seperti al-Quran karena saking berbobotnya.
Namun melalui Ihya’ ‘Ulumiddin pula, beliau dituduh–oleh sebagian kalangan–mematikan aktifitas intelektual. Beliau dituduh sebagai sosok yang meninabobokan ummat, hingga menyebabkan Islam mengalami kemunduran. Sungguh tuduhan yang sangat naif dan tidak realistis. Bagaimana mungkin seorang yang sangat ngalim dan pakar, hanya karena melalui karyanya yang mendekati sempurna, dituduh sebagai biang kemandegan.
Mengenai kredibilitas Imam al-Ghazali, Syekh Murtadha Az-zabidi dalam Ithaf as-sadat al-muttaqin mengutip cerita Tajuddin As-subki yang menceritakan bahwa Abu al-Hasan as-Syadzili pernah mimpi bahwa beliau melihat Rasulullah SAW sedang membanggakan dan menyanjung-nyanjung Imam Ghazali di hadapan Nabi Musa dan Isa As.
Lantas Rasulullah SAW menanyakan kepada beliau berdua, “Apakah ada di antara umat kalian ada yang sama dengan orang ini?”
Syahdan Nabi Musa dan Isa As menjawab, “Tidak.”
Dalam khazanah nusantara, ada sosok yang dijuluki dengan Ghazali As-shaghir. Namanya KH. Ihsan bin Dahlan, Kiai yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Uniknya, Kiai Ihsan ini tidak pernah nyantri di Arab. Namun kepakarannya dalam bidang tasawuf diakui dunia. Kiai Ihsan mengomentari (memberikan syarah) karya terakhir dari Imam Al-ghazali yang berjudul Minhaj al-Abidin. Kiai Ihsan mengulasnya dalam judul Siraj At-thalibin.
Melalui kitab ini, Kiai Ihsan terkenal di seluruh penjuru dunia. Bahkan ditawari menjadi dosen di Universitas Al-azhar, namun beliau tidak berkenan menerima pinangan ini. Sampai sekarang buku beliau menjadi diktat wajib mata kuliah tasawuf. Di antara karya beliau yang terpublikasi adalah Siraj At-thalibin (Syarah terhadap Minhaj Al-abidin), Manahij al-Imdad (Syarah Irsyad al-ibad), dan Irsyad al-ikhwan fi bayan hukm syurb al-qahwah wa ad-dukhan dll.
Persamaan Imam al-Ghazali dan Kiai Ihsan Jampes
1. Sama-sama nyantri dalam keadaan terpaksa.
Imam al-Ghazali nyantri agar mendapat subsidi makan gratis, sedangkan Kiai Ihsan bin Dahlan nyantri karena takut leluhurnya.
Dikisahkan bahwa Kiai Ihsan Jampes semasa muda sangatlah nakal, sehingga nenek beliau mengajaknya berziarah ke makam leluhurnya yang bernama Kiai Yahuda dengan tujuan Ihsan muda bisa kembali ke rel keluarganya.
Syahdan, setelah pulang beliau bermimpi didatangi Kiai Yahuda. Beliau dinasehati agar menjadi penurut dan pribadi yang saleh. Pasca bermimpi, ada semacam dorongan yang kuat sekali. Hingga beliau nyantri di beberapa pesantren, di antaranya di Bangkalan dan Lasem.
- Di masa tuanya, sama-sama konsen pada ilmu tasawuf.
- Sama-sama menganut mazhab Syafi’i dalam berfikih.
Kedua tokoh ini punya pengaruh besar dalam dunia tasawuf, maka kurang greget tasawuf seseorang yang belum membaca karya-karyanya dua tokoh sufi agung ini.