Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Habib Abdullah al-Haddad: Waspadalah terhadap intuisi palsu!

Avatar photo
47
×

Habib Abdullah al-Haddad: Waspadalah terhadap intuisi palsu!

Share this article

Di dalam kitab ad-Da’wah at-Tāmmah wa at-Tadzkirah al-‘Āmmah Habib Abdullah al-Haddad menulis pembahasan menarik tentang intuisi palsu (bisikan hati palsu). Selain menarik, menurut saya, penting diketahui khalayak umum. Tujuannya jelas, supaya apabila bisikan palsu ini menghampiri, mereka tidak terjebak dengan mengikutinya.

Dikatakan intuisi palsu karena pada lahirnya bisikan ini terdengar baik, bahkan cenderung mengajak pada kebaikan. Namun, di balik yang lahirnya mengajak pada kebaikan, intuisi ini sejatinya bertujuan untuk meninggalkan kebaikan sama sekali. Sederhananya, hakikatnya intuisi ini mengajak pada keburukan dengan bungkus kebaikan. Oleh sebab inilah, bisikan hati semacam ini disebut intuisi palsu. Berikut akan diuraikan seperti apa intuisi-intuisi palsu tersebut.

Secara garis besar, dijelaskan di dalam kitab tersebut pada halaman 14—18, intuisi palsu ini ada dua macam, yakni, 1) intuisi yang biasa datang pada ahlul-ilmi (orang-orang berilmu); dan 2) intuisi yang kerap kali mengganggu al-Jahil (orang pandir).

Intuisi Palsu yang Biasa Datang pada Ahlul-Ilmi

Intuisi palsu ini datang pada ahlul-ilmi bertujuan agar mereka enggan berdakwah dan menyebarkan ilmu yang mereka punya. Di antara intuisi palsu tersebut adalah:

Pertama, “Saya belum mengamalkan ilmu, bagaimana saya mau menyebarkannya atau mendakwakannya di jalan Allah Swt. Sedangkan, banyak sekali ancaman (yang dijelaskan dalam al-Quran dan Hadits) bagi mereka yang mengajak pada kebaikan padahal mereka sendiri tidak mengamalkannya.”

Inilah contoh intuisi palsu. Di permukaan memang terdengar baik. Namun. Hakikatnya intuisi ini mengajak agar ahlu-ilmi tidak berdakwah dan enggan menyebarkan ilmunya. Akhirnya, manusia akan tenggelam dalam kebodohan.

Untuk mementahkan dan menjawab intuisi semacam ini, Habib Abdullah membeberkan beberapa jawaban. Di antaranya, yakni 1) bahwa menyebarkan ilmu merupakan bagian dari mengamalkan ilmu; 2) seseorang yang menyebarkan ilmu, tapi tidak mengamalkannya lebih baik daripada orang yang tidak mengamalkan ilmunya sekaligus tidak menyebarkannya; 3) apabila tidak mampu melakukan semua kebaikan, maka jangan tinggalkan sebagian yang kita mampu—jika kita masih belum mampu mengamalkan ilmu, maka jangan pula kita tidak menyebarkannya.

Kedua, “(Terkadang) seorang alim berkata kepada dirinya sendiri: Sesungguhnya berdakwah di jalan Allah dan memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya adalah pangkat yang tinggi. Hal tersebut merupakan pangkat yang dimiliki imam-imam besar ahli agama, sedangkan saya bukan bagian dari mereka.”

Apabila kita pernah mendengar intuisi semacam ini, abaikan saja. Sebab, seperti contoh pertama, intuisi ini palsu. Seolah-olah ia mengajak untuk tawadu, kita tahu tawadu merupakan sifat terpuji, tapi sejatinya ia mengajak untuk tidak berdakwah dan tidak memberi petunjuk baik kepada masyarakat sama sekali.

Dalam konteks ini, Habib Abdullah al-Haddad juga memberi jawaban yang sangat rasional agar kita tidak terjebak dengan intuisi palsu ini. Berikut redaksinya:

وَهَذَا مِنَ التَّوَهُّمَاتِ الْفَاسِدَةِ لِلَّهِ لِأَنَّ الْحَقَّ لَا يَمْنَعُ عَنِ الْحَقِّ، وَالْخَيْرَ لَا يُصَرِّفُ عَنِ الْخَيْرِ

Artinya: “(Intuisi) semacam ini termasuk dari dugaan-dugaan yang rusak (tidak benar) kepada Allah. Sebab, perkara hak tidak akan mencegah perkara hak lainnya, pun suatu kebaikan tidak akan mecegah kebaikan lainnya.” (lihat dalam ad-Da’wah at-Tāmmah wa at-Tadzkirah al-‘Āmmah halaman 14)

Pada prinsipnya, jika memang intuisi di atas mengajak untuk melakukan kebaikan, yakni bertawadu, tapi kenapa di sisi lain mencegah untuk melakukan kebaikan lainnya, yakni berdakwah? Dengan demikian, sesuai dengan apa yang dijelaskan habib Abdullah, bisa kita simpulkan bahwa intuisi tersebut adalah palsu. Lahirnya saja yang mengajak bertawadu, tapi esensinya ia mengajak untuk tidak berdakwah dan menyebarkan ilmu.

Ketiga, “Seorang alim yang menyibukkan dirinya dan menghabiskan waktu-waktunya dengan hanya berwirid dan beribadah. Dia meyakini bahwa hal tersebut lebih utama daripada berdakwah dan menyebarkan ilmu bermanfaat.”

Apakah ada seorang alim semacam ini? Ada. Dia terjebak dengan intuisi palsu yang membisikinya bahwa berwirid dan beribadah tersebut lebih utama daripada berdakwah dan menyebarkan ilmu.

Kata Habib Abdullah, menanggapi intuisi semacam ini, bahwa yang benar dan tepat itu adalah berdakwah dan menyebarkan ilmu dengan ikhlas lebih utama daripada ibadah-ibadah sunah dan berzikir. Sebab, kata beliau, manfaat ilmu lebih luas dan dibutuhkan oleh setiap orang, awam; khash; tua; muda; semuanya membutuhkan ilmu.

Oleh sebab inilah, lanjut beliau, bagi seorang alim tidak hanya fokus berwirid dan mencukupkan dengan ibadah, tapi sebaiknya membagi waktunya, antara ibadah dan berdakwah menyebarkan ilmu. Malam ibadah dan siang menyebarkan ilmu. Berkaitan dengan hal ini, Habib Abdullah mengutip kaul Imam Malik rahimahullah:

وَقَدْ قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ رَحِمَهُ الله: اُطْلُبُوْا هَذَا الْعِلْمَ طَلَبًا لَا يَضُرُّ بِالْعِبَادَةِ، وَاطْلُبُوْا هَذِهِ الْعِبَادَةِ، طَلَبًا لَا يَضُرُّ بِالْعِلْمِ.

Artinya: Berkata Imam Malik rahimahullah: Kalian semua, tuntutlah ilmu ini dengan cara tidak membahayakan ibadah. Dan beribadahlah dengan tidak membahayakan ilmu.” (lihat halaman 15)

Intuisi yang Kerap Kali Mengganggu al-Jahil

Berbeda dengan Intuisi palsu yang datang pada ahlul-ilmi, intuisi ini datang bertujuan agar para al-Jahil tetap pada kejahiliannya. Gampangnya, agar mereka tetap tidak melek agama. Di antara intuisi palsu tersebut adalah:

Pertama, “Bahwa mencari ilmu dan mengetahui sebuah ilmu, akan menjadikan mereka (para al-Jahil) dihadapkan dengan hak-hak Allah dan hamba-Nya, serta mewajibkannya untuk melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-Nya.”

Dengan sebab kebodohannya, kata Habib Abdullah, orang jahil tersebut menduga bahwa dengan tidak berilmu dan tidak mencarinya, ia bisa terbebas dan selamat dari tuntutan-tuntutan agama. Padahal, lanjut beliau, dugaan tersebut adalah rusak (tidak benar) dan hanya alasan gegabah.

Berkaitan dengan dugaan rusak ini, bahkan ada segelintir al-Juhhāl (orang-orang jahil) enggan menghadiri majelis ilmu karena khawatir mendengar suatu hukum ketaatan kepada Allah yang nanti akan wajib mereka amalkan atau hukum kemaksiatan yang akan wajib dijauhi.

Menjawab intuisi palsu ini, Habib Abdullah menjawab dengan ringkas dan padat. beliau berkata:

وهيهات هيهات لله فإن الله لا يعذره بجهله، ولا يزيده بذلك إلا بُعداً وعذاباً، و خزياً ونكالاً.

Artinya: “Jauh sekali, jauh sekali! Maka sesungguhnya Allah tidak menerima alasan karena kebodohan dan dengan sebab intuisi palsu tersebut, dia hanya akan bertambah jauh (dari Allah), bertambah siksaan, kehinaan, dan hukumannya.” (lihat halaman 17)

Kedua, “Menghabiskan waktu untuk mencari dunia dan mengumpulkan harta lebih utama bagi al-Jahil daripada mencari ilmu dan melek agama.”

Intuisi semacam ini muncul pada diri orang yang sadar bahwa dirinya orang jahil. Dia pun menduga, karena dia sadar jahil, lebih baik fokus mencari harta saja dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Dia menduga hal ini lebih baik bagi dirinya. Mencari ilmu dan mendalami agama bukan tugas orang seperti dirinya.

Mengomentari intuisi seperti ini, kata Habib Abdullah, bahwa seseorang yang terserang oleh intuisi ini nanti pikirannya akan terbalik, seperti intuisi dia di atas. Padahal, bagi semua manusia, baik dia merasa alim atau jahil, tetap lebih utama menghabiskan waktu untuk mengetahui masalah agama daripada sibuk mencari dunia/harta. Mengenai hal ini, beliau berkata:

والحق أن الاشتغال بطلب معرفة الدين، والتبصر في العلم والقيام بحق الله علماً وعملاً هو الأصل والأساس والرأس والذي عليه التعويل وأمور الدنيا كلها إنما هي تابعة أعني المهم منها

Artinya: “Prinsip yang benar (dalam konteks ini) adalah bahwa sibuk dengan mencari ilmu, mencari tahu tentang agama, dan menegakkan hak Allah dengan mengamalkannya dengan landasan ilmu merupakan, kepala, pokok, atau asas yang harus dijadikan pegangan. Dan semua urusan dunia yang penting hanyalah ekor.” (lihat halaman 18)

Demikianlah beberapa intuisi palsu yang diuraikan Habib Abdullah al-Haddad. Semoga dengan sebab mengetahui uraian ini, kita terhindar dan bisa membedakan antara intuisi palsu berbungkus kebaikan tapi sejatinya ingin mengajak meninggalkan kebaikan sama sekali dan intuisi yang benar-benar mengajak pada kebaikan sejati. Wallāhu `A’lam.

Kontributor

  • Syifaul Qulub Amin

    Alumni Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, Madura. Sekarang aktif menjadi kontributor sekaligus editor di Website PCNU Bangkalan. Penyuka tumpukan buku dan kitab gundul. Lagi fakus menulis buku dan merambuti kitab gundul (menerjemah).