Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Nasihat as-Sya’rani untuk ulama yang dekat circle penguasa

Avatar photo
48
×

Nasihat as-Sya’rani untuk ulama yang dekat circle penguasa

Share this article

Di antara salah satu ulama yang dikenal mempunyai track-record  menjalin hubungan dengan penguasa semasa hidupnya adalah Imam as-Sya’rani. Ulama besar berkebangsaan Mesir ini bernama lengkap Imam Abdul Wahab al-Sya’rani.

Imam as-Sya’rani diyakini banyak orang sebagai mujaddid di abad 10 hijriah mengingat banyak sekali karya serta pemikiran beliau yang sangat luar biasa. Ulama yang meninggal tahun 973 H ini telah menulis kurang lebih 50 karya dalam berbagai cabang keilmuan Islam, mulai dari hadis, fikih, tasawuf dan lainnya.

Salah satu jejak yang masih kita saksikan terkait relasi beliau dengan penguasa, dan pandangan-pandangannya tentang hubungan ulama-umara’ bisa dilihat dari salah satu karyanya yang berjudul Irsyad al-Mughfilin min al-Fuqaha’ wa al-Fuqara’ Ila Syuruth Suhbat al-Umara’.

Kitab ini, secara bahasa bisa diartikan sebagai “Petunjuk bagi orang yang lupa dari golongan ahli fikih dan fakir dan syarat berelasi dengan pemimpin”. Dari judul tersebut secara garis besar ingin menyampaikan bahwa ada sekian cara dan etika yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh seseorang sebelum memutuskan untuk menjalin relasi dengan pemimpin dan penguasa. Imam Sya’rani menekankan lagi pada dua golongan, yakni golongan orang fakir dan golongan ulama.

Mengapa dua golongan tersebut lebih diperhatikan dan diberi penekanan dalam kitab ini, mengingat keduanya sangat rawan sekali terjebak dalam hitam putih dunia kekuasaan. Kaum-kaum fakir jika sudah dekat dengan penguasa, ia rawan sekali untuk dimanfaatkan, bahkan tak jarang karena terlalu menghamba pada harta dan kekuasaan ia rela kehilangan harga dirinya. Adapun para ulama pun demikian, jika sudah mabuk dengan kekuasaan tak sedikit ulama yang lupa daratan.

Oleh sebab itu dalam kitab ini as-Sya’rani secara lugas membahas relasi keduanya dengan begitu berimbang. Beliau tidak hanya menyebutkan jalan dan syarat yang mesti ditempuh oleh ulama yang hendak mendekat ke kekuasaan, beliau juga tak jarang memberikan edukasi kepada penguasa agar mempunyai jalinan relasi yang sehat. Karena bagaimanapun, ketika kedua elemen tersebut sudah bersatu dalam visi keislaman, niscaya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat hanya tinggal menunggu waktu saja.

Seperti disinggung di atas, secara garis besar beliau menekankan beberapa poin yang mesti kukuh dipegang oleh seorang ulama yang hendak menjalin relasi dengan pemerintah. Sekalipun tidak beliau tulis secara runtut poin per poin. Karena memang gaya penulisan kitab ini lebih mirip autobiografi.

Sebenarnya ada banyak sekali syarat-syarat yang diberikan oleh Imam Sya’rani bagi ulama yang hendak menjalin relasi dengan para penguasa. Akan tetapi dalam tulisan ini akan kami cuplik sedikit dengan harapan bisa menjadi pemantik bagi siapa pun yang ingin membaca lebih dalam kitab tersebut.

Pertama, sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan dan dekat dengan penguasa ia harus memastikan terlebih dahulu dalam dirinya sudah tertanam dengan baik siat zuhud. Sifat zuhud ini berarti dalam hatinya tidak ada sama sekali keinginan terhadap dunia. Butuh terhadap dunia iya, tapi tidak sampai menjadikan dunia itu sebagai tujuan dalam hubungannya dengan penguasa. Sosok yang memiliki sifat zuhud, tentu ia akan menjauhi.

As-Sya’rani mengutip perkataan gurunya yakni Syekh Ali al-Khowwas:

من لم يحكم مقام الزهد فى الدنيا ومن لازمه محبة قبول الإحسان والبر من أميره الذي يصحيه، وذلك مذهب لحرمته

“Barangsiapa yang belum sampai maqam zuhud di dunia, dan yang terbiasa suka menerima kebaikan dari penguasa yang dekat dengannya, maka hal tersebut akan menghilangkan kehormatannya.”

Kedua, Jika nasihat dan arahannya tidak diterima, maka jangan gampang marah dan memusuhinya. As-Sya’rani mencontohkan dengan teladan Nabi Musa yang diutus oleh Allah untuk mendakwahi Raja Fir’aun yang begitu zalim, akan tetapi Allah tetap mengutus Nabi Musa berdakwah dengan bahasa yang lembut.

Ketiga, Tetaplah menjalin hubungan yang baik dengan musuh politik sang penguasa, dengan harapan  bisa akan membawa hubungan dan kemaslahatan untuk mereka. Walaupun mungkin dalam konteks realitas mungkin ini sangat sulit untuk dilakukan, akan tetapi bukan tidak mungkin, mengingat kehadiran ulama dalam lingkaran kekuasaan memang seharusnya memberikan dampak positif bagi lingkungan itu.

Keempat, Tidak mengambil atau menerima hadiah dan pemberian dari penguasa. Nasihat ini merupakan tantangan paling besar dari sekian nasihat yang ditulis oleh As-Sya’roni. Mengingat biasanya justru, hal inilah yang menjadi alasan beberapa orang untuk mendekati penguasa. Namun Imam Sya’rani tidak, beliau sudah memegang betul nasihat ini. Bahkan sebelum beliau mau untuk masuk dalam lingkungan penguasa, terlebih dahulu beliau sudah berjanji dengan dirinya untuk tidak menerima dan memakan apa pun dari penguasa.

Bahkan diceritakan, sekalipun beliau memiliki kedekatan khusus dengan penguasa beliau tidak pernah menghadiri pesta/walimah yang digelar oleh penguasa. Dengan alasan tidak mau memakan dari harta penguasa, di samping itu beliau juga beralasan, ketika ia menghadiri walimah tersebut dan ia tidak memakan hidangan di acara tersebut, beliau khawatir akan diikuti oleh masyarakat yang hadir juga ikut tidak memakan hidangan yang sudah disiapkan. Ketika itu terjadi, itu justru akan membuat tuan rumah malu. Oleh sebab itu beliau memilih untuk tidak pernah menghadiri acara tersebut.

Kelima, harus selalu konsisten menemani dan membersamai di berbagai macam konflik atau paceklik. Pada umumnya, manusia akan senang membersamai seseorang ketika sedang berada di puncak kebahagiaan saja, sedikit yang mau untuk tetap berkomitmen menasihati dan berjuang bersama di titik yang terendah. Karena, tentu dalam mengemban amanah pasti terdapat suatu masa-masa sulit dan krisis. Nah, dalam titik inilah peran ulama yang di sekitar penguasa sangat diperlukan. Bisakah ia tetap membimbing pemimpin tersebut tetap di jalur yang baik, sehingga bisa menyelesaikan krisis dan konflik dengan baik atau tidak.

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.