Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sisa-sisa cerita dari peringatan 1 Abad NU: Bagian 2

Avatar photo
44
×

Sisa-sisa cerita dari peringatan 1 Abad NU: Bagian 2

Share this article

Hari Rabu 8 Februari, Daker Bandara mulai bertugas pada dini hari. Demikian juga pada Kamis 9 Februari, dini hari adalah saat mulai bertugas. Yang berbeda pada hari Kamis ini adalah adanya tugas mengurusi satu barang, bukan penumpang. Jadi ada satu barang yang diperlukan di sebuah acara NU di Jakarta pada hari itu, tapi tertinggal di Surabaya. Mas Tob melakukan koordinasi untuk menghadirkan barang itu di Bandara Juanda, kemudian mencari penumpang pesawat yang bisa dititipi membawa ke Jakarta. Dengan segala drama dan cerita, urusan ini pun beres.

Sebenarnya masih ada juga tamu yang baru pulang pada hari Jumat, Sabtu bahkan Ahad. Tapi setelah hari Kamis, tamu luar negeri sudah bukan lagi mengikuti rangkaian kegiatan NU, tapi mengikuti kegiatan sebagai undangan di beberapa pesantren. Dengan demikian, urusan kepulangan di bandara bukan lagi menjadi tugas panitia, melainkan tugas pesantren yang bersangkutan.

Mas Tob selaku korlap membolehkan LO Daker Juanda untuk pulang di hari itu pada petang hari setelah tamu terakhir sudah check in di bandara. Saya pribadi bahkan dibolehkan pulang pada Kamis siang hari, sebelum keberangkatan tamu terakhir hari itu. Tapi setelah teringat perjuangan Cak Faisal dan Cak Fuad di bandara yang tak kenal lelah, saya tidak tega dan tidak jadi pesan tiket pulang. Saya memutuskan harus menemani Cak Faisal dan Cak Fuad sebagai last men standing. Akhirnya Mas Tob membelikan saya tiket pulang untuk Jumat 10 Februari, pagi hari.

Kamis malam hari, saya diajak Mas Tob untuk menjenguk tamu Maroko yang masih belum pulang. Tamu ini diundang di satu pesantren di mana Mas Tob adalah salah satu staf dan pengajar di situ. Kebetulan salah satu pengasuh pesantren itu juga kami kenal, yang efeknya adalah kepulangan saya mundur sampai Jumat malam, setelah tamu dari Maroko tadi terbang ke Jakarta.

***

Pada suatu rapat online sebelum acara, seluruh LO diwanti-wanti agar tidak berniat hadir di acara dengan niat kumpul-kumpul atau jalan-jalan.  Dan benar, pada saat bertugas, dengan niat atau tanpa niat pun, kami tidak sempat melipir ke mana-mana karena padatnya tugas. Ada teman yang sangat akrab datang menyambangi penginapan LO di malam hari. Kami sangat akrab, biasa ngobrol sampai berbusa-busa. Tapi apa mau dikata, ia hanya kami tinggal tidur, karena lelah setelah tugas sebelumnya dan tugas esok hari yang sudah menunggu.

Sebelum berangkat ke Surabaya, saya dapat pesan dari istri untuk membuatkan video ucapan selamat ulang tahun dari teman-teman atau tokoh yang saya temui. Tapi pas pagi hari ulang tahun istri saya itu, 7 Februari yang bertepatan dengan Resepsi Puncak 1 Abad NU, saya hanya bisa menelepon dan memberi ucapan biasa. Saya bilang, maaf saya tidak sempat bikin video karena sangat sibuk di sini. Padahal, kalau tidak sibuk pun, saya mungkin bikin ucapan ya yang biasa saja. Hahaha! Ssst… Jangan sampai istri saya tahu, ya…

Anak saya sudah jauh hari minta video konser Maher Zein, penyanyi yang dia sukai. Tapi Selasa 7 Februari malam hari, kami putuskan pulang saja dari bandara ke penginapan. Mampir ke stadion di Sidoarjo untuk nonton hiburan musik sudah tidak lagi jadi agenda. Hari sudah melelahkan, besok tugas dimulai pada dini hari, belum lagi urusan membuat coret-coret data kepulangan. 

Beberapa orang dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, tempat saya bekerja, juga hadir di Surabaya dan Sidoarjo pada rangkaian acara ini. Ada satu grup Whatsapp baru yang dibuat untuk komunikasi kami. Kemudian disepakatilah satu agenda kopi darat atau kumpul-kumpul sesama rombonan UNU Yogyakarta yang hadir waktu itu. Tapi sama saja, karena kesibukan sebagai LO, saya tidak sempat bergabung.

Saat acara gala dinner peserta muktamar, kami para LO menyaksikan acara ini melalui layar televisi yang disediakan di luar ruangan. Saya dibikin kaget setelah tahu bahwa hiburan yang ditampilkan adalah Kesenian Badui khas Sleman. Kok bisa yang ditampilkan dari Sleman, bukan daerah lain, batin saya dalam hati. Saya memang punya minat penelitian pada kesenian tradisional Islam khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka saya dengan antusias sekali menjelaskan tentang Kesenian Badui kepada teman-teman sesama LO.

Saya ingat kalau ada satu mahasiswa saya yang pernah bercerita kalau di desanya terdapat Kesenian Badui. Saat saya perhatikan layar televisi dengan makin seksama, saya makin kaget saat sadar kalau vokalis dari Kesenian Badui yang tampil malam itu ialah si mahasiswa saya itu! Selepas acara, saya cari para penampil malam itu ke balik panggung dan mereka sudah tidak ada. Mau saya telusuri dan kejar lebih jauh lagi, tapi urung. Sudah tidak sempat, masih banyak pekerjaan.

Saya juga tidak sempat berinteraksi lebih dekat dengan para tamu luar negeri. Padahal, sebenarnya mereka adalah tokoh-tokoh hebat mulai dari para ulama, akademisi, pejabat, jurnalis atau wakil dari lembaga-lembaga penting. Tapi ada tamu di mana saya punya interaksi dengannya yang meski sejenak tapi mengesankan. Ia adalah Haji Syed Salman Chishty dari Chishty Foundation yang erat kaitannya dengan Tarekat Chishtiyah. Saya bilang ke Syed Salman kalau saya suka musik sufi termasuk dari Pakistan dan India.

Tiba-tiba ia meminta saya menyanyi Khwaja Mere Khwaja, satu lagu yang saya tahu bahwa isinya memuji Khwaja Muinuddin Chisti sebagai perintis Tarekat Chishtiyah. Lagu ini muncul dalam film Jodhaa Akbar (2008) di mana lagu dan musiknya diaransemen oleh A.R. Rahman, penata musik yang meraih dua piala Oscar (Academy Award) di tahun 2009 dari film Slumdog Millionaire. Saya gelagapan diminta menyanyi lagu Khwaja Mere Khwaja. Saya bilang kalau saya tahu dan suka lagu ini tapi tidak hafal. Lalu Syed Salman mendikte lagu dan saya mengikutinya sambil direkam. Ia bilang bahwa video ini akan dikirim ke A.R. Rahman yang katanya ia kenal. “You will be famous in India”, katanya. Hahaha.

Sehabis itu saya mulai menghafal satu lagu. Mau saya setorkan lagi ke Syed Salman, niat saya. Kali ini lagunya Nusrat fateh Ali Khan yang judulnya Allah Hu. Saya cukup familiar dengan lagu ini, tapi memang belum hafal 100 persen liriknya. Tapi ya itu. Saya tidak sempat ketemu lagi dengan Syed Salman untuk menyetorkan lagu, sudah sibuk masing-masing.

***

Dalam tugas menjadi LO ini, saya bertemu dengan teman-teman petugas yang luar biasa. Saya bertemu dengan korlap Mas Tob yang sibuknya minta ampun. Teleponnya tak berhenti digunakan seakan mau meletus. Tidak hanya lupa makan, mengurusi ikat pinggang pun dia tak sempat. Saya sempat perhatikan ia memakai tapi plastik alias tali rafia untuk mengencangkan celananya. Benar-benar sangat sibuk sampai tak sempat ini-itu. Untungnya, tali rafia itu masih ia ikatkan dengan simpul kupu-kupu yang masih enak dipandang.

Cak Faisal dan Cak Fuad luar biasa dedikasinya. Mereka berdua mau berangkat ke bandara pukul 03.30 dini hari untuk bertugas. Saya sendiri hanya mampu menyusul saat hari sudah terang, tidak kuat berangkat sedini itu. Cak Faisal tanpa henti mengurus handling tamu di dalam bandara, dari tamu datang sampai berangkat pulang. Cak Fuad yang ada di luar juga tak henti menghubungi banyak pihak; menelepon Cak Faisal di dalam, menelepon LO dan juga pengemudi mobil.

Saya bahkan melihat Cak Faisal dan Cak Fuad saling menelepon dengan saling berhadap-hadapan, terpisah kaca bandara, satu di dalam, satu di luar. Mungkin saking lelahnya, mereka berdua enggan jalan kaki ke arah pintu untuk bicara langsung tanpa telepon. Ketika sudah sampai di rumah, Cak Faisal pun tetap memantau keberangkatan tamu setelah hari Kamis, untuk dihubungkan dengan petugas bandara yang sudah ia kenal.

Faizin Zuhri, alias Walang Gustiyala, adalah LO spesial. Hari Kamis 2 Februari, saat masih di Bogor, dia ditelepon Mas Tob untuk menuju bandara Soekarno-Hatta, karena ada tamu dari Inggris yang datang terlalu cepat, sebagaimana yang sudah saya ceritakan di atas. Faizin harus seketika ke Jakarta dan menemani tamu terbang sampai ke Surabaya. Saking buru-burunya, Faizin hanya sempat membawa baju yang lekat di badan. Karena tugasnya hanya menemani tamu dari Jakarta ke Surabaya, maka Faizin akhirnya diperbantukan di Daker Juanda.

Erik Erfinanto yang mendaku diri di hadapan tamu Timur Tengah sebagai ṣaḥāfĭ (jurnalis) ini juga tak kalah unik. Dia dapat tugas membantu LO Bandara Soekarno-Hatta untuk membantu transit tamu pada Sabtu 4 Februari. Dia mengira akan terbang ke Surabaya pada Ahad 5 Februari. Tapi setelah memeriksa tiket yang diberikan panitia, Erik baru sadar kalau keberangkatan pesawatnya adalah hari itu juga, bersama tamu dari Mesir. Walhasil, sama dengan Faizin, Erik hanya berangkat dengan baju seadanya. Sesampainya di Surabaya, Erik mendapat tugas menjadi LO melekat pada satu tamu berkebangsaan Arab Saudi, yang sudah saya singgung di atas.

Tidak hanya nama-nama yang saya sebut barusan. Masih banyak nama-nama LO yang tidak saya sebutkan di sini, namun saya sungguh menjadi saksi akan perjuangannya sebagai bagian dari penyelenggaran acara. Sebagaimana tamu, para LO juga berlatar belakang berbeda-beda. Ada pemuka agama, akdemisi, pengajar, jurnalis, pegawai, pengusaha dan lain-lain yang menyempatkan waktu di tengah kesibukan pekerjaan.

Semua LO, semua panitia, semua awak EO, baik di acara muktamar maupun resepsi puncak, saya yakini bekerja keras di bidang masing-masing, meskipun saya tidak menjadi saksi atas kerja kerasnya itu. Juga tidak hanya pada muktamar maupun resepsi puncak, pada rangkaian acara-acara peringatan 1 Abad NU yang sudah diadakan sebelumnya, semua penyelenggara saya yakini sebagai orang-orang yang penuh kerja keras.

Pun tidak hanya pihak yang bertugas dalam penyelenggaraan acara, para tamu juga sesungguhnya berjuang keras demi semua acara, termasuk muktamar maupun resepsi puncak. Di Bandara Juanda, tidak hanya tamu luar negeri yang saya lihat. Tamu dalam negeri juga nampak tak hentinya mengalir datang dan berangkat, dari dan ke daerah masing-masing. Betapa bangga rasanya melihat bandara yang diramaikan oleh para nahdliyin ini. Semuanya berjuang untuk acara ini, berangkat dari daerah masing-masing. Yang menggunaan kendaraan laut, kendaraan darat, hingga memacetkan jalan tol, semuanya berjuang keras untuk acara ini.

Bahkan tidak hanya yang hadir dalam rangkaian acara-acara peringatan 1 Abad NU, para nahdliyin yang berada di daerah masing-masing, tanpa berangkat ke acara, pun saya yakini punya andil kerja keras bagi terselenggaranya acara-acara tersebut.

Daker Juanda, termasuk saya di dalamnya, hanya satu noktah debu dalam rangkaian acara ini. Bukan menjadi si paling penting, bukan menjadi si paling berjuang, bukan juga menjadi si paling lelah. Semua sama-sama penting, sama-sama berjuang, sama-sama lelah, untuk rangkaian acara ini. Kita semua adalah debu-bedu dalam peringatan 1 Abad NU ini, juga debu-bebu dalam perjalanan panjang sejarah NU. Debu-debu di atas tanah, di mana satu pohon bernama Nahdlatul Ulama ini akan terus tumbuh dan menjulang.

 

* Pernah aktif di PCINU Mesir, kini mengajar di UNU Yogyakarta dan IKANU Training Center Yogyakarta.

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.