Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Refleksi pembaharuan: antara Gus Dur dan Cak Nur

Avatar photo
54
×

Refleksi pembaharuan: antara Gus Dur dan Cak Nur

Share this article

Tidak terasa sudah tiga belas tahun Gus Dur meninggalkan kita semua. Pada Sabtu (17/12) kemarin digelar haul dengan mengangkat tema: Gus Dur dan Pembaharuan NU. Tema  ini sangat menarik dan yang mengusulkannya adalah sahabat seperjuangannya KH. Mustafa Bisri.

Sebagai orang yang mengagumi sosok Gus Dur, saya ingin memperingatinya melalui catatan singkat tentang pemikiran Gus Dur, dan disini saya mencoba buat perbandingan dengan pemikiran Cak Nur. Kedua tokoh ini adalah magnet intelektualitas pada masanya, yang sama-sama berasal dari Jombang.

Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU menyatakan dalam sambutannya bahwa karya pembaharuan Gus Dur paling fenomenal terletak pada bagaimana beliau mampu mentrasformasikan pola pikir dari orang-orang NU secara keseluruhan.

Pernyataan Gus Yahya di atas berangkat dari pengalaman atau singgungan langsung antara Gus Dur dan generasi muda NU. Dalam literatur pemikirannya, malah terlihat Gus Dur tak mengangkat tema-tema pembaharuan secara langsung. Akan tetapi kita mencatat bahwa idenya yang begitu kelihatan adalah  tentang kosmopiltanisme dan spirit revitalisasi agama.  Dari pola pikir kosmopolitan, Gus Dur mengenalkan wajah keberislaman yang majemuk. Lalu dari spirit  revitalisasi agama, Gus Dur memberi nafas segar pemikiran islam yang terkungkung dari fundamentalisme agama yang kaku dan keras.

Berbeda dengan Gus Dur, Nurakholis Majid atau yang kerap dipanggil Cak Nur, terlihat lebih blak-blakan dan terus terang menyuarakan pembaharuan Islam, misalnya dalam bukunya berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.

Cak Nur menjelas bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.  (Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal-280)

Melihat pandangan pembaharuan Cak Nur di atas, perlu ada penegasan kembali kapan pembaharuan itu musti dilakukan karena melihat salah unsur pelaksanaanya berupa upaha menjauhi nilai-nilai tradisional adalah perkara yang sangat fundamental. Artinya, mempertanyakan kapan nilai-nilai tradisional ditinggalkan tergantung pada kapan kerja pembaharuan musti dilakukan.

Mengapa selalu ada kesan benturan antara kemajuan dan tradisi. Lawan sebenernya yang musti disingkirkan bukanlah tradisi atau apapun itu, melainkan berupa prinsip yang melenceng (inhirof manhaji). Karena apa artinya modernisme jika ia berlawanan dengan ajaran islam. Meski terdapat kebutuhan akan hal-hal baru dan kemajuan, tapi ia bukanlah simbol kesucian yang mutlak benar. Tradisionalitas dan modenisme adalah dua mata uang yang keduanya berfungsi secara bersamaan.

Penegasan kembali terhadap substansi tradisi adalah hal yang tidak bisa dihindari. Sekarang misalnya, pondok salaf seperti Lirboyo, Ploso dan Sarang, itu tradisi ataus bukan? Apa yang membuat dirinya disebut sebagai tradisi, karena sebatas kata “salaf”yang disematkan itu, ataukah cara mereka berpakaian sserti mengenakan peci dan sarung? Jika memang itu yang dikehendaki, niscaya betapa kosong dan tak berartinya wacana penghapusan tradisi tersebut. Atau mungkin yang dikehendaki adalah sistem pendidikan yang mengacu pada kitab kuning seperti belajar nahwu sorof, fikih, usul fikih, balghoh, ilmu kalam dan tafsir? Jika memang demikian yang dimaksud dengan tradisi, malah makna yang dikesankan adalah kekonyolan dan kedunguan semata.

Bagaimana tidak, sedangkan   fan-fan ilmu tadi adalah perkara fundamental bagi seorang muslim dalam memahami ajaran Islam, yakni al-Quran dan sunnah. Jika tugas pembaharuan adalah dengan menghindari itu itu semua, maka itu bukan kemajuan, akan tetapi kebiri eksistensial.

Kalau kita amati, kata “tradisi”adalah kata yang baru dalam dinamika pemikiran islam. Kita musti berhati-hati dalam memahami kata tersebut, bukan berarti karena sedang membela atau menolak, namun kita musti pandai dalam bersikap. Islam sendiri bukanlah ajaran baru atau ajaran lama. Islam adalah nilai dan prinsip. Dalam sejarah dinamika pemikiran islam, selalu ada pertimbangan antara mana yang baru dan mana yang lama. Islam tidak bisa diwakili oleh salah satunya, karena jika demikian, maka ia akan kehilangan spirit  universalnya. Dalam hal ini, kita melihat betapa arifnya para ulama yang merumuskan suatu kaidah “menjaga nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik”( al-muhafadzoh al-qadim ash-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Oleh karena itu, kita melihat betapa spirit tersebut terlihat jelas dalam ruang-gerak masyarakat NU. Dalam praktiknya, NU masih melestarikan nilai-nilai lama dalam pendidikan yang mengacu pada sistem pesantren, namun pada waktu bersamaan geliat NU di perkotaan juga tak kalah dinamis karena mengembangkan sistem pendidikan modern berupa universitas-universitas (UNU) yang tersebar di mana-mana, yang mana KH. Said Aqil Siraj sangat berjasa dalam proses modernisasi tersebut. Rupanya, spirit kalangan NU ini senafas dengan Al-Azhar yang selain mempunyai Universitas terpandang di jagat internasional islam, namun sistem pengajaran tradisional masih dipertahankan melalui talaqi-talaqi, baik lewat masjid Azhar sampai madyafah-madyafah di sekelilingnya.

Salah satu hal yang membuat kenapa pemikiran Cak Nur terkesan kontroversial adalah karena konsekuensi dari wacana pemikirannya yang teramat luas dan masih abstrak. Tidak spesifik pada satu pembahasan yang notabene kajian keilmuan islam begitu luas dan multi dimensi.

Hal itu berlainan dengan Gus Dur yang dalam banyak kasus, bergerak dalam satu pembahasan yang khas, yakmi hukum dan politik islam. Lalu dalam analisisnya, Gus Dur juga mempunyai alat yang khas pula, usul fikih dan kaidah-kaidah fikih. Meski pada tahun 90-an Gus Dur juga sering disalahpahami oleh banyak kalangan, namun lahan pemikirannya jelas dan terlihat konkrit.

Cak Nur memang dengan tegas melihat makna pembaharuan sebagai non-tradisionalisme. Ia tidak segan-segan menyebut NU meski cukup terlibat dalam proses pembaharuan, muskipun dalam pandangan Cak Nur, NU kurang begitu serius tersebab tidak menerimanya secara formal dan prinsipal. Akibatnya, terjadilah proses stagnasi secara menyeluruh dalam umat. (hal. 286)

Pandangan ini terlihat aneh, karena baik secara fakta historis maupun prinsipal (manhajiah), nahdliyin mengakui dan mempercayai status pembaharuan islam. Sebagai ormas yang berasas pada manhaj aswaja, kata pembaharuan yang dalam bahasa arab dikenal dengan istilah “tajdid”dan “mujaddid”telah  masyhur dalam literatur islam sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Malah pada tahun 2007 Mbah KH. Maimoen Zubair telah menulis buku berbahasa arab berjudul “al-Ulama al Mujaddidun”spesifik membahas tema ini.

Seperti yang saya jelaskan diatas, meskipun Gus Dur tidak secara tekstual sedang mengupayakan pembaharuana agama, apalagi pembaharuan NU, akan tetapi unsur-unsur tersebut jelas tertuang dalam gagasannya, yakni pentingnya revitalisasi agama. Dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur mejelaskan, revitalisasi agama bisa dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur rasionalitas terhadap agama, namun bukan berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsur-unsur irasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu.

Berbeda dengan Cak Nur, Gus Dur terlihat lebih fleksibel dalam menyikapi tradisionalisme. Memang tidak bisa disamakan, karena begitulah unik dan menariknya Gus Dur.

Kontributor

  • M. Farhan al-Fadlil

    Mahasiswa fakultas Usuluddin, universitas Al-Azhar, Mesir. Aktivis Said Aqil Siraj (SAS) Center, Kairo. Saat ini menjabat ketua Himpunan Alumni Pesantren Lirboyo (HIMASAL) cabang Mesir.