Sebagaimana diketahui, mengeluarkan zakat merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Zakat baik itu mal maupun fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang memenuhi kriteria wajib zakat sebagaimana maklum tertera dalam kitab-kitab fikih.
Zakat sendiri menjadi bagian dari syariat Islam mulai dari tahun 2 H, meski sebagian ulama ada yang berpendapat zakat telah disyariatkan sejak sebelum Hijrah. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, tahapan pensyariatan zakat sama seperti halnya shalat.
Shalat pada mulanya diwajibkan dua kali dalam sehari sebelum kemudian Nabi Muhammad diisra’ dan mikrajkan lalu menjadi lima kali dalam sehari. Ulama kemudian menggabungkan dua pendapat terkait zakat tersebut dengan menyimpulkan bahwa permulaan wajib zakat memang terjadi sebelum hijrah kemudian ukuran wajib nisab zakatnya dijelaskan setelah hijrah.
Zakat juga sebenarnya termasuk bagian syariat umat sebelum Islam, sama seperti halnya shalat dan puasa. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami dalam kitabnya Hasyiyah Bujairami ala al-Khatib juz II hal 312 berikut:
هي من الشرائع القديمة بدليل قول سيدنا عيسى عليه السلام: (وأوصاني بالصلاة والزكاة)
“Zakat termasuk bagian syariat umat terdahulu dengan dalil ucapan Nabi Isa As: (Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup)”.
Hikmah di balik perintah zakat
Maklum kiranya, Allah tidak akan mensyariatkan suatu ibadah tanpa hikmah di dalamnya. Tentunya, zakat yang sedang dibahas ini pasti memiliki hikmah yang banyak pula. Lantas apakah hikmah di balik disyariatkan zakat itu sendiri?
Di antara hikmah disyariatkan zakat sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syatiri dalam kitabnya Syarah Yaqut an-Nafis Juz I hal 390 ialah menumbuhkan sifat solidaritas sesama umat Islam. Syekh Muhammad menjelaskan:
أما حكمة الزكاة فمعروفة وظاهرة. وتبدو في هذا العصر أكثر. فمن شأنها التعاطف والتراحم. ولو أخرجت الزكاة ووزعت على وجهها الصحيح الشرعي, لما بقي على وجه الأرض فقير أبدا. لأن ربنا جعل في أموال الأغنياء ما يكفي الفقراء.
“Hikmah zakat telah banyak diketahui dan jelas. Dan (hikmah) itu lebih jelas lagi tampak di masa sekarang. Di antaranya ialah saling simpati dan welas asih kepada sesama. Apabila zakat dikeluarkan (oleh umat Islam) dan dibagi sesuai dengan aturan syariat yang berlaku, maka tidak akan ada orang fakir di dunia ini selamanya. Karena Tuhan kita menjadikan harta-harta orang kaya dapat mencukupi kebutuhan orang-orang fakir”.
Dari perkataan Syekh Muhammad, dapat ditangkap bahwa zakat bisa dikatakan merupakan ibadah yang pada intinya ialah media untuk merekatkan hubungan sosial sesama umat Islam. Ia dapat menjadi media salur alokasi rasa welas asih. Ia juga dapat menjadi solusi kemiskinan dan kekurangan sandang, pangan, papan jika memang dikeluarkan dan dialokasikan dengan baik.
Sebagaimana penjelasan lanjutan Syekh Muhammad al-Syathiri dengan permisalan berikut:
فلو نظرنا إلى زكاة الفطر فقط، يقولون: إن عدد المسلمين اليوم ألف مليون تقريبا، وزكاة الفطر صاع على كل مسلم, وقدرنا قيمتها—على سبيل المثال—ريالين. وهي تجب على من عنده قوت يوم العيد وليلتها. فلنسقط نصف العدد مثلا، سيبقى ألف مليون ريال سنويا، حاصل زكاة الفطر فقط
“Jika kita melihat pada zakat fitrah saja, mereka berkata: jumlah umat Islam hari ini kira-kira ialah satu miliar, sedangkan zakat fitrah itu satu Sha’ per-individu muslim. Kita ambil kira-kira harganya sebagai contoh ialah dua real. Yang wajib dikeluarkan bagi ia yang memiliki makanan pokok pada hari dan malam raya. Kita gugurkan seumpama separuh jumlahnya, maka akan tersisa 1 miliar real hanya hasil dari zakat fitrah saja.”
Syekh Muhammad dengan jelas menuturkan bahwa salah satu manfaat yang didapat dari disyariatkannya zakat ialah terjadinya sifat saling asah, asih dan asuh sesama manusia. Yang mampu membantu yang kurang mampu, yang kaya membantu yang miskin. Hal tersebutlah yang akan menumbuhkan rasa solidaritas antar sesama manusia dan akhirnya ialah ketentraman hidup tiap-tiap individu.
Demikian di antara hikmah zakat yang disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri. Wallahu a’lam