Syekh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani pada sela-sela pengajian kitab Nurul Yaqin menjelaskan, bahwa bapak dan ibu Nabi hingga Nabi Adam AS adalah orang-orang yang mengesakan Allah.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menyembah berhala, minum arak, berzina ataupun melakukan hal yang bisa merusak muru’ah (harga diri seseorang). Karena mereka adalah orang-orang pilihan dari Allah untuk menjadi silsilah nasab mulia hingga Nabi Muhammad SAW terlahir.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk kemudian menempatkanku pada yang terbaik di antara mereka.” (HR. Turmudzi)
Nabi dilahirkan dari bapak dan rahim ibu pilihan hingga kepada Nabi Adam AS, bapak dari seluruh umat manusia.
Mursyid Tarekat Syadziliyyah di Mesir itu mengatakan bahwa “alkhairiyyah” di sini tidaklah lain yang dimaksudkan adalah keimanan dan ketakwaan, karena inilah tempat pandangan Allah terhadap hamba-Nya. Allah berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian semua.” (QS. Al-Hujurat :13)
Makna khairiyyah di sini bukan karena sekedar harta, nasab, atau urusan dunia.
Sebagaimana bapak dan ibu Nabi SAW hingga Nabi Adam AS adalah ahli tauhid, begitu pula orang-orang yang selalu menjaga harga diri mereka dari hal-hal yang bisa merusaknya. Nabi SAW bersabda:
خَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ وَلَمْ أَخْرُجْ مِنْ سِفَاحٍ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى أَنْ وَلَدَنِي أَبِيْ
Artinya: “Saya dilahirkan dari hasil pernikahan dan tidaklah dilahirkan dari perzinaan, mulai dari Nabi Adam AS hingga ayah dan ibu melahirkanku.” (HR.Thabrani)
Allah juga berfirman:
وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
Artinya: “Dan bolak-baliknya engkau wahai Muhammad pada orang-orang yang bersujud.” (QS. Asy-Syua’ra: 219)
Ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang bapak dan kakek Nabi SAW. Lantas bagaimana memahami hadits yang mengatakan bahwa Allah melarang Nabi ketika beristigfar meminta ampun untuk ibunya?
Syekh Yusri hafidzahullah menjawab bahwa larangan ini karena memang tidak diperlukan. Hal ini dikarenakan ibu Nabi termasuk ahli fatroh (masa kekosongan umat dari Rasul Allah), di mana ulama berijmak mengatakan bahwa ahli fatrah adalah orang-orang yang selamat. Allah berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
Artinya: “Dan tidaklah kita akan menyiksa hingga kita kirimkan seorang utusan (kepada mereka).” (QS. Al Isra’:15)
Ini adalah pemahaman yang betul terhadap hadits di atas, yaitu sesuai dengan dalil sarih Al-Qur’an. Tidak seperti orang yang memahami bahwa larangan ini karena ibu Nabi SAW tidak mengesakan Allah sedangkan Nabi dilarang untuk memintakan ampun untuk orang kafir. Jelas pemahaman yang seperti ini bertentangan dengan Al-Qur’an.
Syekh Yusri menambahkan bahwa hadits yang berbunyi:
إِنَّ أَبِيْ وَأَبَاكَ فِي النَّار
Artinya: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu masuk neraka.”
Menurut ulama yang berprofesi sebagai dokter bedah ini, yang dimaksud dari kata أب (bapak) di sini adalah paman Nabi SAW, yaitu Abu Lahab sebagaimana jelas disebutkan dalam Al Qur’an. Karena di dalam bahasa Arab, penggunaan kata أب untuk orang tua asli, paman dan juga kakek. Sehingga yang paling tepat maknanya pada hadits ini adalah paman.
Berbeda dengan kata والد, yang dimaksud adalah bapak asli. Ditambahkan lagi bahwa ayah Nabi yaitu Abdullah termasuk ahli fatrah yang selamat sebagaimana sudah dijelaskan. Dari namanya saja artinya hamba Allah, sudah menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang mengesakan Allah.
Sebagaimana ibu Nabi, namanya Aminah yang artinya orang yang diberi keamanan, maka jelas beliau adalah orang yang aman dari siksa neraka.
Syekh Yusri Rusydi al-Hasani ialah salah seorang ulama besar al-Azhar. Nasabnya bersambung hingga Sayyidina Hasan bin Ali, cucu Rasulullah saw. Beliau bermazhab Asy’ari dalam akidah dan bermazhab Syafi’i dalam fikih. Wallahu a’lam.