Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengkaji Hadis dengan Identitas Nusantara

Avatar photo
38
×

Mengkaji Hadis dengan Identitas Nusantara

Share this article

Peradaban Arab merupakan cerminan bagi muslim Indonesia. Tak disangkal bahwa dampak yang ditimbulkan biasanya bermuara pada asumsi keyakinan pada setiap kajian keilmuannya. Termasuk dalam mengkaji hadis.

Corak semacam ini menjadi hal yang lumrah karena tujuan dari penyampaian hadis-hadis Nabi adalah doktrinasi terhadap pemahaman Islam. Di samping itu juga memberikan pengajaran dan pemahaman yang benar dalam memahami ajaran Islam, baik sebatas ilmu maupun untuk berperilaku. Hal ini tentu untuk lebih mempopulerkan ajaran Islam yang toleran.

Para pemikir Islam yang berafiliasi dengan identitas peradaban Nusantara sejatinya telah memadukan model penyampaian hadis yang diterapkan Nabi dan para muhaditsin. Di antaranya; [1] Hadis untuk memahami Al-Qur’an, [2] Hadis sebagai pengajaran dan doktrin kepada para sahabat. Sedangkan para muhaditsîn menambahkan 3 poin; [3] Menghafalkan matan, [4] Menelusuri sanad hadis, [5] Memberikan pemahaman yang benar tentang hadis tersebut.

Landasan yang digunakan para muhaditsin mengacu pada ilmu-ilmu dalam Musthalahul Hadis.  Hal ini agar hadis dapat dipahami secara obyektif maupun subyektif, tekstual dan kontekstual sekaligus. Baik kontekstual dengan masa kelahiran hadis, masa perkembangannya maupun kontekstual dengan masa kekinian di Indonesia.

Walhasil, ajaran-ajaran Nabi yang masuk ke Indonesia merupakan perpaduan dari model-model penyampaian Nabi, para muhaditsin terdahulu dan para pakar hadis terkini. Hal tersebut memunculkan sikap apresiatif-kritis terhadap kemunculan fenomena umat Islam Indonesia yang beragam. Ada yang sejalan dengan ajakan dan seruan akan sabda-sabda Nabi, ada yang sebaliknya.

Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani merupakan salah satu prototipe ulama Nusantara asal Padang, Sumatera Barat yang menjadi ahli hadis. Beliau memiliki banyak guru di bidang hadis dari berbagai negara. Pengembaraan hadisnya tidak hanya sebatas di kota Mekkah, namun juga di Madinah bahkan sampai ke Yaman, Syam (Syiria), Irak, Mesir, India, Maghrib (Maroko) dan Asia Tenggara. Karyanya mencapai 97 buku, sembilan di antaranya adalah tentang hadis.

Syaikh Yasin mengenyam pendidikan di tanah Arab. Banyak dari pemikir Islam Indonesia yang memberikan apresiasi kepadanya karena masih menjadikan Nusantara sebagai bagian dari pijakan berfikirnya dalam memahami Islam. Beliau mampu mendialogkan pemikiran-pemikirannya yang progresif dalam studi keislaman dalam memahami Islam. Terutama dari hadis, terbukti dari 9 karyanya yang telah ditulis dan dinikmati oleh umat Islam saat ini.

BACA:

Di sisi lain, dalam perjalanan pendidikan pesantren di Indonesia, kitab-kitab Hadis yang digunakan seperti kitab Arba’în Nawâwi, Riyâdhus Shâlihîn min Kalâmi Sayyidil Mursalîn karya Imam Nawawi dan Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani merupakan sederet kitab dasar yang berorientasi pada perpaduan ajaran Islam yang komprehensif. Isinya banyak memberikan penekanan dalam hal akidah, ibadah, mu’amalah, nikah, akhlak dan seputar hukum keseharian lainnya.

Kontekstualisasi hadis dengan model semacam ini menjadi karakteristik pembelajaran hadis di dalam pendidikan pesantren. Hal ini didasari pada pentingnya pengetahuan, penghafalan, dan pemahaman atas hadis-hadis yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat melahirkan masyarakat yang religius.

Fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa umat Islam Indonesia telah menjelma menjadi umat Islam terbesar di dunia. Religiusitas yang dibangun atas dasar agama memberikan dampak nyata pada tatanan masyarakat. Di samping itu, Firman Allah dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 107: “Dan tiadalah aku mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat untuk seluruh alam” menjadi bukti konkrit bahwa Nabi telah menjadi rahmat bagi rakyat Indonesia lewat sabda-sabdanya.

Potret ini menjadi solusi atas ‘kabur’nya pemahaman Islam yang eksklusif. Sebab selama ini, ada oknum-oknum tertentu yang mendaku bahwa Islam  yang paling benar adalah dari semenanjung Arab. Pendakuan ini atas dasar Nabi berasal dari bangsa Arab. Padahal tidak demikian. Para pemikir Islam tidak menyetujui gagasan ini, karena justru berbenturan dengan penafsiran ayat di atas.

Penekanan dalam tulisan sederhana ini, penulis sebenarnya ingin mendorong agar sarjana muslim Indonesia tidak kehilangan identitas keislamannya. Jangan sampai mereka bangga dengan identitas ke-Arab-annya dan cenderung negatif terhadap identitas keindonesiaannya. Saat muncul gagasan Islam pribumi atau Islam Nusantara, yang dikhawatirkan mereka bukan hanya tidak bangga, justru menuduh penggagasnya sesat.

Peradaban Islam Indonesia berbeda dengan peradaban Islam Arab. Terbentuknya masyarakat religius atas dasar perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi tergantung atas pemahaman dan sikap mereka terhadap sabda-sabdanya. Hal ini yang mempengaruhi umat Islam Indonesia dalam membentuk budaya religius bermasyarakat. Yang pada akhirnya, budaya-budaya tersebut tampak melalui akhlak, norma, etika dan estetika sehingga menciptakan peradaban baru sebagai identitas Islam Nusantara. Wallâhu A’lam.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.