Apa pentingnya mengkaji
ulang turats Syekh Ibnu Arabi di zaman Ini? Demikian judul pengantar Syekh
Saeed Foda dalam kitab Al-Kasyif ‘an Madzhab Ibn ‘Arabi (Bagian I). Saya
terjemahkan dengan menyelaraskan
paragrafnya sebagai berikut:
Pertanyaan di atas
muncul terus-menerus, yang mana orientasinya ialah untuk membantah
kajian-kajian tersebut. Terkadang diucapkan: Seorang pengkaji telah fokus
terhadap masalah yang telah lampau, dan makalah-makalahnya telah cukup dalam
membahas ulama terdahulu, maka dari itu membicarakan dan mengkritik ulang hal
di atas tak ubahnya berperang tanpa musuh. Maka apa pentingnya mengkaji ulang turats
Syekh Ibnu Arabi?
Saya berkata:
Pembahasan tentang Ibnu Arabi serta ulama lainnya, terkhusus tokoh yang banyak
mengeluarkan ungkapan-ungkapan kontroversial yang memicu perdebatan luas di
tiap masanya, bukanlah pembahasan dari segi biografis—sebagaimana yang saya
sebutkan, melainkan dari segi ajaran dan pendapat mereka.
Benar, Syekh Ibnu Arabi
wafat pada tahun 638 H., namun ajarannya masih hidup sampai sekarang. Kita
harus membedakan antara personalitas dan ajaran serta pemikirannya. Ketika
ajaran dan pemikiran sudah tersebar, maka keduanya tidak akan mati. Dan kita
tidak mengkritik pemikiran seseorang yang mana ia sendiri menutup rumahnya atau
menyepi dari manusia dalam semedinya. Akan tetapi di sini kita mengkritik
seseorang yang mengungkapkan pemikirannya, menganggitkannya karangan,
menyebarkan keyakinannya dan mengajak orang-orang menuju ke sana, serta
meninggalkan murid-murid yang akhirnya membawa pemikiran dan membangun
pondasi-pondasinya.
Jika demikian adanya,
berarti sang tokoh pemikir itu memberikan hak kepada seluruh pengkaji yang
pakar di bidangnya untuk memberikan pandangan mengenai ungkapan-ungkapannya
serta kalau perlu mengkritiknya. Bagaimana jika semua hal itu mendorong orang
untuk mengkritik ajaran para teolog (mutakallimin), baik itu mazhab Asya’irah
maupun yang lainnya? Hal ini, tepatnya, merupakan status orang yang
ungkapan-ungkapannya kita kritik dan kita bantah di sini. Dan ungkapan-ungkapan
itu ditampilkan agar menjadi prototipe di dalam kerangka koneksi-koneksi atas
satu masalah, sebagaimana pembaca yang budiman lihat nanti.
Ajaran Ibnu Arabi, yang
mana telah meletakkan pondasi akbarnya dan merancang konstruksi umumnya, telah
berkembang sangat pesat. Para murid, muridnya murid, dan para pengikutnya,
telah mengkonstruksi ulang pondasinya, menyempurnakannya, kemudian merinci
dasar-dasarnya, seperti yang terjadi dalam mazhab teologis maupun formalis mana
pun.
Oleh karena itu, tidak
sepatutnya jika ada pengkaji yang mengkritik pendapat Ibnu Arabi dikomentari:
Ah, tokoh itu telah mangkat menghadap Tuhannya—karena ajarannya masih tetap
hidup, dan kita melihat pemikiran dan pengaruhnya dalam kitab-kitab akidah,
kitab-kitab tafsir, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya.
Kita pun melihat di
antara kita terdapat para sufi akbarian (nama bagi pengikut Ibnu Arabi—Penerj.)
yang mengikrarkan ajarannya. Apakah seorang ahli fikih yang menyoal pendapat
Abu Hanifah, misalnya, layak disangkal dengan argumen bahwa Abu Hanifah telah
mangkat? Apakah orang yang mengkaji ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi layak
disangkal dengan alasan seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas tidak bermakna lagi jika dikembalikan kepada fakta bahwa interaksi para
pengkaji dan pemikir dengan suatu pendapat dan pemikiran tidak mengenal kata
putus sampai kapan pun. Justru pemikiran itu tetap hidup, aktif, dan
berpengaruh, khususnya pemikiran yang berhubungan dengan akidah, di mana itu
merupakan asas yang membangun moralitas dan tindakan.
Orang-orang yang
menyangka bahwa penutupan atas tema-tema tertentu dan penyetopan terhadap kajian-kajian
yang bersifat khilafiyah (berbeda pendapat) itu merupakan solusi paling benar
bagi perang pemikiran, maka mereka adalah para pengkhayal. Karena upaya itu
tidak berdampak kecuali tak ubahnya menutup bara api dengan tumpukan sekam,
seraya menyangka bahwa hal itu bisa memadamkan baranya, akan tetapi cepat atau
lambat justru akan memantik nyala api. Tiap-tiap pemikiran kontroversial yang
ada di kitab-kitab terbitan harus senantiasa diteliti oleh seorang pengkaji,
sehingga ia terpengaruh, kemudian pikirannya terobrak-abrik atau muncul
pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya lalu ia pecahkan dengan suatu kajian.
Adakalanya ia menerima, meyakini dan mengkuatkan pemikiran-pemikiran
kontroversial itu, atau justru mengkritiknya. Contoh-contoh atas hal ini tak
terhitung lagi.
Selama masalah-masalah
itu belum tersingkap dan pemecahannya belumlah purna, maka intensi para
pengkaji terhadap masalah tersebut tidak akan pernah berhenti, karena masalah
itu ibarat penyakit. Pembungkaman para pengkaji dari masalah itu dan
pemberangusan mulut para penggumam dari hal tersebut merupakan upaya pengabaian
terhadap gejala penyakit dan pelestarian terhadap mala. Cepat atau lambat,
oknum pembungkam bakal lenyap dan penyakit itu akan kembali meletupkan
gejalanya, dengan intensitas yang lebih kuat daripada yang dibungkam sedari
semula. Dari itulah, jalan yang sesuai ialah dengan memberikan kebebasan kepada
para pemikir dan pengkaji untuk berdebat, berdiskusi, dan bertukar pendapat,
sesuai dengan etika yang berlaku. Dengan begitu permasalahan jadi jelas,
argumentasi jadi jernih, pendapat yang benar jadi terpilah dari yang keliru,
dan ideologi dan pemikiran yang kokoh akan tampak jelas mengalahkan pendapat
yang tumpul dan lemah.