Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Syawal dan Halal bi Halal

Avatar photo
44
×

Syawal dan Halal bi Halal

Share this article

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
.(QS. ar-Rum [30]: 30)

Syawal merupakan bulan yang
sangat istimewa. Di antara keistimewaan bulan Syawal adalah bulan silaturrahmi
untuk memperkuat hubungan sosial. Di Indonesia, silaturrahmi ini biasanya
disebut Halal bi Halal. Halal bi Halal bagi bangsa Indonesia merupakan tradisi
yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang digali dari bumi pertiwi tercinta
ini. Meskipun acara semacam ini termasuk tradisi, tetapi manfaat dan
maslahatnya besar sekali. Salah satu hikmah yang dapat kita petik lewat halal
bi halal ini ialah terciptanya ukhuwah, terjalinnya persaudaraan ynag lebih
akrab di antara sesama. Terlebih di bulan syawal ini kita mesti meningkatkan
kualitas kemanusiaan kita karena syawal artinya berkembang, tumbuh atau
peningkatan.

Islam adalah agama sosial yang
menempatkan kemanusiaan sebagai nilai utama. Inilah misi sekaligus karakter
Islam turun ke muka bumi untuk membimbing manusia menjadi manusia seutuhnya,
sebagai manifestasi dari universalitas Islam rahmattan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam. Islam hadir untuk
menjadi panduan bagi manusia untuk mengukuhkan eksistensi dan fitrahnya sebagai
makhluk sosial dalam kehidupannya di dunia. F
itrah atau kesucian asal manusia adalah sebutan untuk
rancangan Tuhan mengenai kita. Bahwa kita diciptakan Allah dengan rancangan
sebagai makhluk suci yang sakral.

Manusia pada
dasarnya adalah suci. Oleh karenanya sikap-sikap manusia pun selayaknya
menunjukkan sikap-sikap yang suci. Terutama terhadap sesama manusia. Maka
kemudian ada ungkapan bahwa manusia itu suci dan berbuat suci kepada sesamanya
dalam bentuk amal  saleh.

Fitrah terkait
dengan hanìf. Artinya suatu
sifat dalam diri kita yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Dalam
firman Allah disebutkan bahwa agama yang benar tidak lain adalah asal kesucian
manusia yaitu fitrah. Dalam surat al-Rum ayat 30, Allah berfirman:
Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
.(QS. ar-Rum: 30)

Tahun boleh
berganti, zaman boleh berubah. Milenium boleh bertukar dari milenium kedua
sampai ketiga. Tapi manusia tetap sama selama-lamanya sesuai dengan desain
Allah swt. Manusia merupakan makhluk yang selalu merindukan kebenaran dan akan
merasa tenteram apabila mendapatkan kebenaran itu. Sebaliknya, kalau dia tidak
mendapatkannya, manusia akan gelisah.

Bulan Ramadhan, yang baru saja kita lalui adalah bulan pembakaran dosa. Nabi
menjanjikan kalau kita berhasil melewati Ramadhan, maka seluruh dosa kita yang
lalu akan diampuni oleh Allah swt. Dan konsekuensinya pada waktu kita selesai
berpuasa, yaitu pada tanggal 1 Syawal, kita ibarat dilahirkan kembali (born again). Kembalinya fitrah kepada
kita, dan kita pun harus tampil sebagai manusia suci dan baik in optima forma, sebaik-baiknya kepada
sesama manusia, juga kepada sesama makhluk. Itulah sebetulnya semangat Idul
Fitri. Allah berfirman di dalam kaitannya dengan Idul Fitri itu, “Dan hendaklah kamu menyempurnakan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
(QS. al-Baqarah: 185)

Kita lahir dalam
kondisi fitrah. Berarti kita lahir dalam kesucian. Pada dasarnya manusia adalah
makhluk yang bahagia. Ini bisa dilihat bagaimana agama kita mengajarkan bahwa
kalau anak meninggal sebelum akil baligh, maka dia masuk surga, karena masih
dalam kesucian. Karena itu juga, kita perlu terus ber-husn-u ‘l-zhann (prasangka baik) bahwa pada dasarnya manusia
itu adalah baik sebelum terbukti jahat.

Oleh karenanya
pergaulan manusia harus mendahulukan husn-u
‘l-zhann
(prasangka baik). Tidak boleh mendahulukan syû`u ‘l-zhann (prasangka buruk). Akan tetapi karena kelemahan kita
itu mudah tergoda, sehingga sedikit demi sedikit, diri kita menumpuk debu-debu
dosa, dan membuat hati kita menjadi gelap. Padahal semula terang yang disebut nûrânì dan berarti cahaya. Tapi
lama-kelamaan menjadi gelap sehingga menjadi zhulmânì, dari kata zhulm
yang artinya gelap.

Itulah sebabnya
Allah menyediakan bulan Ramadhan supaya kita sempat mensucikan diri. Membuat
diri kita kembali suci. Sehingga bulan Ramadhan bukan saja bulan suci tetapi
bulan pensucian. Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman,
yatu dengan penuh percaya kepada Allah swt dan ihtisâb, yang berarti mawas diri, menghitung diri sendiri
atau introspeksi, yaitu kesempatan bertanya dengan jujur siapa kita ini
sebenarnya, apakah betul kita ini orang baik dan seterusnya.

Karena sebetulnya
kita semua tidak sanggup berbuat baik, maka kita harus cukup rendah hati bahwa
kita berbuat baik inipun adalah sebagai rahmat Allah dan dengan rendah hati
mengucapkan hawlâ walâ quwwata
illâ bi ‘l-Lâh
, tidak ada daya dan tenaga kecuali dengan izin Allah. Karena
kita berhasil menjalani puasa selama satu bulan, maka kita harus bersyukur
kepada Allah. Oleh karena itu bacaan yang paling dianjurkan dalam hari raya
ialah takbir, tahmid dan tahlil, yaitu ucapan Allâhu akbar, ucapan al-hamd-u
li ‘l-Lâh
dan ucapan Lâ ilâh-a illâ
‘l-Lâh
.

Demikianlah,
Ramadhan bulan membakar semua dosa, syawal bulan peningkatan amal dan idul
fitrih kembali fitrah. Mudah-mudahan kita mampu mengisi dan memanfaatkan sisa
hidup kita ini dengan sebaik-baiknya.

Kontributor

  • Baitul Rohmi

    guru ngaji di Pondok Aren, Bintaro, Jakarta Selatan.