Menurut Imam al-Qusyairi, puasa itu ada dua macam. Puasa lahir dan puasa batin. Perbedaan jenis puasa ini menentukan derajat kedekatan hamba dengan Tuhannya. Imam al-Quyairi termasuk sufi yang bisa mendekatkan nalar ilmiah untuk menerima tafsir isyari.
Selain terkenal dengan karya monumentalnya Risalah Qusyairiah, Imam Al-Qusyairi (w. 465 H), imamnya para sufi abad kelima hijriah, memiliki kitab tafsir Al-Quran yang berjudul Lathâ’if al-Isyârât. Tafsir ini disusun dengan corak tafsīr Isyâri Shûfi. Sebuah corak penafsiran langka, di saat banyak mufassir menyorot makna-makna Alquran dari segi kebahasaan, hukum fikih, kesusastraan, sababun nuzul, kisah-kisah dan dimensi lainnya.
Konon, sumber tafsir dengan corak ini terilhami dari hasil mujahadah spiritual, dipahami dengan dzauq (intuisi), sehingga dalam neraca ilmiah diperlukan penyesuaian. Tak pelak, beberapa tokoh yang mencoba menempuh penafsiran dengan metode ini tidak selamat dari kritikan keras secara timbangan ilmiah. Misalnya Abu Abdirrahman Al-Sulami dalam karyanya Haqâiq al-Tafsīr dani Muhyiddin Ibnu Arabi dalam karyanya Al-Futûhât Al-Makkiyah, yang mendapatkan hujanan kritik tajam dari banyak ulama.
Namun kelihaian Imam Al-Qusyairi dalam menggabungkan ilmu syariat dan ilmu hakikat, membuat Tafsir Isyari-nya ini diterima secara timbangan ilmiah, bahkan membuat penikmatnya terfana. Tidak hanya oleh kerana mendalamnya uraian makna, tetapi juga dengan artistiknya gaya bahasa.
Di antara tujuan penyusunan tafsir ini adalah untuk membuktikan bahwa perilaku-perilaku kaum sufi dapat ditemukan dasarnya dalam ayat-ayat Al-Quran. Serta menyingkap dimensi-dimensi makna yang seringkali tak terjamah oleh para mufassir melalui kacamata kebahasaan.
Contohnya ketika menafsirkan ayat tentang puasa dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, Imam Al-Qusyari menggali hikmah-hikmah dari ibadah puasa yang barangkali luput kita dapatkan ketika mengkajinya secara fikih saja.
Di situ beliau menjelaskan perbedaan puasa kelas orang-orang mukmin biasa, dengan kelas puasa orang-orang mukmin yang telah mencapai derajat kedekatan kepada Allah. Perbedaan puasa Al-Mu’min, Al-Mukhlish dan Al-Shâdiq. Perbedaan puasa Al-‘Âbidîn dan Al-‘Ârifin. Perbedaan orang-orang yang berpuasa karena melihat hilal bulan Ramadhan, dengan orang-orang yang berpuasa karena melihat Al-Haqq, yang tergantung pemaknaan dari marji’ dhamir “Hi” dalam sabda Nabi SAW:
صوموا لرؤيتهِ وأفطروا لرؤيتهِ
“Berpuasalah karena melihat-Nya, dan berbukalah ketika melihat-Nya.”
Tentu saja, Alfaqir sangat-sangat tidak mampu mewakili bahasa indah Imam Al-Qusyairi dalam tafsirnya. Oleh karena itu, silahkan kawan-kawan rujuk sendiri langsung ke teks kitabnya, sebagai bekal penting memulai ibadah puasa Ramadhan. Walaupun merasa diri sulit untuk sampai pada derajat yang disebutkan, setidaknya dengannya kita dapat mengevaluasi diri dan menyadari taqshir (keterbatasan) kita dalam penghambaan. Dengan harapan perasaan taqshir itu akan menghantarkan pada inkisar (bersedih atas keadaan diri). Dengan harap perasaan inkisar ini akan mengantarkan kepada jalan kedekatan kepada Allah swt Mawla Azza Wa Jalla yang menjadi Ghayah (Tujuan) semua amal perbuatan.
Di luar ketidak-pantasan itu, menarik untuk saya bagikan di sini secercah yang saya pahami dari penjelasan tentang tafsir tersebut dari Maulana Dr. Muhammad Muhanna dalam Seri Video Fi Rihâb Ramadhan di Channel Al-Wâbil Al-Shayyib. Di sana, founder Yayasan Al-Bait Al-Muhammadi itu menguraikan perkataan Imam Al-Qusyairi, bahwa puasa itu ada dua jenis:
Pertama: Puasa Lahir
Puasa yang wajib dilakukan oleh semua orang. Yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan dari syahwat perut dan syahwat kemaluan, diiring dengan niat.
Tetapi apakah puasa jenis ini cukup, ataukah ada makna-makna lain dari puasa yang perlu digapai oleh pelaku puasa?
Kedua: Puasa Batin
Puasa kelas orang-orang yang dekat dengan Allah selalu berupaya menggapai puasa batin, yaitu dengan tiga hal, yaitu:
a. Shawnu al-Qalb ‘an al-Âfât
Menjaga hati dari âfât. Âfât ini adalah sekadar lintasan maksiat, berupa pikiran marah, dengki dan dendam pada orang. Serta lintasan-lintasan pikiran kotor dan jorok lainnya.
Bagi seorang yang telah mencapai Manzilah Al-Qurb, apabila terjadi padanya âfât ini, maka ia telah Ifthâr (sudah tidak berpuasa). Kaidahnya:
ليس الذنب في القرب كالذنب في البعد
“Tidaklah sama, melakukan dosa dari jarak dekat, dengan melakukan dosa dari jarak jauh.”
Tentu beda standar ketat yang ditetapkan pada orang-orang yang telah mencapai Manzilah Al-Qurb ini. Perhatikan peringatan yang diberikan kepada para istri para Nabi:
يا نساء النبيّ لستن كأحد من النساء
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama dengan wanita-wanita lainnya.”
من يأت منكن بفاحشة يضاعف لها العذاب ضعفين
“Barang siapa di antara kalian (para istri Nabi) yang melakukan suatu dosa, maka akan dilipat-gandakan baginya dosa.”
Karena itulah para istri Nabi terjaga kesuciannya dan menjadi muslimat terbaik.
b. Shawnu Al-Ruh ‘an al-Musâkanât
Apabila dia telah berhasil dalam berpuasa menjaga hatinya dari âfât, Seharusnya dia naik menapaki derajat lebih tinggi. Saat berpuasa, dia tidak membiarkan ruhnya bersama dengan selain Allah. Dia tidak membiarkan ruhnya berpikir pada harta, tahta, jabatan, pekerjaan dan apapun selain Tuhannya. Dia tidak memikirkan sebab-sebab, melainkan fokus kepada Tuhan, Yang Maha menyebabkan segala sebab.
Apabila kefokusan ruhnya terganggu dan terangan-angan pada hal selain Allah, maka ia telah Ifthar.
Inilah benar-benar makna yang amat dalam dari puasa bagi orang-orang yang telah mencapai Manzilah Al-Qurb.
c. Shawnu al-Sirr ‘an al-Mulâhazhât
Kalau sudah mempuasakan badan dari melanggar perintah-perintah Allah, mempuasakan hati dari lintasan-lintasan maksiat, mempuasakan ruh dari kebersamaan selain dengan Allah; saatnya untuk naik derajat lebih tinggi dari itu, “Shaun al-Sirr ‘an al-Mulâhazhât.”
Ia membuat lubuk terdalam nuraninya tidak melirik sekejap pun kepada selain Allah. Apabila dia melirik sekali lirik saja selain Allah, maka ia telah jatuh pada Ifthar.
Beginilah para hamba Allah yang shaleh berpuasa. Di tengah ketertinggalan jauh kita dari beliau-beliau, semoga di Ramadhan mendatang, kita bisa memasuki jalur yang sama dalam mengikuti mereka.
اللهم سلِّمنا لرمضان، وسلِّمه لنا، وتسلَّمه منا متقبّلًا