Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Lasem, Tiongkok Kecil di Pesisir Utara Jawa

Avatar photo
23
×

Lasem, Tiongkok Kecil di Pesisir Utara Jawa

Share this article

Abad 18-19, Lasem
menjadi corong candunya Jawa. Dari perdagangan candu, Lasem menjadi kota yang
kaya raya. Ramainya jalur perdagangan meninggalkan ragam budaya yang masuk ke
Lasem, termasuk komplek pecinan yg terdiri dari ratusan bangunan China, baik
dari China Fujian maupun China Hindia. Lasem kemudian mendapat julukan sebagai
Tiongkok Kecil. Kehadiran komunitas China di Lasem bahkan jauh sebelum
meluasnya candu, lebih dari itu mereka hadir semenjak ratusan tahun yang lalu.

Konon, ada empat kota
besar di Jawa yang memiliki sejumlah permukiman China, yaitu Majapahit, Tuban,
Gresik dan Surabaya. Di Tuban sendiri, pusatnya berada di Lasem. Abad 15 di
Tuban tercatat ada lebih dari seribu keluarga keturunan China, banyak di antara
mereka adalah orang dari Guangdong dan Zangzhou yang bermigrasi dari China dan
bermukim di Lasem.

Tuban merupakan
pelabuhan utama di Jawa, maka tak heran kota ini menjadi posisi penting dalam
operasi Cheng Ho di kepulauan Indonesia. Nama Cheng Ho tentu saja sangat lekat
dengan kehadiran dan juga berkembangnya Muslim China mazhab Hanafi di Kepulauan
Melayu.

Ekspedisi singkat
Cheng Ho di Kepulauan Melayu tidak hanya meningkatkan status sosial orang-orang
China Muslim mazhab Hanafi, tetapi juga mendorong lebih banyak lagi orang China
untuk memeluk Islam dan menguatkan seluruh jejaring perdagangan regional dan
internasional yang didominasi pedagang pedagang Arab, China, India dan Melayu
Muslim.

Orang-orang China
Muslim di Jawa semasa periode Cheng Ho mengidentifikasi diri sebagai orang
Muslim mazhab Hanafi sebagaimana dicatat oleh MASC (The Malay Annals of
Semarang and Cirebon). Ini menunjukkan bahwa leluhur dan akar-akar agama mereka
berasal dari Hui-Hui Muslim China.

Di bawah pengarahan
dan dukungan Cheng Ho, komunitas-komunitas China Muslim ini menyebar pesat di
pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa. Namun momentum ini terhenti ketika Cheng Ho
wafat pada 1433. Kematiannya juga mengakhiri fase China dari komunitas China
Muslim mazhab Hanafi dan dimulainya fase lokalisasi.

Cheng Ho banyak
membangun masjid masjid besar di Semarang, Ancol, Lasem, Tuban, Gresik,
Cirebon, dll untuk menumbuhkan komunitas-komunitas China mazhab Hanafi di Jawa.

Tuban menjadi kota
penting di mana Cheng Ho mengutus salah satu orang kepercayaannya, Haji Gan Eng
Chu, yang dipindahkan dari Manila ke Tuban untuk mengawasi komunitas-komunitas
China Muslim yang berkembang pesat di Jawa, Kukang (Palembang) dan Sambas.

Menurut catatan
sejarah, salah seorang kapten Cheng Ho, BI Nang Un, pindah dari Champa ke Lasem
Jawa pada 1413 bersama istrinya Na Li Ni, putranya Bi Nang Na, putrinya Ni Nang
Ti, dan kerabat lainnya. Istri dan anak perempuannya konon merintis pembuatan
kain batik di Lasem karena mereka memang pembuat kain batik dan berkembang
pesat.

Tak heran motif-motif
batik China bahkan sampai sekarang mudah ditemui dan cukup populer, seperti
burung phoenix, naga, qilin, kupu-kupu, ikan dan flora dan fauna seperti bunga
serunai, tumbuhan semak berbunga bagus, dll. Motif motif ini kemudian menjadi
salah satu ciri khas batik Lasem.

Selain batik,
akulturasi budaya yang dinamis juga terjadi di Lasem salah satunya nampak pada
bangunan atap rumah berbentuk segitiga, jendela-jendela paladian, dan juga
balkon bergaya mediterania abad ke-17. Rancangan rumah yang rumit itu juga
berkembang dari konsep rumah tradisional Sino-Jawa.

Salah satu dari
peninggalan komunitas China di Lasem yang cukup populer adalah Roemah Oei dan
Klenteng Cu An Kiong. Rumah Oei kini berumur 200 tahun. Nuansa Tiongkok sangat
kental dari tata ruang, arsitektur bangunan, hingga ragam dekorasi.

Roemah Oei hampir saja
kehilangan identitasnya, hingga masa Gus Dur ketika kehadiran etnis Tionghoa
diakui negara dan mulai mendapat tempat. Rumah ini kemudian direnovasi dan
dijadikan sebagai cagar budaya sebagai wujud keberagaman dan warisan sejarah.
Roemah Oei kini terbuka untuk umum, siapapun bisa belajar dari sisa-sisa memori
yang terpahat di dinding-dinding rumah.

Rasanya seperti berada
di Tiongkok ketika memasuki gerbang kayu besar berwarna coklat dengan huruf
China. Labirin kayu dengan berbagai quote ajaran Konghucu menghiasi sudut
kamar-kamar kayu Rumah Oei. Display kebaya berumur seratus tahun cukup menyita
perhatian saya, juga ragam keramik tiongkok yg dipajang di sebuah meja antik.

Rumah Oei berawal dari Oei
Am, pria kelahiran Fujien Tiongkok 1798. Di usianya ke 15 tahun, Oei Am
mendarat di Lasem dan setelah bekerja selama 2 tahun ia menikahi gadis Lasem
bernama Tjioe Nio, dan pada tahun 1818 ia mendirikan rumah yang tak jauh dari
Masjid Akbar Lasem. Selanjutnya rumah ini dihuni oleh beberapa generasi Oie Am.

Kontributor

  • Maria Fauzi

    Menikmati studinya di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, CRCS Universitas Gadjah Mada dan Jurusan Deutsch Courses di VHS Berlin. Founder neswa.id. Sekarang tinggal di Jogjakarta.