Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Rabi’ul Akhir dan Sejarah Perayaan Maulid Husain di Kairo

Avatar photo
47
×

Rabi’ul Akhir dan Sejarah Perayaan Maulid Husain di Kairo

Share this article

Sayyidina Husain bin Ali radhiya Allaah ‘anhuma dilahirkan pada 3 Sya`ban tahun 4 H.  Kelahiran beliau dirayakan di Mesir pada bulan Rabi’ul Akhir. Puncaknya adalah tiap Selasa terakhir bulan itu acara besar-besaran.

Jalanan kawasan Masjid Husain Kairo sesak dipenuhi oleh para penziarah. Pedagang-pedagang memenuhi trotoar. Sejumlah kemah dari berbagai tarekat pun didirikan. Masing-masing ingin ikut melayani para Ahbab Sayyiduna Nabi Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam.

Delegasi-delegasi dari semua tarekat resmi menggelar konvoi sambil mendendangkan pujian untuk Sayyiduna Nabi shallallhu ‘alaihi wasallam dan Ahlul Bait. Bermula habis Ashar  dari Masjid Sayyiduna Shaleh Al-Ja’fari dan berakhir di Masjid Sayyiduna Husain. Perayaan resmi diadakan dengan sambutan para tokoh tasawuf dan Ahlul Bait.

Jadwal perayaan maulid para Ahlul Bait yang dimakamkan di Mesir merupakan hasil keputusan para ulama besar. Dengan tujuan agar tidak ada tumpang tindih dalam perayaan.

Tidak ada jadwal perayaan di bulan Rabi’ul Awwal kecuali perayaan maulid Sayyiduna Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam yang sekaligus menjadi acara resmi seluruh tarekat di masjid Sayyiduna Husain.

Juga tidak ada perayaan di bulan Ramadhan karena semua sibuk melayani umat Islam. Di antaranya menyediakan hidangan berbuka puasa, di samping membagi-bagikan bingkisan Ramadhan berisi sembako dan lain-lain.

Perayaan maulid Sayyiduna Husain merujuk pada kejadian besar yang dirayakan oleh masyarakat muslim Mesir secara keseluruhan, baik Sunni maupun Syiah yang saat itu berkuasa.

Baca juga: Sayyid Utsman Betawi dan Pengenalan Habaib di Nusantara

Kejadian itu bermula pada pertengahan tahun 548 H.

Saat Kairo dihiasi indah dan lampu-lampu dinyalakan menunggu kedatangan kepala cucu Sayyiduna Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam itu.

Dikisahkan bahwa seorang menteri Dinasti Fathimiyah, Shalih Thalai’ khawatir dengan keamanan makam Sayyidina Husain di Asqalaan dari serangan dan kekurangajaran pasukan Salib yang saat itu menjajah Palestina.

Pemakaman kepala Husain di Asqalaan sendiri merupakan cerita panjang setelah beliau dibunuh di Karbala pada tahun 61 H.

Ibnu Thalai’ meminta kepala Dinasti Fathimiyah untuk mengambil tindakan segera dan berunding dengan Raja Baldwin III meski membayar tebusan mahal.

Setelah beberapa kali pembicaraan, Ibnu Thalai’ menyepakati bahwa Dinasti Fathimiyah bersedia membayar 30 ribu dinar sebagai ganti tebusan kepala Husain yang mulia. 1 dinar setara dengan 4.25 gram emas, totalnya adalah 127.5 kg emas.

Berangkatlah Al-Amir Al-Afdhal, anak panglima Badruddin Al-Jamali. Dia sampai ke makam Sayyidina Husain dan membawa kepala di dadanya dari Asqalaan pada hari Ahad 8 Jumadil Akhir 548 H. Dia tiba pada tanggal 10 di bulan dan tahun yang sama, bertepatan dengan 31 Agustus 1153 M.

Kedatangan rombongan yang membawa kepala yang mulia ini disambut langsung oleh semua warga Mesir, kepala Dinasti Fathimiyah, Shalih Thalai’ di pintu masuk kota Ash-Shalihiyah. Dan demi penghormatan, semua orang Mesir yang menyambut kedatangan membuka alas kaki mereka.

Kedatangan disambut meriah. Kepala Sayyidina Husain diletakkan pada bungkusan kain sutera hijau yang diletakkan di atas kursi dari kayu al-Abanus, diiringi oleh semua yang bernyawa di Mesir. Mereka bertahlil dan bertakbir sampai depan masjid Thalai’ dekat Bab Zuwailah, yang masih dalam proses pembanguan yang secara khusus dibangun untuk memakamkan kepala Sayyidina Husain.

Pesta penyambutan pun berlangsung meriah selama beberapa hari, siang dan malam.

Baca juga: Berapa Jumlah Ahlul Bait Rasulullah SAW Saat Ini?

Keberadaan kepala Sayyidina Husain di Masjid Thalai’ tidak disukai (membuat iri) para keluarga penguasa Dinasti Fathimiyah. Akhirnya terjadi kesepakatan bahwa kepala dimandikan di masjid itu dan dikuburkan kembali di istana Az-Zamrud.

Maka digalilah dalam istana itu dan dimasukkan di bawah yang sekarang terkenal dengan kubah Sayyidina Husain dan istana itu di kemudian hari menjadi masjid.

Kepala mulia itu pun dimandikan di Masjid Thalaai’. Darah deras bercucuran saat dimandikan. Papan tempat peletakan kepala saat dimandikan sampai sekarang menurut warga sekitar masjid masih mengeluarkan bau semerbak.

Sesampainya di pintu masuk ruangan bawah tanah istana Zamrud, darah Sayyidina Husain masih bercucuran. Kaca pelindung pintu masuk sengaja dilubangi supaya memungkinkan bagi para peziarah untuk mencium harum darah beliau yang suci.

Asalnya tidak ada masjid di sana, tapi para penguasa saling berlomba-lomba membangun masjid. Hingga akhirnya menjadi masjid besar seperti sekarang,  sebagaimana yang kita bisa temukan.

Pemindahan kepala ke istana Zamrud terjadi pada hari selasa terakhir bulan Rabi’ul Akhir. Hari itu kemudian menjadi hari perayaan besar masyarakat setiap tahun. Hari itu dikenal masyarakat umum dengan nama acara “Peringatan Maulid Husain”.

Syekh Ali Jum’ah hafizhahullah pernah bercerita ada orang yang menafikan keberadaan kepala Sayyidina Husain di makam itu. Akhirnya makam itu dibuka di depan massa.  Syekh Al-Jauhari Asy-Syafi`i dan Al-Malwani Al-Malik, dua syekh besar Al-Azhar turun ke dalamnya.

Baca juga: Al-Iqtishār, Kitab Fikih Syi’ah yang Pernah Diajarkan di Al-Azhar

Mereka berdua menyaksikan kepala Husain terjaga baik di tempatnya. Bahkan, kata Syekh Ali, salah satu dari mereka memegang kepala dan mendapati darah yang masih segar. Ketika ditanya “apa yang Anda perbuat dengan darah itu?” Syekh itu menjawab, “Aku menghisapnya.”

Warga Mesir penuh bahagia dengan keberadaan kepala Sayyidina Husain. Mereka biasanya berkata,  “Sayyiduna al-Habib mencintai kami, beliau menitipkan cucu beliau bersama kami.”

Makam Sayyiduna Husain dikenal sebagai pintu ziarah kepada Sayyiduna Rasulullah di Mesir.

Maulana Syekh Asy-Sya’rawi rahimahullah bercerita bahwa setiap kali berziarah ke sana, beliau selalu mendengar jawaban salam dari dalam. Pernah sekali beliau tidak dengar dan membuat beliau bersedih.

Kemudian Syekh Asy-Sya’rawi bermimpi Sayyiduna Husain menemuinya dan mengatakan bahwa saat itu beliau sedang sibuk dengan Sayyiduna Rasulullah SAW.

Perlu diketahui bahwa penguasa Dinasti Fathimiyah adalah penganut Syiah. Mereka hidup di dalam kota Kairo. Kawasannya tertutup dengan pagar tinggi menjulang yang hanya bisa dimasuki lewat pintu-pintu gerbang yang ada.

Area Kairo pada waktu itu meliputi sebagian kawasan Sayyiduna Husain dan kawasan Masjid al-Azhar hingga Bab Zuwailah serta sebagian kawasan Darassah sekarang.

Sementara daerah luar Kairo tetap berakidah Sunni. Pusat pendidikannya ada di Masjid Sayyiduna Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu yang terletak di kota Fusthath.

Baca juga: Syekh Nuruddin Itr, Pakar Hadits Suriah Yang Sangat Mencintai Al-Azhar

Adapun pusat pendidikan Syiah saat itu adalah Masjid al-Azhar. Tertulis di mimbar masjid itu, “Bagi yang mencaci sahabat, mendapatkan hadiah 1 dinar dan sekarung besar makanan.”

Tapi tidak pernah ada warga Mesir yang melakukan itu karena mereka mempunyai cinta yang tulus. Mereka mencintai Sayyiduna Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dengan dua sayap cinta: Ahlul Bait dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Ketika Dinasti Fathimiyah hancur, keyakinan Syiah pun seakan tidak pernah ada.

Madad Ya Sayyidana Husain. Kami sangat mencintaimu. Sayyiduna Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah mencintai orang yang mencintai Husain.”

Kontributor

  • Hilma Rosyida Ahmad

    Bernama lengkap Ustadzah Dr. Hilma Rasyida Ahmad. Menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. Beliau juga salah satu murid Syekh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani asy-Syadzili.