Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Editorial: Hari Santri Harus Disyukuri dengan Perjuangan

Avatar photo
22
×

Editorial: Hari Santri Harus Disyukuri dengan Perjuangan

Share this article

Muhammad Tabrani Basha, CEO Sanad Media

SANTRI itu tak sama dengan kiai. Bila ada santri yang masih belum pandai, masih dangkal memahami agama dan belum punya adab yang tinggi, maka ia tetaplah santri. Namun bila ada seorang yang disebut kiai memiliki kondisi demikian, maka ia sesungguhnya bukan kiai.

Kiai itu harus pandai, harus paham agama, sekaligus melekat padanya adab-adab mulia. Maka dari itu menjadi kiai lebih berat, ia dituntut pintar sekaligus benar, sadar sekaligus sabar, boleh kaya tapi mesti tetap sederhana. Sifat-sifat itu tentu bukan dibuat-buat, harus murni dan alami. Bila ada yang berusaha mencoba-coba menjadi kiai, tentu sah-sah saja, biar masyarakat saja yang menilainya.

Hari ini Hari Santri. Seorang santri yang bandel sekalipun akan turut bangga memperingati. Barang kali ia baru sadar bahwa dirinya adalah seorang santri, yang dididik menjalani hari demi hari dengan kewajiban tunduk pada hukum, norma dan etika.

Bukan tak pernah bersalah, hampir seluruh santri pernah melakukan kesalahan. Karena pesantren tak bermaksud mendidiknya untuk tak berbuat salah sama sekali, melainkan mendidiknya agar mengetahui letak kesalahannya sehingga harus dijauhi, mendidik kesadaranya sehingga berani mengakui kesalahan, mendidik kerendahan hatinya agar menyesali kesalahan, dan memperbaiki dirinya untuk dapat mencapai kebenaran dan keutamaan.

Memperingati Hari Santri, mengingatkan situasi santri yang khas: tinggal sekamar bersama, makan bersama, ngaji bersama, tidur bersama, semua serba bersama. Bisa dikatakan, menjadi santri itu melatih diri untuk susah dan senang bersama.

Lalu kala santri harus hidup berbangsa dan bernegara, dituntut hidup bersama, saling mengenal satu dengan lainnya yang berbeda, tentu itu soal biasa. Sudah sedari kecil para santri itu bersatu dalam perbedaan.

Asal tahu saja, mereka di satu pemondokan saling berlainan latar belakang sosial. Satu kamar bisa saja terdiri dari: anak petani, anak buruh pabrik, anak pejabat, anak pengusaha, anak polisi, anak kiai, anak dosen, anak satpam, anak dewan, anak bupati, anak tukang becak, anak pedagang kaki lima, anak direktur perusahaan, dan tentu masih banyak lagi. Santri cukup terpelajar untuk menghargai perbedaan, cukup terdidik untuk mencari persamaan, dan pada akhirnya tumbuh naluri untuk mempersatukan.

Bukan hanya hidup bersama, santri juga terbiasa hidup mandiri. Mereka pada mulanya dipaksa oleh keadaan, berdamai dengan kenyataan, jauh dari orang tua. Mereka melatih diri menghadapi keterbatasan dan kesempitan, mencoba mencari jalan keluar, mengupayakan harapan-harapan.

Pada Hari Santri yang istimewa ini, santri tetap harus berdikari berdiri di atas kaki sendiri. Sebagaimana terbiasa untuk tidak manja kepada orang tua, tak elok juga bila harus manja kepada negara. Hari Santri harus disyukuri, dengan tetap mengisinya dengan perjuangan dan pengorbanan.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.