Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengenal Kejeniusan Imam Asy-Syafi’i

Avatar photo
29
×

Mengenal Kejeniusan Imam Asy-Syafi’i

Share this article

Imam Asy-Syafi’i sudah terlihat kejeniusannya sejak masih kecil. Beliau hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun, menguasai ilmu sastra Arab dari kabilah Hudzail (kabilah yang terkenal paling fasih di suku Quraisy) pada usia 10 tahun, serta hafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik dan mampu memahaminya dengan baik di usia sekitar 13 tahun.

Pada usia 15 tahun, gurunya yang bernama Syekh Muslim bin Khalid az-Zanji, mufti Makkah saat itu, sudah memberikan lampu hijau kepada Imam Asy-Syafi’i untuk berfatwa.

Imam Asy-Syafi’i mampu memadukan dengan baik antara mazhab ahlil hadits dan mazhab ahli ra’yi.

Suatu ketika, Muhammad bin Al-Hasan asy-Syaibani, murid Imam Hanafi, bertanya kepadanya, “Menurutmu, siapa yang lebih unggul dalam sisi keilmuan, antara ahlul hadits dan ahlur ra’yi, antara Imam Malik dan Imam Abu Hanifah?”

Imam Asy-Syafi’i menjawab, “Jujur saja, mazhab Imam Malik lebih unggul.”

Beliau balik bertanya, “Siapa yang lebih memahami tentang Al-Qur’an? Ahlul hadits ataukah ahlur ra’yi?”

Muhammad menjawab, “Ahlul hadits.”

Beliau kembali bertanya, “Lalu siapa yang paling mengerti dan memahami tentang hadits Nabi SAW, ahlul hadits ataukah ahlur ra’yi?”

Muhammad menjawab, “Demi Allah, ahlul hadits.”

Imam Asy-Syafi’i bertanya lagi, “Lalu siapa yang paling mengerti dan memahami perkataan para sahabat Nabi SAW dan ulama generasi mutaqaddimin, ahlul hadits ataukah ahlur ra’yi?”

Muhammad lagi-lagi menjawab, “Ahlul hadits.”

Baca juga: Mengenal Istilah-istilah dalam Mazhab Syafi’i

Kemudian Imam Asy-Syafi’i berkata, “Sekarang masalah qiyas. Tidak mungkin bisa menganalogikan suatu masalah tanpa mengetahui dan memahami hukum-hukum asal (Qur’an, Hadits, dan Qaul sahabat). Jadi barangsiapa tidak mengetahui perihal hukum-hukum asal ini, bagaimana mungkin ia bisa mengaplikasikan Qiyas?!”

Begitulah cara Imam Asy-Syafi’i dalam memberikan jawaban, bukan dengan menjawab, namun dengan memberikan pertanyaan baru, sehingga bisa diketahui kesimpulan dari sebuah pertanyaan.

Menjelang wafat, beliau yang terbaring sakit dijenguk oleh Al-Muzani, sahabat dan pengikutnya yang turut menyebarkan mazhab Syafi’i lewat kitab Mukhtashar-nya.

Al-Muzani bertanya, “Bagaimana keadaanmu saat ini wahai guruku?”

“Sebentar lagi maut akan menjemputku, aku akan pergi meninggalkan dunia, berpisah dengan saudara. Akan meneguk gelas kematian, menghadap Allah dan bertemu dengan buruknya amalku. Aku tak tahu, apakah ruhku akan terbang melayang menuju surga hingga aku pantas mengucapkan selamat padanya, ataukah akan terlempar ke neraka hingga aku berbelasungkawa atasnya.” jawab beliau.

Kemudian beliau mengarahkan pandangan ke arah langit, seraya melantunkan syair,

Kupersembahkan cintaku kepada-Mu, wahai Tuhan seluruh makhluk
Sekalipun aku penuh dosa, wahai Yang Maha Pemberi dan Maha Pemurah
Dosaku teramat besar, tidak sebanding dengan pengampunan-Mu
Karena pengampunan-Mu jauh lebih besar, wahai Tuhanku
Di saat hatiku mengeras dan perjalananku terasa semakin sempit
Kujadikan harapanku kepada-Mu sebagai tangga menggapai ampunan-Mu
Selama Engkau sudi ampuni dosa-dosaku yang tak pernah henti
Engkau selalu limpahkan karunia dan ampunan sebagai rahmat dan kemuliaan
Jika bukan karena-Mu, tak ada seorangpun hamba akan selamat dari Iblis
Betapa tidak, sungguh Iblis telah menggelincirkan Adam, kekasih-Mu

Imam Asy-Syafi’i wafat pada 204 H dan dikebumikan di Mesir, negeri para nabi.

Baca juga: Belajar Mengajar dari Mbah Hasyim, Syekh Fudhali dan Imam Syafi’i

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.