Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pengaruh Musik pada Psikologi Manusia dalam Pandangan Al-Ghazali

Avatar photo
28
×

Pengaruh Musik pada Psikologi Manusia dalam Pandangan Al-Ghazali

Share this article

Menurut Imam Al-Ghazali, Allah swt. menempatkan satu rahasia dalam keharmonisan suara yang memiliki irama. Harmoni suara (musik di antaranya) mendatangkan pengaruh kuat ke dalam jiwa.

Kadang kala menimbulkan kesedihan dan mengundang air mata, dan terkadang meledakkan kegembiraan dan tawa. Bahkan, bisa memaksa tubuh bergoyang dan bergerak dengan begitu unik dan menakjubkan.

“Jangan engkau mengira itu terjadi hanya karena memahami makna liriknya.” tulis  Al-Ghazali dalam Ikhtisar Ihya Ulumiddin (Turos Pustaka, September 2017). Efek dahsyatnya juga terbukti pada beberapa hewan, terutama unta. Dan terbukti dirasakan pula oleh bocah yang belum bisa bicara dan memahami.

Pengaruh yang dibawa oleh nada yang merdu juga terbukti muncul dari petikan suara gitar yang tidak bisa dipahami, lebih-lebih pada seekor unta. Ketika menempuh perjalanan jauh di padang pasir dan merasa kelelahan oleh beban bawaannya, lalu mendengar nyanyian dendang penunggangnya, maka unta akan memanjangkan lehernya tanda semangat dan mempercepat jalannya.

Baca juga:

Abu Bakar bin Muhammad bin Daud ad-Dinawari yang dikenal dengan Ar-Ruqi bercerita, “Suatu ketika, aku berada di sebuah pedalaman dan bertemu dengan salah satu kabilah Arab. Kemudian seseorang mempersilakanku masuk ke dalam kemah. Di dalam rumahnya, aku melihat seorang budak hitam yang diikat dengan tali dan melihat beberapa unta yang sudah mati di depan rumah. Aku juga melihat seekor unta yang sangat kurus, seakan-akan nyawanya mau keluar.

Kemudian, budak itu berkata kepadaku, ‘Anda adalah seorang tamu dan engkau memiliki hak, sehingga engkau bisa menolongku. Karena tuanku biasa memuliakan tamunya dan pertolongannya tidak pernah ditolak. Siapa tahu, dia bersedia melepas ikatan dari kakiku.’

Sesudah makanan dihidangkan, aku tidak bersedia menyantapnya. Aku berkata, ‘Aku tidak akan makan sebelum menolong pada budak ini.’

Lalu, pemilik rumah alias majikan budak itu berkata, ‘Budak ini telah menghilangkan seluruh hartaku.’

 ‘Apa yang telah dia lakukan?’ Tanyaku.

Dia menjawab, ‘Sesungguhnya dia memiliki suara yang bagus sedangkan aku hidup dari jasa punggung unta-untaku ini. Tapi dia justru membebaninya dengan beban bawaan yang sangat berat. Dia menggiringnya sambil berdendang sampai menempuh perjalanan tiga malam dalam satu malam saja lantaran suaranya yang indah. Hingga setelah bawaan diturunkan, tiba-tiba semua untaku mati kecuali satu unta ini. Tetapi engkau adalah tamuku. Aku memuliakanmu dan aku akan mengabulkannya untukmu.’

Kemudian, aku ingin sekali mendengar suara budak tersebut. Setelah pagi tiba, tuan rumah menyuruh budaknya menggiring sisa unta yang masih hidup untuk mengangkut air dari sumur. Ketika budak itu berdendang dengan suara keras, unta itu pun lari, hingga terputus tali-talinya dan aku jatuh tersungkur. Seingatku, aku belum pernah mendengar suara yang lebih merdu dari suaranya.’”

***

Imam Al-Ghazali mengatakan mendengar irama ternyata mempunyai pengaruh yang unik. Barang siapa tidak bisa bergetar hatinya oleh alunan irama merdu, maka akalnya kurang sempurna, tidak stabil dan jarang tersentuh unsur-unsur kejiwaan.

Bahkan pernah seekor burung hinggap di kepala Nabi Daud as. untuk mendengarkan suaranya. Ayah Nabi Sulaiman as. itu berkata, “Mendengar tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang tidak bertempat di alam hati. Ia hanya menggerakkan sesuatu yang berada di dalam hati.” Itulah sebabnya teriakan meratapi kematian dimakruhkan karena bisa menggerakkan perangai tercela yang ada di dalam hati, berupa kesedihan dan duka mendalam atas kepergian seseorang.

Tidak dimakruhkan mendengarkan irama dalam pesta pernikahan, akikah dan acara lainnya. Karena mendengarkan irama dan nyanyian akan memunculkan getaran energi yang akan menambah kegembiraan yang diperbolehkan atau bahkan disunahkan. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat yang mengisahkan nyanyian kaum perempuan muslim Madinah sambil memainkan rebana dan menyanyikan lagu-lagu menyambut kedatangan Rasulullah saw. dari Mekah:

Terbit purnama kepada kami

Dari Tsaniyyah al-Wada’

Diwajibkan atas kami bersyukur

Selama ada penyeru ke jalan Allah

Lalu didukung oleh riwayat lain dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, dari Aisyah ra. bahwa dia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw. menyelimutiku dengan selendangnya. Saat itu, aku sedang memerhatikan orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid sampai aku merasa jenuh.

Dan dikuatkan oleh riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim di dalam kedua kitab hadisnya, yang bersumber dari az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa pada hari-hari Mina (hari tasyriq), Abu Bakar ra. pernah datang ke tempat Aisyah. Di dekatnya ada dua budak perempuan yang sedang menabuh rebana sementara Rasulullah berselimut di balik bajunya. Lalu Abu Bakar membentak kedua budak tersebut. Mendengar hal itu, Nabi saw. langsung menyingkap selimut dari wajahnya dan bersabda,

دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيْدٍ

“Biarkan mereka wahai Abu Bakar, karena sekarang adalah hari raya.”

Dalam riwayat lain, berbunyi “Mereka berdua bernyanyi dan menabuh rebana.”

Hadis-hadis di atas menunjukkan kebolehan mendengarkan irama secara absolut sekaligus menunjukkan diperbolehkan mendengar suara perempuan selama tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.

Singkat kata, mendengarkan irama, lagu, nyanyian dan sejenisnya mampu membangkitkan sesuatu yang bersemayam di dalam hati. Jika di dalam hati, ada kerinduan yang diperbolehkan, maka hukum membangkitkan kerinduan itu diperbolehkan. Adapun jika kerinduan itu diharamkan, maka tidak boleh membangkitkannya. Keterangan ini berlaku pada mendengarnya orang-orang lalai.

Adapun mendengarnya orang-orang berhati suci yang terkenal dengan kecintaan dan kerinduan pada Allah—mereka adalah orang-orang yang tidak melihat sesuatu kecuali melihat Allah di dalamnya dan pendengaran mereka tidak terketuk oleh sesuatu melainkan mereka sedang mendengar Allah—maka mendengarnya mereka akan memperkuat kecintaannya, membangkitkan kerinduannya dan menembakkan dari pelatuk picu hatinya berbagai macam mukâsyafah dan mulâthafah yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Semua itu hanya bisa diketahui oleh orang yang merasakannya dan akan diingkari oleh orang yang penangkapan indranya lemah. Dalam dunia tasawuf disebut dengan al-wajd (puncak ekstasi kegembiraan hati).

Segala sesuatu yang bisa menambah kecintaan dan kerinduan kepada Allah swt., jika tidak dinilai sebagai perkara wajib, maka tidak lebih remeh dari perkara mubah. Bagaimana tidak sedangkan Rasulullah saw. menyinggungnya di dalam doanya,

اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِيْ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ أَحَبَّكَ وَحُبَّ مَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ

Ya Allah, anugerahkan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan pada apa saja yang mendekatkanku pada kecintaan pada-Mu.

“Sekarang ketahuilah bahwa mendengarkan nada irama (musik) akan dapat menggetarkan hati. Tapi sebagian orang ada yang kuat karunianya dan sempurna urusannya, sehingga dia tidak memerlukan penggetar hati dari luar.” pungkas Al-Ghazali.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.