Belakangan ini para pengguna media sosial begitu mudah sekali untuk melayangkan cacian tanpa berfikir akan dampaknya. Berbagai kalangan telah menjadi sasaran, mulai penjabat, orang biasa, bahkan para ulama yang memberikannya pelajaran untuk menuju jalan keselamatan.
“Tulisan merupakan salah satu dari 2 lisan,” demikian ahli hikmah mengungkapkan. Sehingga, hal ini bukan berarti mulut yang terdiam itu menjadikan dosa ghibah atau mencaci menjadi terhenti. Di sinilah peran setan untuk menipu; bahwa sekedar tulisan tidak lah masalah. Tapi nyatanya, menulis cacian atau narasi kebohongan tetap dihitung sebagai dosa. Lebih-lebih yang menjadi sasaran itu adalah seorang ulama.
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah Hadits Qudsi yang berbunyi: “Barang siapa yang menyakiti seorang kekasih-Ku, maka akan Ku nyatakan perang kepadanya.”
Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Jawab ash-Shahih li Man Baddala Din Al-Masih jilid 3 hal 335 mengomentari hadits ini:
أنه احسن حديث في الباب -ثم ذكر روايات أخرى في نفس المعنى- و قال: و ذلك لأن هؤلاء الاولياء أمنوا بالله و والوه، و يحبون ما احبه الله و يبغضون ما ابغضه الله و رضوا عمن رضي الله عنه، و سخطوا على من سخط الله عليه، و امروا بما أمر الله به و نهوا عما نهى الله عنه. ه
Artinya: hadits ini merupakan hadits yang paling bagus dalam babnya. — kemudian beliau menyebutkan hadits riwayat lain yang semakna –. Lalu beliau menyebutkan alasan kenapa Allah menyatakan perang: “Karena mereka, para kekasih, beriman kepada Allah, mencintai apa yang dicintai oleh Allah, dan marah terhadap apa yang dimarahi oleh Allah, serta ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Allah….
Siapakah yang dimaksud kekasih dari hadits ini? Al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih menukil perkataan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah:
ان لم يكن العلماء أولياء فليس لله ولي
Artinya: seandainya ulama bukanlah wali Allah, maka Allah tidak memiliki Wali.
Syekh Zakariyya Al-Kandehalawi (W. 1402 H), ulama kenamaan India mengatakan: “Mereka orang-orang bodoh yang berani melancarkan cacian terhadap ulama, sama halnya mencoba untuk membinasakan dirinya baik di dunia maupun akhirat”. Perkataan beliau selaras dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.,: “Bukan bagian dari kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengerti hak para ulama.” (HR. Ahmad: 416)
Imam Rasyid Ahmad Al-Kankuhi, ulama India pemilik kitab al-Kaukab ad-Durri Syarh Sunan At-Tirmidzi, berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang menghina ulama dan berbuat buruk kepada ulama, mereka akan dipalingkan wajahnya dari kiblat ketika berada di dalam kubur. Siapa yang tidak percaya, buktikan saja!”
Para ulama telah mengatakan, bahwa Allah tidak pernah mengungkapkan hukuman dosa dengan peperangan kecuali terhadap 2 hal; menyakiti ulama dan pemakan riba. Hal ini menunjukkan besarnya dosa dari 2 perkara tersebut, serta ditakutkan pelakunya akan wafat dalam keadaan yang buruk.
Yang perlu digaris bawahi adalah, apa penyebab diri kita menjadi berani untuk menghina para ulama? Karena ini adalah sebuah bencana yang turun kepada umat, pasti ada sebabnya. Sebagaimana Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengatakan: “Bencana apapun yang turun, hendaknya kita mencurigai diri kita sendiri.”
Untuk menjawab pertanyaan ini, rasanya perkataan salah satu pemimpin para sufi pada masanya, al-Imam Abu Turab an-Nakhsyabi sangatlah tepat:
اذا استأنس قلب المرء بالاعراض عن الله عز و جل، ابتلي بالاعتراض عن أهل الله.
Artinya: orang yang hatinya sudah nyaman dengan berpaling dari Allah, maka ia akan diuji dengan dipalingkan dari para kekasih Allah.
Walhasil, menjaga lisan dan tulisan dari mencela para ulama adalah hal yang sangat perlu diperhatikan di masa sekarang. Banyaknya media sosial dan diri yang tidak begitu dijaga, membuat orang banyak yang terjerumus dalam dosa ini, sedangkan ia tidak merasakannya.
Fahrizal Fadhil
13 Agustus 2020, Kairo.