Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Cinta Baginda Nabi kepada Negerinya: Tinjauan Islam Nusantara

Avatar photo
38
×

Cinta Baginda Nabi kepada Negerinya: Tinjauan Islam Nusantara

Share this article

Cinta negeri adalah hal natural yang terpatrikan dalam tiap makhluk hidup. Tidak saja ada dalam diri manusia, akan tetapi juga dalam hewan-hewan lainnya. Berbagai makhluk hidup melakukan perjalanan jauh karena tuntutan hidupnya, namun pada ujungnya ia akan kembali jua ke haribaannya. Sejumlah makhluk hidup bahkan akan segera sirna jika dijauhkan dari habitatnya.

Manusia tanpa negeri seperti kehilangan sejarah. Negeri adalah tempat dia lahir, dan tempat dia tertatih-tahih belajar kehidupan, mengenal alam raya, mengisi perut, norma, spiritual dan intelektual. Ia menggerayangi semua itu dalam sebuh tanah negeri. Tanah air adalah sejarahnya dan media kehidupannya.

Nabi kita, Sayyidina Muhammad SAW. memberi contoh betapa mulianya mencintai negeri. Di pintu Makkah, saat ia dipaksa keluar darinya, beliau menyampaikan pamitan kepanya:

“Sungguh, engkau adalah negeri teramat indah. Betapa engkau adalah negeri tercinta! Jika tak dipaksa keluar oleh kaumku, sungguh aku tak akan menempati bumi lain darimu.”

Muhammad adalah guru kemanusiaan. Dalam soal mencintai negeri, beliau tidak ragu mengajarkan betapa cinta kepada negeri adalah fitrah manusia. Beliau tak menyampaikan pamitan yang menyayat ini jika tak benar-benar mengetahui bahwa mencintai negeri adalah bagian dari garis kehidupan yang diridhai Allah SWT.

Atas itu, diceritakan Allah merespon baik atas tautan hatinya, bahwa suatu saat dia pasti akan kembali jua. Di Juhfah, tempat yang tak jauh dari Makkah, Allah berfirman kepadanya:

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an (diantaranya hijrah ke Madinah) benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (Makkah).”

Sampailah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Beliau mulai merasa bahwa Madinah adalah negerinya juga. Beliau melihat sekelilingnya. Sahabat-sahabatnya sesama pehijrah mulia juga bergeliat menganggap Madinah sebagai tanah air. Madinah tak boleh dipandang sebagai nomor dua. Tak benar, sementara tinggal di Madinah akan tetapi hati dan jiwa masih menganggapnya negeri kedua. Nabi pun berdoa:

اَللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِيْنَةَ كَحُبِّنَا مَكَةَ أَوْ أَشَدَّ

Allaahumma habbib ilainâ al-Madînata kahubbinâ Makkata aw asyadda.

“Duh Gusti Allah, cintakanlah Madinah kepada kami sebagaimana cinta kami kepada Mekkah, atau bahkan melebihinya.”

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْمَدِيْنَةِ ضِعْفَيْ مَا بِمَكَةَّ مِنَ الْبَرَكَةِ

Allaahummma ij’al bil-Madiinati dhi’fai maa bi-Makkata minal-barakah.

“Duh Gusti Allah, ciptakanlah di Madinah dua kali lipat berkah yang ada di Makkah.”

Nabi kita benar-benar memberi contoh, bahwa mencintai negeri bagian dari risalah kemanusiaan. Oleh sebab itu, ulama-ulama kita mengatakan, “Hubbul wathan minal iman,” cinta negeri bagian dari iman.

Cinta kepada negeri tak boleh dipertentangkan dengan keimanan, karena ia adalah bagian darinya. Petaka akan segera muncul saat keduanya mulai diberi garis jarak. Inilah salah satu latar belakang kenapa muncul Islam Nusantara. Islam dan Nusantara sudah seharusnya harmonis dan selalu diharmoniskan.

Kontributor

  • Abdul Ghofur Maimoen

    Nama lengkapnya Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, Lc., MA. Setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Al-Azhar Mesir, kini beliau menjadi pengasuh PP. Al-Anwar 3 Sarang-Rembang, Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Anwar, Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.