Jum’at (26/6) kemarin, saya dan Ade Gumilar Irfanulloh b. Saefulloh mengunjungi rumah sahabat kami, Ustadz Abdul Majid di dukuh Bitung, Desa Karang Sambung, Kadipaten (Majalengka).
Di rumahnya, kami menjumpai sejumlah koleksi manuskrip (makhthuth/naskah tua tulis tangan) dan kitab cetak tua milik almarhum Kyai Muhammad Shobirin. Sosok Kyai Shobirin adalah paman dari istri Ustadz Abdul Majid.
Kebanyakan manuskrip adalah salinan (nuskhah mansukhah), berupa “Taqrirat” (semacam rangkuman catatan penjelasan) saat Kyai Shobirin belajar di Pesantren KH. Achmad Munawar di Cilaku, Cianjur dalam rentang masa waktu 1952-1960.
Di antaranya adalah Taqrirat Sullam Munawaraq (logika), Taqrirat Tashrif al-‘Izz (morfologi Arab), Taqrirat as-Samarqandiyyah (retorika), Nazham Natijah al-Adab (dialektika/ilm al-munazharah) karya Abdul Malik b. Abdul Wahhab al-Fatni al-Hindi al-Makki, Nazham Ibn al-Ibad fi al-Najasat (fikih), dan Nazham fi Ilm al-Maqulat al-Asyrah karya KH. Ahmad Syathibi Gentur.
Bagi saya, menemukan manuskrip
karangan KH. Ahmad Syathibi Gentur ini (Nazhom ‘Ilm al-Maqulat) sangat
berarti. Pasalnya, dari beberapa karya KH. Ahmad Syathibi Gantur yang saya
miliki, kesemuanya berupa kitab cetak dan fotokopian.
Manuskrip lainnya mencakup teks khotbah
Jum’at, beberapa kumpulan nasehat, do’a, shalawat, hizib, surat-menyurat dan
lain-lain.
Menyimak manuskrip beberapa Taqrirat
yang disalin oleh Kyai Shobirin ketika belajar di Pesantren Cilaku (Cianjur),
mengingatkan saya pada beberapa kitab Taqrirat yang dicetak oleh
Pesantren Warudoyong (Sukabumi).
Sekitar sebulan yang lalu, saya
mendapatkan beberapa kitab Taqrirat yang berasal dari Pesantren
Warudoyong dari toko kitab Pesantren al-I’tishom Coblong, Warungkondang
(Cianjur) asuhan KH. Khairi Romadloni Khoiri Romadoni Romadoni, alumni
Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur).
Saya lalu membandingkan Taqrirat
Pesantren Cilaku dari manuskrip salinan Kyai Shobirin dengan Taqrirat
Pesantren Warudoyong. Ternyata kedua Taqrirat tersebut sangat mirip dalam pola
dan isi.
Kemiripan di atas tidak
mengherankan. Hal ini karena Pesantren Cilaku dan Pesantren Warudoyong
dipertemukan oleh ikatan jaringan alumni Pesantren Gentur. Baik pendiri dan
pengasuh Pesantren Cilaku, yaitu KH. Achmad Munawwar (w. 1973), juga pendiri
dan pengasuh Pesantren Warudyong, yaitu KH. Inayatillah (w.?), keduanya adalah
sama-sama murid dari KH. Ahmad Syathibi Gentur (w. 1947).
Kita bisa menduga bahwa pada
dasarnya Taqrirat tersebut, baik Taqrirat Cilaku atau pun Taqrirat
Warudoyong, berasal dari Pesantren Gentur. Pesantren ini bisa dikatakan sebagai
salah satu pusat transmisi keilmuan Islam terpenting di wilayah Tatar Sunda
pada paruh pertama abad ke-20 M.
Pesantren Gentur terkenal dengan
kajian ilmu tata bahasa Arab, juga ilmu retorika (balaghah) dan dialektika (munazharah).
KH. Ahmad Syaibi Gentur tercatat mengarang beberapa kitab dalam bahasa Arab
terkait dua bidang ilmu tersebut.
KH. Sarkhosi Subki, sesepuh PCNU
Majalengka dan juga pengasuh pesantren Mansyaul Huda di Heuleut, Kadipaten,
Majalengka, yang juga suami adik ipar Kyai Shobirin, mengatakan bahwa Kyai
Shobirin adalah seorang “jago gegenturan” atau “Kyai ahli ilmu
Gentur”. Maksudnya, beliau adalah orang yang mahir dalam ilmu retorika dan
dialektika.
Menurut KH. Sarkhosi, di
Majalengka pada pertengahan abad 20 lalu ada beberapa Kyai yang menguasai
“ilmu Gentur”. Mereka terkoneksi dengan jaringan intelektual KH.
Ahmad Syathibi Gentur. Di antara mereka adalah Kyai Shobirin (Kadipaten), Kyai
Abdul Syakur Cisambeng (Palasah) dan Kyai Syairozi Harun (Dawuan).
Kyai Shobirin sendiri adalah
putra dari Kyai Hasyim Bantarjati (Jatitujuh). Sebelum belajar di pesantren
Cilaku di Cianjur, beliau terlebih dahulu belajar di pesantren Ranji
(Kasokandel, Majalengka) asuhan KH. Subki Imroni, yang tak lain adalah ayah
dari KH. Sarkhosi Subki.
KH. Subki Imroni pesantren Ranji
adalah murid dari KH. Shobari dari pesantren Ciwedus (Kuningan). KH. Shobari
Ciwedus adalah murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan (Madura).
KH. Shobari Ciwedus adalah guru
dari KH. Syujai Kudang (Tasikmalaya). KH. Syujai Kudang sendiri adalah guru
dari KH. Ahmad Syatibi Gentur, juga guru dari KH. Ruhiyat Cipasung
(Tasikmalaya) ayah dari KH. Ilyas Ruhiyat (Rois Am PBNU).
Melalui manuskrip-manuksrip Kyai
Shobirin (Majalengka) di atas, juga dengan penjelasan dari KH. Sarkhosi Subki,
kita seakan dibukakan jendela informasi terkait transmisi intelektual Islam dan
jaringan ulama Tatar Sunda pada peralihan abad XIX dan XX, melalui transmitter
(mata rantai jaringan) KH. Shobari Ciwedus (Kuningan) dan KH. Ahmad Syathibi
Gentur (Cianjur).
Transmisi dan koneksi di atas dijelaskan dengan sangat gamblang dan lugas dalam buku “Masterpiece Islam Nusantara” karya sejarawan santri KH. Dr. Zainul Milal Bizawie.
نفعنا الله تعالى بهم وبعلومهم في الدارين آمين
Majalengka, Kapit (Dzulqaedah) 1441 Hijri/Juni 2020 Masehi