Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Terjebak di ‘Kiri’; Fragmen Tentang Politik, Agama dan Bahasa

Avatar photo
18
×

Terjebak di ‘Kiri’; Fragmen Tentang Politik, Agama dan Bahasa

Share this article

Pada mulanya
adalah kursi…

Prancis,
penghujung abad 18, Masa-masa Revolusi
.

Kalangan pendukung Monarki dan Republik bersitegang, berbantahan tentang bentuk kekuasaan apa yang bagus untuk ditampuk. Kekuasaan Louis XVI sudah di ujung tanduk. Negara-negara Eropa seperti sekumpulan banteng yang bersiap saling menyeruduk. Kesadaran politik masyarakat Prancis sedang diaduk-aduk.

Di lingkaran Jacobian sendiri pecah kongsi. Perkaranya adalah faksi Girondins dan Montagnards berselisih tentang perlunya menabuh Perang dengan Austria dan Prusia di tengah gonjang-ganjing perubahan politik Prancis akibat Raja Louis XVI tidak becus mengurus kerajaan dan lari ke luar negeri.

Apalagi Girondins, yang juga pendukung Republik, merasa cukup bahwa pemerintahan hanya perlu ‘Reformasi’. Ini memicu kemarahan yang nantinya akan menjadi senjata makan tuan bagi faksi Girondins sendiri: mereka di Era selanjutnya yang menjadi Rezim Teror, dieksekusi oleh faksi Montagnard yang memegang kendali Pemerintahan Revolusi.

Di tengah huru-hara perubahan itu, kalangan pembaharu mengadakan Pertemuan Nasional. Sidang istimewa tersebut membahas tentang perlunya Prancis diteruskan sebagai monarki atau Republik, dan langkah yang akan ditempuh oleh negara dalam menghadapi krisis. Berlangsung sejak 17 Juni sampai 9 Juli 1789, masyarakat mulai dari kasta jelata, bangsawan dan gerejawan diundang untuk hadir dalam Rapat Akbar yang bingar tersebut.

Hadirin terbagi menjadi dua kubu: mereka yang duduk di sebelah Kanan pemimpin sidang mendukung status-quo dan kerajaan, terdiri dari mayoritas kalangan bangsawan dan gerejawan; sedang mereka yang mengupayakan perubahan sistem berada di sebelah Kiri dewan Presidium.

Selanjutnya adalah sejarah: kaum revolusioner merebut kekuasaan, Raja Louis XVI dieksekusi, dan Prancis menjadi negara Republik pertama di Eropa. Harganya adalah revolusi itu merenggut jiwa, meneteskan darah, dan sebanyak puluhan ribu kepala dipancung dengan Guilotine.

Lalu Prancis memasuki masa Pemerintahan Besi yang menguasai negara dengan teror; kekuasaan yang tidak berbanding lurus dengan semangat republik dan pencerahan, semangat yang digaungkan oleh para pemikir dan pujangga Prancis; Voltaire, Dumas, Rousseau, dan Viktor Hugo, semangat yang membawa panji kemenangan kemanusiaan Prancis atas Tirani!

Dan Prancis masih menjalani sidang dengan cara yang sama: mereka yang duduk di sebelah Kanan adalah pendukung penguasa, dan sebelah Kiri adalah para Oposisi.

Perdebatan tentang ‘Kekuasaan’ terkadang memang memusingkan kepala.

Prancis memang bukanlah pangkal pencerahan Eropa. Tapi barangkali hingga kini hampir semua yang berawal dari sana, menjadi trend setter beberapa perubahan yang terjadi di Eropa. Prancis adalah Hellen abad 17, saat negara-negara Eropa lainnya masih bertalian mesra dengan gereja, para pemikir Prancis adalah yang mula-mula menjalankan semangat Rennaisance dan sekular: “Agama bukan menjadi tolak ukur segala hal.”

Pemisahan jelas dua kubu
yang terjadi pada proses Revolusi Prancis menjadi trend yang menyebar ke
seluruh penjuru Eropa dan menjadi terma Politik yang lumrah digunakan, bukan
hanya di belahan bumi Barat, namun juga merangsek dalam penggunaan kosakata di
penjuru dunia.

Kanan adalah simbol harmoni dan kemapanan, Kiri adalah
simbol pergerakan oposisi dan anti status-quo.

Dalam Politik, mereka yang dianggap Kanan adalah pendukung loyal pemerintahan, dalam apapun bentuknya. Di Amerika, Politisi Sayap Kanan adalah mereka yang bergumul dalam Partai Republikan dan menyuarakan isu-isu nasionalis-populis: anti-imigran, kedaulatan negara, pajak rendah untuk pengusaha lokal, sedang Sayap Kiri adalah orang-orang Demokrat: Hubungan luar negeri yang ramah, kontrol pemerintah yang terbatas, perbaikan enviromental dan kesejahteraan buruh.

Dalam perjalanannya hingga sekarang, Kanan dan Kiri dalam terminologi politik mengalami peyorasi yang kompleks, teradaptasi dan teradopsi—secara rigid maupun serampangan, dalam klasifikasi bentuk-bentuk kebijakan dan pergerakan. Sekalipun pada awal kata itu menjadi marak digunakan dalam percaturan politik Eropa, menjadi dikotomi yang mencirikan identitas pemikiran aliran tertentu.

Kita bisa melihat tumpah ruah istilah mulai dari Ekstrim Kanan, Kanan Moderat, Tengah, Kiri, Ultra Kiri, dan sebagainya yang lekat dalam buku-buku sejarah ekonomi-politik kenegaraan, utamanya yang mengangkat narasi besar perhelatan Kapitalisme dan Sosialisme di Eropa. Belum lagi ditambah dengan istilah Blok Timur dan Barat yang menuntut kita untuk berpeluh-peluh dalam mengkategorikan aliran-aliran Ekonomi-Politik dalam ilmu Sosiologi.

Bahkan dalam tradisi keilmuan kita yang merupakan hasil tambal sulam dari berbagai tradisi, istilah kanan dan kiri menjadi kehilangan makna dan identitasnya yang dikandungnya semakin kabur. yang kiri adalah kanan, yang kanan adalah tengah, yang tengah bisa dibilang kiri. Dan peminjaman yang tanpa izin itu pun merambah lebih lanjut dalam perdebatan agama-budaya.

Hasan Hanafi menyusun buku al-Yasar al-Islami untuk menggambarkan ‘inovasi’ proyek pemikiran kontemporernya yang mengusung perlunya kita sedikit out of the box, keluar dari pakem yang sudah dijlentrehkan oleh para sesepuh kita di masa lalu. Dengan demikian yang baru dan inovatif adalah Kiri! Yang kanan adalah yang Stagnan, kaku dan ketinggalan zaman! Demikianlah kata Kiri dan Kanan menjadi simbol yang ‘banyak makna’—untuk tidak menyebutnya berantakan.

Dan lagi-lagi semuanya bermula dari posisi duduk yang dipilih oleh para pendukung kebijakan bentuk negara beberapa abad silam.

Politik Kiri di Indonesia adalah pembicaraan tabu.

Indonesia paska ’65
adalah Indonesia yang kehilangan sejarah. Di buku-buku pelajaran sekolah pada
masa Orde Baru, kita tidak akan banyak menemukan perdebatan, khususnya perhelatan
sastra, baik polemik kebudayaan Sutan Takdir Ali Syahbana dengan Sanusi Pane
tentang Kesusastraan Indonesia Modern, begitu juga panasnya adu mulut
LEKRA-Manikebu yang terjadi belum lama hingga pertumpahan darah Oktober 1965
sampai pertengahan tahun 70-an mengakhiri semuanya.

Tidak perlu membicarakan
lebih jauh tentang apa yang terjadi di masa itu dalam tulisan ini, khususnya
ihwal politik. Yang perlu diketengahkan barangkali adalah, LEKRA, Lembaga
Kebudayaan Rakyat, yang merupakan aliran sastra Realisme-Sosialis yang
mempunyai hubungan mesra dengan politik Kiri, dengan Pramoedya sebagai salah
satu jubirnya turut memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia, di samping
tentunya jasa yang tidak bisa dipungkiri dari kalangan Manifes Kebudayaan
(Manikebu) yang memantrakan “Seni untuk Seni” dalam karya-karyanya.

Peristiwa politik yang penuh dendam di masa lalu itu membekas di masing-masing kubu di tanah air, hingga jika ada yang berbicara mengenai peristiwa ’65, akan selalu ada yang naik pitam dan merasa kebakaran jenggot, tak terlepas para pujangganya.

Mochtar Lubis dan Taufik Ismail adalah di antara nama-nama sastrawan Indonesia yang melekatkan emosinya pada tragedi itu. Dan pada saat yang sama, para penyintas dari pihak yang berlawanan, baik yang bertahan di negeri sendiri maupun yang eksil dan tak bisa pulang juga memiliki kesumat yang menyesaki dada mereka.

Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Kiri yang wafat sekitaran tiga belas tahun lalu sempat dalam perdebatannya dengan Goenawan Mohammad menyebut permintaan maaf Gusdur sebagai basa-basi, karena upaya rekonsiliasi pada masanya menjabat Presiden tidak berhasil, baik secara politik maupun hukum. Begitupun dalam dialog penulis dengan Abdul Kahar Ibrahim tahun 2013 lalu, ada perasaan yang menyayat saat membicarakan peristiwa yang membuatnya kehilangan kewarganegaraan itu.

Pada akhirnya ia meninggalkan bumi bukan berangkat dari tanah air sendiri. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada akhir musim semi di Brussel, Belgia, dengan tetap membawa harapan akan iklim kesusastraan Indonesia yang lebih baik.

Sepertinya Baik sastrawan ‘Kiri’ maupun ‘Kanan’ sama-sama masih menaruh trauma mendalam yang menyulut dendam.

Mulai dari Kanan

“Ajaran agama menganjurkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu mulailah dengan yang kanan.”

Dalam banyak etos
berbudaya, khususnya di wilayah kaum Muslim, Kanan seperti menjadi simbol yang
baik. “Makanlah dengan tangan kanan,” demikian kata orang tua dulu. Dalam
berwudu kita dianjurkan dengan kuat untuk, “…basuhlah tanganmu dimulai dari
yang kanan.” Seraya membasuh tangan kanan seorang muslim akan berdoa “Tuhan,
berikanlah buku amalku kelak melalui tangan kananku, dan sidanglah aku dengan
sidang yang mudah.”

Demikian bahasa agama
membicarakan bahwa tangan kanan digunakan untuk melakukan hal yang bagus,
sedang tangan kiri digunakan untuk membersihkan kemaluan kita dari kotoran.
Terlepas dari ‘kelainan’ yang dimiliki oleh orang-orang kidal, normalnya dalam
melakukan sesuatu kita akan dianggap tidak etis jika menggunakan tangan kiri.

Memang Tuhan menciptakan segala sesuatu memiliki manfaat. Bukan berarti bahwa yang kiri itu buruk dan tidak bermanfaat, karena jika iya, kita akan bisa memprotes pada Tuhan mengapa Ia masih menciptakan apa-apa yang di Kiri.

Mengapa kita masih memiliki sisi kanan dan kiri jika semua hal yang baik-baik ada di kanan. Kita memang tidak tahu jalan pikiran Tuhan, cukup mengimani dan mengikuti perintahnya. Kita tidak akan sanggup menjawab pertanyaan seputar kiri-kanan dalam bahasa agama karena dalam ranah ini, persoalannya tidak sesederhana itu.

Seseorang pernah berseloroh dengan penuh humor, yang barangkali akan bisa menjadi bahan hujatan sebagian kalangan tentang peristiwa yang akan terjadi di Hari Kiamat ketika orang-orang sedang berada di Peradilan Tuhan. Ada pemuda baik hati, saleh dan selalu beribadah, lantas ia menerima catatan perbuatannya dengan tangan kiri—suatu hal yang mafhum bahwa dalam doktrin kita mereka yang kelak menerima catatan amal dengan kiri, atau dari belakang merupakan manusia dengan perilaku buruk dan adalah calon penghuni neraka.

Kawan tadi lalu
melanjutkan ceritanya,  banyak yang
berasumsi tentang mengapa pemuda tadi buku amalnya diberikan lewat tangan kiri.
Bisik-bisik pun terjadi, barangkali ia beribadah karena ingin dipuji dan semua
amalnya dilakukan tidak murni karena ibadah. Lantas ditanyakanlah pemuda tadi
mengapa hal itu terjadi kepadanya, sedangkan ia tidak merasa gelisah dan
baik-baik saja. Pemuda itu menjawab, “Karena saya kidal.”

Pada akhirnya, kita memang tidak bisa begitu saja menghubung-hubungkan doktrin agama dengan semua perdebatan yang terjadi di sekitar kita.

Bahasa memang memiliki sifat arbitrer dan penggunaan yang manasuka

Dalam iklim sosial tertentu, perjalanan yang ditempuh oleh kata ‘kiri’ barangkali sangat terjal dan penu suka-duka, namun lebih banyak ia mengalirkan air mata. Di Indonesia, mereka yang merasa memiliki trauma politik, akan sangat jengah ketika berhadapan dengan ‘kiri’ dan tak jarang ada luapan-luapan emosi.

Bagi mereka, ‘kiri’ adalah momok yang perlu diwaspadai dan dijauhi. Di belahan bumi lainnya, ‘kiri’ juga menghadapi tatapan yang sinis dari mereka yang merasa nyaman dengan kemapanan dan hidup yang harmoni, tidak neko-neko dan hidup yang baik-baik saja.

Namun ‘kanan’ juga
memiliki nasib serupa saat bersinggungan dengan mereka yang merasa ‘progresif’
inovatif dan penuh perjuangan. Kita akan menemukan makna yang berbalik seratus
delapan puluh derajat dari bahasa agama yang kita enyam sehari-hari.

Memilih kata ‘kiri’ dalam kesemrawutan terminologi memang memiliki konsekwensi yang tidak sederhana. Apalagi saat kiri dan kanan dalam wacana politik, ekonomi, dan budaya, bahkan agama sudah saling tumpang tindih dan tidak lagi mengandung kategori yang jelas. Namun begitulah manusia, sebagai makhluk berbahasa, dan sebagai ‘pencipta’ bahasa itu sendiri seringkali menggunakananya sesuka hati, lantas mendefinisikannya sesuai keinginannya.

Sedemikian hingga lalu menjelma menjadi terma yang rancu, dan bahasa kehilangan fungsinya sebagai instrumen komunikasi yang disepakati bersama. Barangkali pameonya adalah, “manusia menciptakan istilah, lalu ia menghancurkan istilah itu sendiri.” Apa masalahnya, bukankah, dalam hal ini manusia adalah tuhan dan bahasa adalah ciptaannya?

‘Kiri’ dan ‘kanan’ adalah hasil imajinasi manusia, meski mereka pelajari dari peristiwa, namun ia tetaplah pakem yang fana. Ia adalah simbol yang suatu saat akan tergantikan oleh simbol yang lebih mutakhir dan sesuai dengan masa. Ia akan membentuk sejarah, namun juga akan ditelan oleh sejarah. Akan ada, dan pernah ada masa, saat menjadi kiri adalah ‘seksi’.

Jalur kiri adalah jalur perjuangan, jalur perlawanan, namun pada saat yang sama juga mengandung konotasi jalur yang penuh darah. Gie pernah menulis Catatan yang ditulis dengan judul ‘Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan’. Dan di Masa Orde baru, tentu hal-hal yang berbau kiri akan dihabisi.

Namun bagaimana jika seperti ini kesimpulannya:

Saya memilih kiri, karena tidak seperti luar negeri, di Indonesia, jalur yang baik untuk berjalan adalah di sebelah Kiri…

Kontributor

  • Muhammad Nurthariq

    Pecinta kajian pemikiran, akrab dengan sastra, film, dan musik. Saat ini aktif memajukan literasi salah satu pesantren tua di Jawa Timur.