Dalam kitab al-Akhlāq al-Matbūliyah al-Mufāḍah min al-Ḥaḍrat al-Muḥammadiyyah
disebutkan, bahwa para kekasih
Allah swt (awliyā’) akan gembira dengan bala yang menimpa pada diri
mereka. Sifat demikian ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah swt. dalam
QS. Yunus : 62:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Alasan kegembiraan atas bala yang menimpa pada diri
mereka adalah bahwa bala tersebut dimaknai sebagai media tercepat atas bukti
kecintaan Allah swt pada mereka. Sebagaimana dalam hadis al-Bayhaqi, Ibn Abi
Dunya dan Abu Nu’aim disebutkan: “idhā aḥabba Allāh ‘abdan ibtalāhu, fa in ṣabara ijtabāhu, wa in raḍiya iṣṭafāhu” (saat Allah swt mencintai
seorang hamba, maka DIA akan mengujinya, maka jika ia bersabar maka DIA akan
menjadikannya orang mulia, dan jika ia rela (ridha) maka DIA akan menjadikannya
orang yang terpilih).
Dalam hadis lain, al-Tirmidzi menyebutkan: “inna
‘iẓama al-jazā’ ma‘a ‘iẓami al-balā’, wa inna Allāh idha aḥabba qawman ibtalāhum, fa man raḍiya fa lahu al-riḍā, wa man sakhiṭa fa lahu al-sakhṭ” (sesungguhnya besarnya balasan
itu disertai dengan besarnya bala, dan sesungguhnya Allah jika mencintai suatu
kaum, maka DIA akan mengujinya, maka barangsiapa rela (ridha dengan ujian
tersebut), maka dia mendapat ridha (Allah swt), namun barangsiapa yang benci,
maka ia juga mendapatkan kebencian).
Para awliyā’ justru akan bersedih jika bala
menimpa secara umum pada yang lain. Kesedihanini sebab kuatir bahwa
orang umum (‘awām) tersebut dengki dan tidak ridha
pada takdir buruk yang menimpa sehingga mendapat kedengkian dari Allah swt. Ini
merupakan salah satu bentuk perhatian para awliyā’ pada yang lain
disamping curahan doa-doa mereka pada yang lain dalam setiap munajatnya.
Dalam kitab Quṭb al-Mashriq wa al-Maghrib
Sayyidī Abū al-Ḥasan al-Shādhilī, beliau (sayyid Abul Hasan
al-Syadzili) mengatakan: “tiada seorangpun yang mendapat wilāyah (kewalian) kecuali ia telah mengalami penderitaan dan ujian”. Dalam
catatan Imam Sya’rani di kitab al-Akhlāq
al-Matbūliyah, antarapusar
dan lutut tubuhsayyid Abul Hasan al-Syadzili dalam hidupnya telah menerima 17 macam
sakit, di antaranya adalah hernia, kencing batu, fistula, ambeien, lambung dan
lain sebagainya. Jika beliau mengobati sakit itu, maka akan ada penyakit lain
yang tumbuh dengan sakit yang lebih.
Keadaan demikian itu membuat beliau berkata:
“alhamdulillah atas keadaan ini, dengan begini maka tidak akan lupa padaNya,
ini bukti bahwa betapa lemah dan butuhnya seorang hamba pada Tuhannya.
Seandainya bukan karena penyakit, kita semua akan sama seperti hewan yang
dungu”. Hal ini sebagaimana riwayat al-Rawyānī dan al-Munāwī, bahwa Nabi saw pada suatu
hari bertanya pada para Sahabat: “ayyukum yuḥibbu ‘an lā yamraḍ ” (adakah di antara kalian yang tidak ingin sakit?). para Sahabat
menjawab: “yā Rasūl Allāh, kullunā nuḥibbu dhālik” (wahai Rasul, kita semua menginginkan hal itu). Nabi saw. pun
bersabda: “atuḥibbūna an takūnū kalḥimar?” (inginkah kalian seperti
seekor keledai?).
Keharusan bala yang menimpa seorang awliyā’ pun
dikatakan oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani: tiada seorangpun yang berhak
mendapat al-wilāyah al-muḥammadiyyah (kewalian umat Nabi Muhammad
saw.) kecuali ia telah diuji oleh Allah swt. pada tubuhnya dan juga sulitnya
penghidupannya. Lalu jika ia ridha dengan keadaan itu maka ia akan mendapatkan
kecintaan Allah swt. semakin ia menambah keridhaannya atas keadaannya itu maka
ia berhak atas wilāyah, namunjika keridhaannya
tidak bertambah sebab keadaan itu maka hilanglah wilāyah untuknya.
Imam Sya’rani menyimpulkan, bahwa wajib bagi para
kekasih Allah swt untuk sabar dan ridha atas segala cobaan penyakit di
tubuhnya, kekurangan harta atau kehilangan anak dan saudara. Maka barangsiapa
dapat melakukannya, maka ia akan diangkat derajatnya di golongan maḥbūbīn
(orang-orang yang tercinta). Tentu berharapnya seorang hamba agar lepas dari
bala penyakit dan lainnya itu dibolehkan jika dilihat dari posisinya sebagai
pecinta (muḥib), dan merasa gembira dan ridha akan bala yang menimpa
juga dianjurkan jika dilihat dari posisinya sebagai yang tercinta (maḥbūb).
Sebagaimana merinti merasakan sakit itu adalah kewajaran, namun jika dibarengi
kerelaan atas keadaan sakit tersebut akan membuat hamba tersebut berada dalam
tingkatan yang sempurna. Wa Allāh A‘lam.