Waktu menunjukkan pukul 14.00 siang, pada hari Sabtu tanggal 6 Oktober 1973 atau 10 Ramadan 1393 H. Sebuah serangan mendadak sukses dilancarkan oleh pasukan militer Mesir kepada pasukan militer Israel yang saat itu menguasai semenanjung Sinai sejak Mesir kalah pada Perang Enam Hari di tahun 1967.
Serangan tersebut bernama sandi Operasi Badr (Amaliyat Badr) sebagaimana nama Perang Badr di masa Rasulullah yang juga terjadi di bulan Ramadan. Target utama operasi ini adalah penyeberangan atau al ‘abur ke tepi timur Terusan Suez agar bisa diduduki oleh pasukan Mesir. Kekalahan sebelumnya di tahun 1967 mengakibatkan wilayah Mesir di barat dengan wilayah Israel di timur hanya dipisahkan oleh Terusan Suez.
Operasi Badr
menjadi kejutan bagi kepercayaan diri serta superioritas militer Israel saat
itu. Operasi ini juga meruntuhkan keyakinan Israel bahwa Garis Bar Lev yang
berupa gugusan benteng pasir di sepanjang sisi timur Terusan Suez tidak bisa
ditembus.
Akhirnya operasi
yang dilancarkan saat umat Yahudi merayakan Yom Kippur (hari penebusan) ini berujung kegemilangan di
tangan Mesir. Serangan ini menjadi pembangkit moral rakyat Mesir yang merasa terpukul
atas terebutnya Semenanjung Sinai dan kemudian menandai pecahnya Perang Oktober
atau Perang Yom Kippur.
Meski pada
akhirnya Israel yang memiliki persenjataan kuat serta dukungan Amerika Serikat
berhasil melakukan perlawanan, Operasi Badr memiliki efek kejut tersendiri. Israel
dan Amerika kemudian terlibat dalam serangkaian negosiasi dengan Mesir yang
disusul Perjanjian Camp David di tahun 1978. Di tahun yang sama, Anwar Sadat yang
menjadi presiden Mesir sejak 1970 pun mendapat hadiah Nobel Perdamaian.
Di tahun 1979
Perjanjian Damai Mesir-Israel disepakati dan Semenanjung Sinai pun resmi kembali
ke pangkuan Mesir di tahun 1982. Namun perdamaian ini tidak memuaskan semua
pihak, sampai akhirnya Anwar Sadat tewas ditembak oleh salah satu anggota
militer Mesir pada 1981.
Mimpi Orang
Suci
Di tahun yang
sama dengan pecahnya Perang Oktober, Syaikh Abdul Halim Mahmud mulai menjabat
sebagai pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir atau dikenal sebagai Syaikh Al Azhar.
Sebuah kisah menunjukkan sebelum pecah Pertempuran 10 Ramadan, Syaikh Abdul
Halim Mahmud telah bermimpi tentang peristiwa tersebut. Kisah ini termuat dalam
buku Harb Uktubar wa Al Ma’rakah Al Qadimah karya Ahmad Samir Abdul
hamid.
Dalam buku
tersebut diceritakan bahwa tak lama sebelum Perang Oktober, Syaikh Abdul Halim
Mahmud bermimpi melihat Rasulullah SAW beserta para ulama serta pasukan Mesir
menyeberangi terusan Suez pada siang hari tanggal 10 bulan Ramadan. Singkat
cerita, Syaikh Abdul Halim Mahmud mengabarkan mimpi ini kepada presiden Anwar Sadat
sebagai pertanda akan kemenangan.
Presiden Anwar
Sadat merasa terkejut dengan isyarat mimpi di atas karena memang benar bahwa
Mesir memiliki rencana melakukan serangan menyeberangi Terusan Suez dalam waktu
dekat, namun waktunya belum ditentukan. 10 Ramadan memang menjadi salah satu
opsi yang diajukan di antara pilihan-pilihan waktu serangan yang lain. Namun
demikian, rencana seraangan beserta opsi-opsinya itu bersifat rahasia dan hanya
diketahui oleh sang presiden segelintir petinggi militer negara.
Pada akhirnya
serangan benar-benar dilancarkan di siang hari tanggal 10 Ramadan atau 6
Oktober. Pertimbangan teknis dipilihnya hari itu adalah cukupnya cahaya bulan
di malam hari sebagai penerangan serta cukupnya ketinggian permukaan terusan
Suez untuk penyeberangan pasukan. Kebetulan pula, hari itu adalah saat di mana
kaum Yahudi sedang merayakan Yom Kippur.
Tantangan
terbesar dari penyeberangan melintasi Terusan Suez adalah gugusan benteng pasir
sepanjang Garis Bar Lev. Perbentengan ini dibangun Israel untuk mengatasi
serangan-serangan Mesir pada Perang Atrisi, sebuah perang yang terjadi
sepanjang tahun 1967 sampai 1970. Nama garis ini sendiri diambil nama Haim
Bar-Lev, perwira militer Israel di balik pembangunan gugusan benteng pasir itu.
Pihak Israel sangat
yakin akan kekuatan Garis Bar Lev ini dalam menghadapi segala serangan Mesir.
Garis ini merentang tak kurang dari 150 kilometer panjangnya, berketinggian
sampai 25 meter dan berkemiringan hingga 65 derajat. Karena dibangun dari
pasir, ledakan besar pun tidak akan mudah merontokkan perbentengan ini.
Ide menaklukkan
perbentengan pasir ini kemudian muncul dari seorang perwira militer bagian
teknik bernama Baqi Zaki Youssef yang saat itu berpangkat Muqaddam atau
Letnan Kolonel. Perwira yang seorang Kristen Koptik ini memiliki gagasan untuk
meruntuhkan Garis Bar Lev dengan menggunakan air.
Sebagaimana
diceritakan oleh Jamal Salahuddin dalam buku Harb Uktubar: Al Qissah al
Kamilah lis Shara’, Baqi Zaki Youssef memiliki pengalaman terlibat dalam
pembangunan Bendungan Aswan di bagian selatan Mesir antara tahun 1964 sampai
1967. Saat itu ia menyaksikan bagaimana dalam proyek pembangunan itu, air yang
disalurkan melalui pipa-pipa dapat dengan mudah merontokkan perbukitan basir.
Ide penggunaan
senjata air ini muncul saat sebelum Anwar Sadat diangkat menjadi presiden di
tahun 1970. Dan pada akhirnya, ide ini sampai ke presiden waktu itu, Gamal
Abdul Nasir, dan mendapat persetujuan. Tak
kurang dari tiga ratus kali latihan serangan air ini dilaksanakan antara tahun
1969 hingga 1972. Persiapan ini didukung dengan pembelian ratusan pompa air bertekanan
tinggi buatan Inggris dan Jerman.
Tidak hanya ide
serangan air ke perbentengan pasir saja yang menjadi faktor pendukung
kesuksesan Operasi Badr. Semenjak kekalahan di tahun 1967, Mesir juga menyadari
kelemahan serta melakukan banyak pembenahan diri. Persenjataan yang sempat
terkuras hancur saat perang tahun 1967 kemudian dilengkapi kembali, organisasi
internal kemiliteran juga dirapikan kembali demi efektivitas jalur komando.
Runtuhnya
Superioritas Israel
Jalannya pertempuran
10 Ramadan dalam Operasi Badr ditulis oleh Mohamed Zain dalam artikel 1973
Arab-Israeli War; Code name: Operation Badr yang dimuat di laman egypttoday.com.
Diceritakan bahwa sesungguhnya rencana Operasi Badr telah ditetapkan pada awal
tahun 1971, namun para prajurit baru tahu rencana ini hanya beberapa jam
sebelum dilancarkannya operasi.
Mesir berusaha mengaburkan
rencana ini dengan menyebarkan informasi bahwa negara ini sedang mengalami problem
perawatan dan pengoperasian senjata. Bulan Mei dan Agustus tahun 1973, angkatan
darat mengadakan latihan di dekat perbatasan justru untuk menunjukkan bahwa
Mesir tidak sedang dalam persiapan perang.
Tanggal 4
Oktober 1973, sejumlah 20.000 prajurit Mesir dibebastugaskan dan sebagian darinya
diberi kesempatan melaksanakan ibadah umrah. Sejumlah prajurit juga mendapat instruksi
untuk melanjutkan pendidikan militer yang dijadwalkan akan mulai pada tanggal 9
Oktober.
Semua hal di
atas dilakukan bukan tanpa kesengajaan Mesir, namun dirancang demi kaburnya
informasi rencana serangan di mata Israel. Bahkan pada pagi hari Operasi Badr,
sejumlah pasukan khusus Mesir mendapat misi khusus di perbatasan. Misinya
hanyalah bersantai tanpa senjata sambil berenang maupun memancing di Terusan
Suez.
Operasi Badr
juga melibatkan Suriah yang berusaha merebut Dataran Tinggi Golan yang jatuh ke
tangan Israel di tahun 1967. Suriah pun mencoba mengaburkan informasi dengan
membuat siaran radio di tanggal 4 Oktober yang isinya pengumuman bahwa presiden
Hafez Al Assad akan menjalani safari dinas ke daerah pada tanggal 10 Oktober.
Semua ini dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan Israel akan adanya rencana
serangan.
Serangan dari
Mesir dimulai dengan serangan udara ke pangkalan-pangkalan udara Israel di Semenanjung
Sinai. Pasukan artileri dari sisi barat Terusan Suez juga menghujani wilayah
pertahanan Israel sepanjang Garis Bar Lev. Angkatan laut Mesir juga melakukan blokade
di Laut Merah.
Pasukan
infanteri kemudian menyeberang Terusan Suez dan melubangi perbentengan pasir
menggunakan meriam air. Jembatan-jembatan apung kemudian dibuka untuk dilalui
kendaraan menuju seberang yang masuk ke daratan Sinai melalui lubang-lubang
banteng yang telah runtuh oleh meriam air.
Sebenarnya
Garis Bar Lev memiliki sistem pertahanan berupa saluran pipa-pipa yang siap
mengalirkan minyak ke Terusan Suez. Dengan tumpahan minyak ini, Israel siap
menyalakan api yang akan menghambat serangan pasukan Mesir. Namun pertahanan
ini tidak berfungsi karena malam hari sebelum Operasi Badr, pasukan katak Mesir
telah menyumbat pipa-pipa tersebut.
Pukul 14.35
waktu setempat, bendera Mesir mulai berkibar di tepi timur Terusan Suez. Dalam
waktu kurang dari dua jam sejak dimulainya serangan, Garis Bar Lev pun dapat
dijinakkan oleh pasukan Mesir. Sang panglima perang berpangkat Fariq (Letnan
Jenderal), Sa’duddin As Sadzili, berhasil menuntaskan misi hari pertamanya. Kemudian
pada tanggal 8 Oktober 1973, Operasi Badr telah mencapai target, yaitu menembus
pertahanan Israel sejauh 15 kilometer arah timur Terusan Suez.
Setelah Operasi
Badr, perang berlanjut sebagai Perang Oktober atau Perang Yom Kippur. Dalam
perang ini, di pihak Mesir terjadi sekian perbedaan pendapat antara Presiden
Anwar Sadat dan Panglima Sa’duddin As Sadzili mengenai strategi perang. Pada
akhirnya, perang ini secara keseluruhan tidak benar-benar dimenangkan oleh
Mesir beserta negara-negara Arab sekutu perangnya.
Namun demikian,
Operasi Badr yang dimulai pada tanggal 10 Ramadan 1393 H atau 6 Oktober 1973 M
selalu dikenang sebagai momen penting bagi rakyat Mesir. Momen ini menunjukkan
bahwa Mesir yang telah kalah bisa menegakkan muka kembali, sementara Israel
dengan segala superioritasnya ternyata dapat dikalahkan.