Dengan besarnya populasi penduduk Indonesia yang beragama Islam dan tidak adanya regulasi Pemerintah yang mengikat dalam menyatukan lembaga-lembaga amil zakat, maka banyak kita temukan berbagai macam nama pengelola zakat dan sadaqah bertebaran di seluruh wilayah negara Indonesia.
Baik milik pemerintah atau swasta dan yang berlegalitas hukum ataupun tidak, semua berlomba mengumpulkan dana zakat dan sadaqah dari masyarakat dengan menawarkan dan mempublikasi program dan hasil kerjanya untuk menarik simpati, empati dan kesadaran masyarakat agar berkenan menyalurkan dana zakat dan sadaqahnya pada lembaga yang dikelolanya.
Di masa pandemi covid-19 dengan aturan social distancing dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa wilayah, banyak ditemui beberapa keluarga tidak dapat mendapatkan pendapatan maksimal seperti biasanya dan bahkan ada yang sama sekali tidak mampu mendapat pemasukan akibat pandemi ini.
Maka perlu kiranya di bulan Ramadan ini penulis memaparkan bagaimana manajemen pengelolaan zakat Umar bin Abdul Aziz sebagai bahan renungan kita dalam mengeluarkan zakat dan mendistribusikannya.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa beliau ditunjuk menjadi Khalifah Bani Umayyah menggantikan sepupunya (Sulaiman bin Abdul Malik) di usia 35 dan berkuasa selama 29 bulan yaitu antara tahun 717-720 H.
Dengan luas wilayah kekuasaan +15 juta km yang menjangkau tiga benua (Eropa timur, Afrika tepi barat dan Asia tengah dan Timur Tengah) serta jumlah populasi penduduk saat itu + 62 juta jiwa, beliau telah berhasil membuat rakyatnya makmur, mapan dan sulit menemukan mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin di akhir kekuasaannya, padahal waktu beliau memimpin terbilang singkat dan tidak sampai lima tahun seperti regulasi masa pimpinan Negara atau Daerah di masa sekarang.
Abdul Muta‘ali al-Sa‘idi dalam kitab al-Siyāsah al-Islāmiyah fī ‘Ahd al-Khulafā’ al-Rashidīn cetakan Dār al-Thaqāfah 1962 halaman 345 dan 444 menceritakan bahwa Yahya bin Sa‘id berkata; “kami keliling untuk menebar sedekah di zaman Umar bin Abdul Aziz, tapi tidak seorangpun yang mau menerima sedakah kami. Umar telah membuat mereka berkecukupan semua”.
Seorang dari anaknya Zaid bin al-Khattab juga bercerita; “ada seorang yang akan meninggal dunia mendatangi kami dengan membawa harta yang banyak dan berkata; “bagikan ini pada orang yang kalian anggap fakir” maka seseorang berkeliling mencari orang yang layak diberi sedekah itu namun ia tidak menemukannya, akhirnya ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya tadi, hal ini sebab Allah swt. telah mencukupi semua kebutuhan orang-orang melalui Umar bin Abdul Aziz.”
Dalam penelitian tesis Mina Fathullah di Univ. Al-Shahid Hamma Lakhdar 2015 dengan judul al-Aliyāt al-‘Amaliyah li al-Khalīfah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Azīz fī Muḥārabah al-Faqr Athnā’ Khilāfatihi halaman 27-31 disebutkan bahwa keadaan ekonomi negara sebelum Umar menjadi Khalifah terbilang tidak stabil sebab yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Hal ini pernah disampaikan oleh Umar sendiri saat ditanya oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tentang bagaimana pendapat Umar melihat keadaan rakyat Bani Umayyah. Mewarisi pemerintahan yang terbilang gagal dan menjadikannya negara makmur dalam waktu 2-3 tahun menjadikan sosok umar banyak dikaji tentang bagaimana beliau mengelola pemerintahan terutama keberhasilannya dalam mengelola keuangan Negara.
Pendapatan Negara dalam pemerintahan Umar dihasilkan dari zakat, jizyah, kharāj, ‘ushūr, khumus al-ghanā’im dan fay’. Salah satu yang menjadi titik penting dalam pengelolaan uang negara di era Umar adalah manajemen pengelolaan zakat yang ia terapkan. Sebagaimana disampaikan bahwa luas kekuasaan wilayah negara yang ia pimpin mencakup 3 benua.
Zakat adalah pendapatan utama dan terbanyak menjadi fokus yang sangat diperhatikan olehnya. Ketika Umar berkuasa, beliau memerintahkan para gubernur untuk mengumpulkan zakat dan memerintahkannya pula untuk membagikannya pada fakir miskin di mana zakat itu dipungut, hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Jawzī dalam kitab Sīrah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Azīz halaman 6 juga kitab Fiqh ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz Juz 1 halaman 347.
Dalam kitab Muṣannif Abī Shaybah Juz 3 halamana 168 disebutkan bahwa dalam soal pendistribusian harta zakat Umar bersikeras untuk mendistribusikan zakat secara lokal. Memindahkan harta zakat yang dikeluarkan oleh penduduk setempat untuk didistribusikan ke wilayah lain baginya tidaklah baik.
Diriwayatkan bahwa Umar pernah dikirimi harta zakat dari wilayah Iraq untuk didistribusikan ke wilayah Syam, maka ia mengembalikan harta zakat tersebut kembali ke Iraq. Imam Nawawi juga meriwayatkan dalam Al-Majmū‘ Juz 6 halaman 221 bahwa Umar bin Abdul Aziz melarang untuk memindahkan harta zakat penduduk setempat untuk didistribusikan ke wilayah lain.
Pendapat Umar yang demikian ini berdasarkan
hadis Nabi saw.:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ
جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ ….” فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ
قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى
فُقَرَائِهِمْ…) متفق عليه)
Dari Ibn Abbas ra, Nabi saw. berkata pada Muadz bin Jabal saat ia diutus oleh Nabi saw ke Yaman… “Kabarkan pada mereka (penduduk Yaman) sesungguhnya Allah swt. telah mewajibkan mereka zakat yang diambil dari para orang kaya/mampunya mereka (penduduk Yaman) untuk disalurkan pada orang-orang miskin mereka (penduduk Yaman)…” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Pelarangan Umar akan memindahkan harta zakat untuk didistribusikan ke wilayah lain ini berlaku jika para fakir miskin di daerah tersebut belum mendapatkan haknya, dengan kata lain bahwa ia membolehkan memindahkan harta zakat yang dikeluarkan penduduk setempat untuk didistribusikan ke wilayah lain jika para fakir miskin di daerah itu sudah dipastikan telah mendapatkan hak pada harta zakat itu.
Jika pemerintah belum dapat memastikan bahwa yang fakir miskin mendapatkan haknya, maka Umar sangat lantang menolak distibusi harta zakat ke wilayah lain. Umar memperkenankan pendistribusian ke wilayah lain ini agar dapat mencakup delapan golongan lain yang berhak mendapatkan distribusi zakat yang berdasar pada surat al-Tawbah ayat 60. Pendapat Umar bin Abdul Aziz yang demikian ini diriwayatkan oleh Imam Nawawi dan Ibn Abi Syaibah.
Maka dari pemaparan di atas seyogianya di era pandemi ini pengeluaran zakat cukup kita sampaikan pada lembaga zakat lokal, semisal takmir masjid atau musholla setempat agar didistribusikan secara lokal. Sebab secara sosial para takmir sudah barang tentu mengetahui siapa saja warga yang sangat terdampak akibat pandemi ini.
Utamanya bagi yang ada di zona diberlakukannya PSBB sangat tidak etis mentransferkan nominal zakat sadaqahnya ke lembaga zakat tertentu yang belum mesti dana zakat sadaqah tersebut disalurkan ke wilayah yang bersangkutan.
Fikih zakat Umar ini sangat relevan untuk dipraktikkan di masa pandemi untuk menolong para tetangga kita yang terdampak akibat pandemi covid 19, sebab kita tentu lebih nyaman menolong tetangga kita yang membutuhkan dari pada menyampaikan pertolongan pada orang yang belum kita kenal jauh di sana. Wallāhu a’lam.