Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ziarah Kubur, Bagian Penting dari Kebudayaan Universal

Avatar photo
38
×

Ziarah Kubur, Bagian Penting dari Kebudayaan Universal

Share this article

Ziarah itu sendiri merupakan perjalanan panjang umat manusia dalam meraba kasih sayang Tuhan yang tak terbatas.

Kemajuan zaman yang begitu pesat, teknologi kian canggih, dan berbagai kemudahan yang kita peroleh hari ini, membawa kita kepada lubang hitam dan berbagai pertanyaan baru yang perlu dicari jawabannya.

Pola pikir kita
yang semakin terbatas pada hal-hal bersifat materi, secara tak langsung,
membunuh perlahan kepekaan kita untuk meraba sekitar. Imajinasi kita pun
kian  tumpul, karena kita lebih meyakini
akal sebagai kebenaran mutlak. Intuisi dihiraukan karena kita lebih terpesona
pada mesin, informasi dan alat modernisasi lainnya.

Selain itu muncul
sebuah gejala yaitu upaya membenci kebijaksanaan, atau yang masyhur di kalangan
para filsuf dengan istilah misoshopia. Kita secara tidak sadar, mulai
menganggap bahwa nilai-nilai mulai tidak berarti. Tepo seliro mulai
luntur.

Perbedaan
pandangan politik, etika dan nilai keagamaan, dianggap sebagai musuh. Kita juga
lebih mudah tersinggung, reaktif, dan gampang emosi. Para pakar menyebut
fenomena ini sebagai the end of social entimacy atau akhir dari hubungan
sosial. Benarkah kita sedang menghadapi kengerian di atas?

Ziarah dalam Lintasan Sejarah

Dalam tradisi
keislaman, kita mengenal istilah ziarah sebagai salah satu tradisi rohaniah
purba yang bertahan hingga hari ini. Ziarah, dalam bahasa Arab berakar pada
kata zaara, yang memiliki empat makna: pertama, bertamu ke rumah
seseorang untuk bertemu dan maksud tertentu.

Kedua, mengikatkan
dua kayu pada gigi kuda untuk mengobatinya. Ketiga, berkunjung ke tempat-tempat
suci, seperti Makkah, Madinah dan Baitul Maqdis. Keempat, berkunjung ke makam
para kekasih Allah dengan tujuan mencari berkah.

Secara historis,
ziarah kubur ini telah wujud dan menjadi tradisi di kalangan agama samawi,
seperti Yahudi dan Nasrani, memiliki kepercayaan yang kuat terhadap
tempat-tempat yang suci, hingga timbullah doktrin untuk menziarahi tempat suci
tersebut sebagai bentuk ketaatan dan ritus ibadah.

Claude Guillot dan
H. Cambert Loir, keduanya adalah antropolog dan sejarawan barat yang banyak
meneliti tentang keindonesiaan, dalam bukunya berjudul Ziarah dan Wali dalam
Dunia Islam
mengemukakan beberapa fenomena yang dapat membuka tabir yang
selama ini tertutup bahwa ziarah kubur adalah bagian dari kebudayaan yang
universal.

Tanda Religiusitas

Seperti disinggung
di atas bahwa ziarah merupakan satu ritus keagamaan yang dapat menghantarkan
para peziarah pada kesadaran baru bahwa dunia adalah fana. Nuansa rohani dan spiritual
ini yang dapat mendekatkan diri mereka kepada tuhan dan mencapai ketaatan yang
paripurna.

Umat Yahudi pun
merasakan hal demikian ketika mereka pergi ke tembok ratapan yang menghadap ke
temple Mount (al-Haram al-Sharif), tepatnya Dome of
the Rock. Begitu juga umat Nasrani, mereka juga menganggap bahwa Yerusalem
adalah kota suci. Dari ikatan tradisi inilah ketiga agama menjadikan Yerusalem
sebagai kota suci agama abrahamik.

Dalam
perjalanannya, keyakinan nasrani mengalami pergantian konsep “Yerussalem Dunia”
menjadi “Yerussalem Ilahi” yang mana menghilangkan dasar adanya tempat suci,
serta membiarkan umatnya tanpa tanda-tanda identifikasi historis dan geografis.

Segera
mungkin mereka menemukan konsep baru tentang manusia suci dan mulai melakukan
ekpedisi arkeologis ke tempat-tempat yang pernah disinggahi Nabi Isa, para
martir -mereka yang menembus batas dunia dan surga-sebagai bentuk manifestasi
kehadiran ilahi. Hingga menjadikan atsar dan kuburan para santo menjadi tempat
ziarah hingga kini. (hal 16)

Ada
novel apik yang ditulis oleh Paulo Coelho berjudul Ziarah. Menceritakan
perjalanan spiritual Paulo (tokoh utama) ditemani seorang pemandu bernama
Petrus untuk mendapatkan pedang Sang Magi. Mereka memilih  rute Jalan Menuju Santiago dengan berjalan
kaki. Santiago merupakan salah satu rute ziarah umat Kristiani yang diyakini
sebagai makam salah satu murid Yesus yang bernama Saint James.

Dalam
perjalanan inilah terdapat berbagai peristiwa yang dapat menghantarkan kita
pada perenungan kebijaksaan, tentang kegigihan Paulo mencapai apa yang dituju,
tentang persahabatan yang dijalin dengan Pedro, dan berbagai hikmah yang
bertebaran di dalamnya, walau banyak sekali unsur kekristenan dan berbagai
tradisi dari Ordo RAM yang tidak kita pahami di dalamnya.  Membacanya seperti membaca memoar para ulama
yang melakukan ibadah haji dan menemukan pergolakan spiritual yang mendalam.

Tempat Kebebasan

Masih membekas
dalam ingatan, saat pertama kali ibu dan ayah mengajak saya nyekar di
kuburan mbah ibu. Saat itu saya tidak begitu paham, bagaimana ibu saya dengan
penuh khidmat menunduk dan berbicara lirih dengan batu nisan yang sudah lusuh,
setelah ayah usai merampungkan doa.

Lalu ibu menabur
air berisi kembang tujuh warna di atas gundukan makam ibunya, setelah
sebelumnya ia bersihkan dan cabuti rumput kering sambil merapal doa.

Hal itu pun saya
lakukan ketika sebelum berangkat ke Maroko, saya sempat nyekar di makam
kakak perempuan, di situlah saya mencoba bercerita banyak hal, sekaligus
memohon izin pamit untuk belajar. Ada semacam koneksi yang menghubung antara
yang hidup dan yang mati. Dua alam yang dipisah oleh tabir tipis bernama maut.

Islam merupakan
agama yang mewajibkan setiap pemeluknya untuk mengimani hal-hal yang gaib. Dari
doktrin inilah muncul keyakinan bahwa para kekasih Allah, para nabi, wali,
ulama dan orang-orang saleh sebenarnya tidak mati.

Jiwa mereka tetap
hidup. Hal inilah yang menjadi keyakinan dan dasar dari tradisi ziarah kubur
itu, bahwa masyarakat dan umat meyakini bahwa jiwa para wali masih hidup.
Mereka ingin mendapat keberkahan, lewat perantara para wali ini. Akhirnya
muncullah makam-makam yang dikeramatkan.

Ada semacam
kebebasan dalam melakukan ziarah kubur itu. Para peziarah bebas mengeluhkan
permasalahan hidup, sambat ini-itu, dan mengharap lewat perantara sang wali
doa-doa mereka dikabulkan.

Bukan untuk
meminta pada pemilik kuburan, ini yang banyak dituduhkan oleh kaum atsari atau
wahabi dan salafi hingga hari ini, sehingga dengan sembrono mereka menuduh
orang yang melakukan ziarah kubur sebagai sesat dan bid’ah.

Berbagai motif dan
tujuan dari para peziarah ini menarik untuk diteliti lebih lanjut. Bagaimana
orang bisa berkeluh kesah di hadapan makam wali dari pada di masjid-masjid yang
secara bangunan dan kenyamanan lebih unggul.

Para peziarah juga
bisa istirahat, makan, tidur, bercengkrama dengan para peziarah lain yang
datang dari negeri yang jauh, melakukan pembacaan dzikir keras-keras tanpa
terganggu. Juga bagaimana kegiatan roda ekonomi masyarakat yang berputar  menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat
sekitar.

Karena sifatnya yang bebas secara dogmatis dan sosial, tentu tak lepas dari kekhawatiran para pemangku kekuasaan politik dan keagamaan. Banyak kaum agamawan yang tidak menginginkan tokoh yang bukan dari golongannya dikeramatkan, dan melancarkan serangan dengan dalil agama kepada pecinta ziarah.

Juga kecurigaan penguasa yang tidak dapat mengontrol segala hal yang terjadi di dalam makam, pertemuan-pertemuan keagamaan, yang ditakutkan mengandung unsur politis dan makar.

Di Maroko hal ini pun terjadi, banyak dari zawiyah-zawiyah yang mangkrak dan tak terurus di kota tua Fes, seperti zawiyah Ibnu Hamdoun, Kattaniyah, Darqowiyyah, Fasiyyah yang terlihat mangkrak dan hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu.

Menurut beberapa keterangan, ada semacam tekanan dari pihak Kerajaan Maroko yang tidak menginginkan adanya pengaruh dan hegemoni di kalangan akar rumput yang melebihi otoritas kerajaan.

Hal ini berbanding
terbalik dengan beberapa zawiyah yang berada di bawah naungan kerajaan, seperti
makam para raja-raja pendiri Maroko dan tarekat yang berafiliasi dan diafirmasi
oleh kerajaan. Perkara ini pun menjadi hal tabu untuk dibicarakan.

Habib Umar dan Ziarah

Pada kisaran bulan
April tahun 2019, Habib Umar bin Hafidz melakukan lawatan ke Maroko. Momen itu
merupakan momen paling membahagiakan karena bisa hadir dalam majlis beliau.
Bertemu dan bertatap muka secara langsung pun sungguh membuat hati ini damai.

Mungkin inilah
yang dimaksud dengan definisi ulama, yakni mereka yang melihat manusia lain
dengan pandangan kasih sayang, sehingga kita pun merasa dikasihi dan
dimanusiakan, khas seperti kyai-kyai pondok di Indonesia.

Setelah khataman
kitab beliau yang berjudul Sa’adatul Ma’ad wal Mahya yang merupakan
syarah dari kasidah In Syi’ta an Tahya karangan Imam Abdullah bin Alawi
Al Haddad, kami mengikuti rangkaian ziarah ke makam-makam para auliya di kota
Fes yang dipimpin langung oleh Syeikh Idris Al-Fasi Al-Fihri, mantan rektor
Universitas Al-Qarawiyyin.

Rombongan yang
berisi para murid dan muhibbin Habib Umar yang datang dari berbagai negeri,
mengikuti dari belakang dengan khidmat. Mulai dari Masjid Al-Qarawiyyin, lantas
masuk salah satu ruang yang digunakan oleh Imam Jazuli untuk menulis kitab
Dalail Al-Khoirot, makam Maolay Idris dan Zawiyah Tijaniyyah.

Setelah itu menuju Bab Futouh, komplek perkuburan yang berisi makam wali-wali Allah dan para ulama, atau bisa dibilang Zanbalnya Maroko. Tepat di depan  makam Syeikh Abdul Aziz Ad-Dabbagh, para rombongan berhenti.

Habib Umar dan para masyayikh masuk ke dalam petilasan yang hanya dibuka untuk orang-orang tertentu. Beliau memimpin doa yang cukup panjang disertai berbagai tawassul. Kami semua tenggelam hanyut dalam nuansa spritual yang tak bisa diungkapkan.

Budaya Universal

Para ulama, baik
dari Barat Islam maupun Timur Islam, menjadikan Makkah sebagai pusat dari arus
peradaban keislaman, setelah melakukan ibadah haji dan umroh, mereka juga
menziarahi perkuburan para ahlul bait, sahabat, tabi’in yang berada di Ma’la
dan Baqi’.

Ibnu Jubair dalam
Rihlahnya meriwayatkan bagaimana kondisi area perkuburan Ma’la, banyak
makam-makam yang sudah tidak diketahui namanya. Ia juga menjelaskan tempat di mana
Hajjaj bin Yusuf menyiksa Abdullah bin Mas’ud.

Tak lupa juga
mengabarkan, bahwa para mukmin setelah melaksanakan ibadah di Masjidil Haram,
mereka berbondong-bondong menuju Ma’la guna menziarai Ummul Mu’minin Sayyidah
Khodijah Al-Kubro dan para sahabat serta ahlul bait lainnya.

Atau ketika Sultan
Salim Khon bin Sultan Bayazid dari dinasti Usmani menziarahi petilasan Syaikhul
Akbar Ibnu Arobi Al-Hatimi yang dipenuhi dengan sampah dan terletak di samping pemandian.

Tergeraklah
hatinya untuk merenovasi tempat peristirahatan tokoh yang dikaguminya lewat
karya yang masyhur di negerinya, dengan membangun kubah dan mimbar, serta
memerintahkan para imam dan qurra‘ untuk meramaikan masjid dengan
mengkhatamkan Al-Quran setiap harinya.

Tak usah
jauh-jauh, kita bisa melihat Gus Dur sebagai tokoh lintas agama, yang
kuburannya sampai detik ini diziarahi oleh berbagai kalangan, etnis dan agama,
seluruh batas dan penghalang itu lebur di hadapan keagungan kemanusiaan.

Dari rangkaian
pengalaman di atas saya sepakat bahwa ziarah kubur adalah salah satu tradisi
dan kebudayaan yang sifatnya universal. Apapun identitas, budaya, tradisi, akan
segala lebur tatkala kita sudah merasakan satu tujuan yang sama, sama-sama
mencari kesucian batin, sama-sama menuju tuhan.

Ziarah itu sendiri merupakan perjalanan panjang umat manusia dalam meraba kasih sayang Tuhan yang tak terbatas. Sekaligus menjawab berbagai pertanyaan dan keresahan manusia di dua paragraf awal.

Casablanca, 26 Februari 2020

Sebagian dari artikel ini pernah dimuat di portal keislaman alif.id.
Berikut linknya: https://alif.id/read/redaksi/227564-b227564p/

Kontributor

  • Muhammad Fahruddin Al Mustofa

    Sedang menempuh pendidikan di Universitas Hassan Tsani Casablanca, Maroko. Esais partikelir serabutan. Bisa disapa di Twitter @notaalit.