Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengelola Proporsionalitas Sikap dalam Kehidupan

Avatar photo
26
×

Mengelola Proporsionalitas Sikap dalam Kehidupan

Share this article

Di tengah pandemi Covid-19 yang menyelimuti dunia saat ini, banyak sekali warna-warni kehidupan yang kemudian nampak terang. Hal itu dapat kita saksikan dari bagaimana cara manusia menyikapi dan menghadapinya.

Tidak perlu jauh ke belahan bumi lainnya, di Indonesia saja kita dapat menyaksikan bagaimana sebuah virus mampu membangunkan kesadaran yang telah lama tertidur, tentang pentingnya kebersihan misalnya, atau tentang peran pemerintahan di semua tingkatan, kaum agamawan, hingga para ahli di tiap-tiap bidang.

Apalagi, di
era disrupsi teknologi yang begitu cepat seperti saat ini, banyak sekali informasi
yang seliweran tanpa sekat penghalang, masuk hingga ke penjuru negeri.
Sehingga, tanpa filter berita-berita itu menjelma seperti virus yang mampu
mengusik pikiran dan perasaan banyak orang. Rasa takut dan khawatir memenuhi
relung hati, sehingga berpotensi menyerang kesehatan ruhani dan nafsani.

Peristiwa penolakan
jenazah positif Corona untuk dimakamkan di suatu daerah, penyegelan gerbang
masuk desa, serta beberapa istilah yang mulai populis hingga ke pelosok desa,
seperti lockdown, social distancing,  ODP, PDP, dan beberapa istilah lainnya,
menunjukkan secara nyata akan pengaruh media.

Masyarakat
umum di pedesaan justru banyak yang menjadi korban pemberitaan media yang
begitu deras. Dalam kondisi seperti ini, siapapun berpotensi untuk tiba-tiba
menjadi ahli, hingga memiliki otoritas untuk mengadili.

Kemampuan
menahan diri untuk tidak berbicara di luar keahliannya seakan sirna begitu
saja. Semuanya menjadi campur-aduk antara data, fakta, realita dan apa yang
hanya berupa mitos atau dugaan belaka.

Di sisi yang
lain, proses edukasi dari pihak-pihak terkait seperti pemerintah dan para ahli
di bidang kedokteran masih sangat minim, sehingga pandemi ketakutan pun tak
segera teratasi hingga banyak peristiwa irasional terjadi.

Di lain pihak,
sebagian kaum agamawan hingga masyarakat awam yang merasa dekat dengan Tuhan
masih berdebat tentang fatwa pembatasan sholat berjamaah dan sholat Jum’at di
masjid.

Rentetan
peristiwa yang muncul di masyarakat kita ini sesungguhnya bisa menghadirkan hikmah
sekaligus ironi. Dari sisi keilmuan, muncul banyak sekali informasi tentang
karakteristik virus Corona hingga gejala yang ditimbulkan serta langkah
antisipatif dan cara penanganannya.

Dari disiplin
keilmuan Islam juga muncul banyak kajian, mulai dari ranah teologi hingga fikih
praktis dalam menyikapi pandemi ini. Hal ini menjadi positif karena kehidupan
tidak dapat dipisahkan dari peran ilmu pengetahuan, sehingga banyak kasus harus
disikapi dengan ilmu yang bersifat adaptif dan solutif terhadap segala situasi
dan kondisi.

Namun,
ironinya, banyak yang menggunakan ilmu agama untuk justru mengadili dan mencaci
maki, hingga memposisikan diri seperti wakil Tuhan di muka bumi.

Selain itu, pandemi
ini juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai ajaran agama yang
selama ini absen dari kehidupan masyarakat, diantaranya tentang pentingnya
kebersihan, baik secara fisik maupun hati.

Banyak orang
kemudian tiba-tiba berusaha menjaga kebersihan lahiriah dengan rajin cuci
tangan, berwudlu secara sempurna, mandi secara lebih tertib, hingga
bersih-bersih rumah dan lingkungan. Banyak penyemprotan disinfektan dilakukan
hingga ke rumah-rumah dan sepanjang jalan.

Dari sisi
kebersihan batiniah, orang berusaha lebih dekat dengan Tuhan, dengan memperbanyak
ibadah dan do’a dari rumah masing-masing. Namun ironisnya, ada saja yang
mengatakan pandemi ini adalah sebuah konspirasi global, bahkan pemerintah dan majelis
ulama telah berkoalisi menjadi musuh Tuhan karena membatasi bahkan menutup
aktifitas ibadah di masjid-masjid.

Menghadapi
kondisi seperti ini, proporsionalitas sikap sangat dibutuhkan, agar kehidupan
tetap berjalan secara seimbang. Sikap berlebih-lebihan dalam segala hal tentu
tidak baik, termasuk berlebih-lebihan dalam rasa takut, sehingga menyingkirkan
rasionalitas.

Rasa takut (khaûf)
tetap harus ada, untuk melahirkan sikap kehati-hatian dalam segala hal. Namun
harus tetap diimbangi dengan harapan (rajâ`) agar tidak berpotensi
melahirkan stress maupun gangguan psikologis lainnya.    

Kemunculan berita
tentang ancaman bahaya sesungguhnya tidak hanya muncul akhir-akhir ini saja,
melalui media-media yang menggambarkan bahaya virus corona dan virus menular
lainnya.

Jika kita
menelaah kitab suci umat Islam, betapa banyak berita di dalamnya tentang ancaman
dan bahaya. Inilah yang dalam banyak literatur tafsir dan ilmu al-Qur`an
disebut dengan al-wa’îd (berita yang mengandung ancaman) sebagai lawan
dari al-wa’du (kabar yang mengandung janji yang menggembirakan) atau al-tarhîb
(berita yang menakutkan) sebagai lawan dari al-targhîb (berita yang
menyenangkan).

Al-Qur`an
sejak masa diturunkan telah menggambarkan adanya ancaman bagi orang-orang yang
tidak beriman, suka berbuat zalim dan cenderung melakukan kerusakan-kerusakan
di muka bumi.

Namun ancaman
itu tak berdampak pada sikap kaum muslimin dalam menjalani kehidupan dunia,
untuk menjadi saleh secara personal maupun sosial. Sikap takabur dan egoisme
masih begitu mencolok di tengah masyarakat.

Ancaman neraka
yang digambarkan dengan begitu dahsyat dan menakutkan tak kunjung mendorong
manusia untuk menjadi lebih baik. Bisa jadi hal ini disebabkan karena ancaman
itu bersifat ghaib, tidak tampak secara nyata, sehingga masih banyak
dikesampingkan.

Hal ini
berbeda dengan ancaman bahaya yang memang bisa disaksikan secara nyata, seperti
dampak buruk virus corona yang menyebabkan kematian dengan proses penularan
yang begitu cepat.

Maka peristiwa
inipun, selain bisa menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat akan ajaran
agama, juga menunjukkan tingkat keimanan kepada Tuhan yang sebatas doktrin
saja.

Oleh karenanya, penting kiranya untuk menyeimbangkan semuanya; antara takut dan harapan, antara akal dan perasaan, antara iman dan ilmu pengetahuan, sehingga proporsionalitas sikap dalam menjalani kehidupan akan menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan.

Banyumas, 2
April 2020

Mohammad Luthfil Anshori

Kontributor

  • Mohammad Luthfil Anshori

    Ustadz Mohammad Luthfil Anshori, Lc. M. Ud. Lulusan Universitas Al-Azhar, Peneliti dalam Kajian Tafsir AL-Qur'an, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Rosyid Rembang, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang Rembang.