Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Adab Ngaji Ihya Ulumiddin Sesuai Tuntunan Habib Abdullah Al-Haddad

Avatar photo
35
×

Adab Ngaji Ihya Ulumiddin Sesuai Tuntunan Habib Abdullah Al-Haddad

Share this article

Kemasyhuran Imam Ghazali dan kitab Ihya Ulumiddin telah harum di mana pun, baik di dunia Islam atau di Eropa, di mata muslim atau nonmuslim.

Di belahan bumi Hadramaut, kitab Ihya telah menjadi kitab rujukan utama dalam ber-tasawwuf dan dipegang teguh oleh para salafus saleh.

Sebagai perbuatan yang lahir dari kemauan dan pemikiran sehingga memiliki tujuan yang jelas, akhlak menurut Imam Ghazali adalah puncak dari ajaran Islam. Akhlak lazim memoderatkan perilaku manusia yang cenderung ekstrim dan berlebihan. Ketika manusia cenderung memilih hidup bergelimang harta, maka akhlak mengarahkan kecenderungan tersebut untuk ditarik agar ia mau hidup serba spiritual.

Dengan demikian, akhlak yang kemudian masyhur dengan tasawuf memfokuskan ajarannya pada kehidupan yang seimbang lahir batin. Seimbang lahir batin itu diaktualkan dalam kehidupan yang diistilahkan “serba bersih” secara lahir dan “serba suci” secara batin.

Mengenai hal ini, Imam Ghazali tertarik untuk menulis sebuah karya yang dapat dijadikan penopang bagi para salikin yang hendak mendekatkan diri kepada Allah swt. Hingga, ketika di penghujung hayatnya beliau berhasil menumpahkan ideologi pemikirannya kepada sebuah kitab yang diberi nama Ihya Ulumuddin.

Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Aydrus menerangkan, “Kami tidak mendapati manhaj dan metode mendekatkan diri kepada Allah swt kecuali dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi, dan semua itu telah diuraikan oleh Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam kitabnya, kitab yang merupakan keajaiban zaman, yang ia namai Ihya Ulumuddin, kitab yang menerangkan isi dari kitabullah, sunnah Nabi, manhaj dan kebenaran. Aku bersaksi, barangsiapa yang mengkaji Ihya, maka ia termasuk golongan yang diberi petunjuk (hidayah).”

Imam Nawawi sampai berkata, “Kitab Ihya hampir menyerupai Al-Qur’an.” Menurut Habib Abdullah Al-Haddad, ucapan Imam Nawawi mengandung dua kemungkinan. Pertama, apakah karena banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dalam kitab Ihya’ yang dijadikan sebagai dalil. Kedua, ataukah karena Ihya merupakan mukjizat, dalam artian tidak ada pendahulu yang menciptakan manhaj serupa sebagaimana yang dicetuskan Imam Ghazali. Menurut Habib Abdullah, takwil yang kedua lebih mendekati kebenaran.

Alangkah istimewanya kitab Ihya, maka tidak sembarang orang dapat membaca dan menelaah kitab tersebut.

Tawadhu dan Ihya’ Ulumiddin

Dalam kitab Tasbitul Fuad bi Dzikri Kalamil Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Syekh Ahmad bin Abdul Karim murid Habib Abdullah Al-Haddad menyebutkan, bahwa gurunya (Habib Abdullah Al-Haddad) telah menentukan adab yang lazim dipenuhi oleh para salikin sebelum mengkaji Ihya Ulumuddin.

Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad memaparkan, adab yang perlu dimiliki oleh para salikin yang hendak mengkaji Ihya ialah sikap tawadhu.

Tawadhu ialah rasa rendah hati, tidak meyakini kedudukan dirinya lebih mulia daripada kedudukan orang lain di sisi Allah swt. Meski begitu, ia tetap wajib memuliakan dirinya sendiri dari perkara-perkara keji menurut syariat, ujar Habib Ali bin Abdullah Al-Hamid selaku Munshib Al-Hamid di Hadramaut.

Lain halnya dengan sombong, yaitu kebanggaan dalam diri karena meyakini kedudukannya melebihi kedudukan orang lain. Kesombongan merupakan sifat pada diri manusia, sedangkan takabbur adalah ekspresi dari kesombongan yang ada dalam diri dikeluarkan melalui anggota tubuh.

Baca juga: Ketika Imam Al-Ghazali Membahas Cinta

Alkisah, ada seseorang berkunjung kepada Habib Abdullah Al-Haddad berharap untuk dapat menelaah kitab Ihya’. Lalu Habib Abdullah berkata, “Apabila kamu termasuk orang yang tawadhu, maka kami tidak akan mencegahmu untuk menelaah kitab Ihya, karena siapa saja yang tak mengerti esensi tawadhu, ia akan takabbur dalam menelaah. Namun, apabila kamu ingin bertawadhu, maka telaahlah di dalamnya (Ihya).”

Pada dasarnya, kitab Ihya diperuntukkan bagi mereka yang telah mampu membentengi hatinya dari sifat-sifat tercela, atau ditujukan pula bagi mereka yang ingin meraih derajat kemuliaan di sisi Allah dan rasul-Nya. Di dalamnya terdapat rahasia-rahasia dan cahaya ilahi, tidak sempurna keimanan seseorang kecuali jika ia mampu menunaikan isi dari kitab Ihya.

Setelah memahami kedudukan kitab Ihya yang nyaris menyamai Al-Qur’an, maka Ihya pun pantas untuk mendapatkan perlakuan khusus nan istimewa layaknya Al-Qur’an. Sebagaimana Al-Qur’an yang tak akan memberi pengaruh positif kepada pembaca yang memiliki sifat takabbur, begitu pun Ihya, ia tidak akan memberikan cahaya ilahi jika dibarengi dengan rasa takabbur (sombong) dan ujub (berbangga diri).

Selain adab dianjurkannya bersuci secara hissi (mensucikan diri dari hadats dan najis/ kotoran lahiriah), Habib Abdullah pun menambahkan, lazim mensucikan diri secara maknawi sebelum mengkaji Ihya, yaitu dengan melipurkan seluruh sifat tercela yang melekat dalam hati, seperti iri, dengki, sombong, dan berbangga diri. Namun terkadang, mayoritas masyarakat justru mengacuhkan hal ini dan menganggapinya sepele.

Rasionalnya, bagaimana mungkin ia bisa mendekatkan dirinya kepada Allah swt, sedang dalam hatinya masih terbesit sifat sombong dan berbangga diri, bukankah kedua sifat tersebut bersumber dari setan? Layaknya Iblis yang terusir dari surga karena kesombongan yang dimiliki, maka tak heran jika seorang hamba tak mampu menggapai rahmat Allah jika masih memiliki sifat sombong.

Rasulullah Saw bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ.

“Tidak bakal masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan meski sebesar biji sawi.”

Sifat tawadhu (rendah diri) pada tiap orang tergantung makrifatnya pada Tuhannya, serta pengetahuannya akan diri sendiri, karena orang yang sombong, secara tidak sadar telah menyaingi Allah pada sifat-Nya yang tidak pantas dimiliki kecuali oleh diri-Nya saja. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits Qudsi:

العَظَمَةُ إِزَارِيْ، وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَائِيْ. فَمَنْ نَازَعَنِيْ فِيْهِمَا قَصَمْتُهُ

“Kesombongan adalah pakaian-Ku dan keagungan adalah selendang-Ku. Barang siapa yang menyaingi-Ku pada keduanya pasti Aku hancurkan.”

Berdasarkan uraian di atas, seyogiyanya para salikin agar lebih ekstra lagi dalam memerhatikan adab-adab sebelum mengkaji dan menelaah kitab Ihya. Adab memperlakukan Ihya tak beda jauh layaknya adab kita ketika hendak membaca dan menelaah Al-Qur’an, perlu menjaga diri dari kotoran lahir dan batin. Dan Habib Abdullah, lebih memfokuskan kepada kesucian secara batin. Inilah prioritas utama yang patut dijaga oleh seorang mukmin. Yang demikian itu agar teraihnya rahmat dan karunia ilahi kepadanya. Wallahu a’lam bis showab.

Referensi:

  • As-Suluk al-Asasiyah Fima Yajibu ala’ Abnai’ Ummah Al-Islamiyyah, karya Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah.
  • Manhaj as-Sawi Syarh Thariqah Ali Ba’alawi, karya Habib Zein bin Ibrahim bin Smith.
  • Syarah Ainiyyah Nadzom Imam Al-Quthub Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, karya Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi.
  • Tasbiitul Fuad bi Dzikri Kalam al-Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, karya Syekh Ahmad bin Abdul Karim.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.