Artikel
Bagaimana Cara Islam Masuk ke Nusantara Tanpa Darah?
Islam Nusantara punya karakter yang khas. Ia datang melalui perahu yang berlayar membawa rempah dan sutra. Pedang para saudagar tersimpan rapi dalam sarungnya. Islam menyebar dengan mulus, tanpa ada darah sedikitpun.
Bangkitnya kekuatan muslim jelas punya peran dalam penyebaran Islam ke Nusantara, namun para Sufi juga memiliki peran cukup besar. Selama berabad-abad, Nusantara menjadi kepaulauan dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Namun, para ahli sejarah masih terus bertanya, bagaimana asal-usulnya?
Melihat kembali sejarah Islam di kepualauan yang membentang dari samudra pasifik hingga hindia, terlihat jelas signifikasinnya, meskipun sampai sekarang muncul perdebatan apakah muslim Indonesia sudah mulai meninggalkan ajaran pluralisme Islam versi mereka.
Yang menarik dari penyebaran ajaran nabi Muhammad SAW di Asia Tenggara adalah, tidak adanya konflik penaklulkan besar-besaran sama sekali. Tersebar secara bertahap dan bisa dikatakan terlambat menurut pendapat pakar sejarah Dr. Carool Kersten seperti dikutip trtworld. (25/8)
"Bukti pertama penduduk lokal yang memeluk Islam di Indonesia saat ini dapat kita teliti tidak lebih dari abad ke-13. Kemudian kita menemukan makam-makan raja dengan nama dan tulisan Arab yang menunjukkan para pembesar waktu itu memeluk Islam" katanya.
Pada abad ke-8 pasukan muslim mulai berpetualang keluar dari jazirah Arab. Muslim mulai memegang kendali Spanyol tahun 720-an, menguasai daerah Sindh dan Multan (Pakistan) beberapa tahun sebelumnya dengan pasukan yang dikomandi Muhammad bin Qasim.
Dalam buku, A History of Islam in Indonesia, Dr. Kersten yang mengajar di Kings College Longdon mengatakan bahwa di Indonesia, Islam datang dengan damai, sangat bertolak belakang dengan penyebaranya di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan yang menggunakan peperangan.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa batu nisan abad 13 bertuliskan Sultan Malik Al-Salih yang ditemukan di Sumatra adalah titik awal diseminasi Islam di Nusantara. Batu nisan seorang penguasa di ujung timur Indonesia yang memeluk Islam.
"Fakta bawah dia mengadopsi title Arab dan menamai dirinya sendiri seorang 'Sultan' dan bukan 'Raja' adalah bukti konkrit bahwa seseorang dari Asia Tenggara memutuskan untuk masuk Islam yang kemudian diikuti oleh masyarakat umum," tambah Dr. Kersten.
Tapi, hal yang sampai sekarang masih menjadi tanda tanya bagi para sejarawan dan arkeologis adalah, desain pola dan motif yang terdapat di batu nisan tersebut sering kita temui di Gujarat, India. Apakah Islam datang dari Gujarat?
Apa yang Terjadi di Abad 13?
Gujarat terkenal dengan para pelancong dan pedagang mereka yang tidak takut untuk menjalankan bisnisnya sampai ke ujung dunia. Di antara pedagang tersebut banyak yang beragama Islam.
Rute perdagangan menjadi intsrumen penting penyebaran Islam. Misalnya, ada komunitas besar orang-orang Arab Hadhrami dari Yaman yang berada di Indonesia.
Muslim Cina juga memiliki pengaruh yang tidak bisa kita sepelekan. Buktinya, banyak pakar yang mengakui pengaruh Cheng Ho di tanah Jawa, seorang laksamana pemberani abad ke-15 dari Cina.
"Teori tersebarnya Islam di Indonesia melalui pedagang memang menarik. Namun kita harus berhati-hari mengambil kesimpulan. Rute perdagangan memang digunakan untuk berdakwah, tapi perlu diingat pedagang adalah pelaku bisnis. Mereka bukan misionaris atau Da'i."
Salah satu teori alternatif menawarkan bahwa mungkin beberapa Sufi juga melewati rute yang sama. Di mana meraka mendakwahkan Islam di sepanjang jalur. Islam tradisional (yang dijalankan di Nusantara) mirip sekali dengan aliran mistisisme Barelvi di Pakistan dan India.
Orang melayu Indonesia dan Malaysia bahkan sudah melakukan perdagangan dengan orang Arab dan Persia jauh sebelum masuknya Islam. Anggapan bahwa Islam telat menancapkan pengaruhnya di Asia Tenggara disinyalir karena masalah ekonomi di wilyah tersebut.
Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi lautan menjadikannya kurang prospek untuk penanaman, penduduknya hanya mengandalkan perdagangan dari laut. Mereka merasa terancam oleh kerajaan-kerajaan Hindu di Burma, kamboja, dan Thailand yang makmur dan sejahtera berkat sungai-sungai yang menghasilkan air untuk petani.
"orang-orang Indonesia tidak mau lagi membayar upeti kepada raja-raja Hindu-Budha di sana. jadi mereka mencoba mencari aliansi politik baru di Timur Tengah dan Afrika," kata Dr. Kersten
Beberapa pakar mengatakan bahwa struktur hierarki pemerintahan yang ketat, di mana sang penguasa menjadi keputusan terakhir mungkin juga menjadi alasan cepatnya penduduk lokal pindah agama.
"Tidak seperti kerajaan Mughal di India yang strukturnya berbeda. Mereka memiliki nizam, amir, dan maharaja yang memerintah. Tapi seorang raja di Asia Tenggara merupakan pusat kekuasaan. Raja memiliki pengaruh yang besar," kata Nawab Osman, salah satu pakar Studi Asia Tenggara dari Singapura.
Selain mengambil peran sebagai pemimpin agama, para raja muslim juga mulai mencoba menjalin aliansi dengan kesultanan Turki Usamani.
Setelah takhluknya Konstaninopel pada pertengan abad 15, Muslim mengontrol penuh rute maritim internasional, raja-raja di Indonesia melihatnya sebagai peluang untuk gabung dalam jaringan global andai mereka memeluk Islam.
Saat Islam menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia Tenggara, ketika shalat Jum'at sang Imam tidak hanya mendoakan sang sultan tapi juga khalifah kerajaan Turki Usmani, tutur Osman.
Miskonsepsi Orientalis
Wayang juga ikut membantu penyebaran Islam di indoneisa. Di mana 90% populasi Indonesia beragama Islam.
Seperti halnya di Asia Selatan, mayoritas masyarakatnya sering menggunakan wayang dan orang-orangan untuk menceritakan kisah heroik tokoh-tokoh Hindu, seperti kisah Ramayana.
"Pertunjukan wayang merupakan salah satu bagian besar budaya Indonesia. Jadi yang dilakukan para Da'i adalah mengganti karakter Ramayana dengan figur-figur Islam seperti kisah Sahabat Nabi SAW contohnya. Ini menjadi cara yang sangat efektif yang menjadikan masyarakat mau masuk Islam."
Namun, dalam sejarah Indonesia yang ditulis di bawah pemerintahan Belanda mulai tahun 1800-an sampai 1900-an, apresiasi budaya semacam itu diubah dan diberi makna baru.
"Jika kamu melihat tulisan orang-orang orientalis periode itu, kamu akan menemukan seolah-olah orang muslim Indonesia tidak mempraktekkan ajaran Islam. Kamu akan menemukan bahwa mereka terus memuja dan menyembah elemen tertentu dalam kepercayaan Hindu. Hal ini sangat tidak benar. Muslim tidak akan pernah melakukan hal semacam itu, seperti halnya menyembah dew, tidak akan pernah," lanjut Osman.
Dan Umat muslim Indonesia juga bukan umat yang pasif. Meraka juga turut aktif dalam penyebaranya.
"Penyebaran Islam di Indonesia melalui proses yang hybrid. Melalui sistem yang fluid, di mana orang-orang lokal tidak langsung meninggalkan ajaran lama langsung berpindah ke Islam. Bukan. Secara bertahap," kata Dr. Kersten.
Ketika Islam sudah mulai merata, para sarjana muslim Indonesia mulai hijrah. Bepergian ke negara-negara Islam untuk belajar agama. Mayoritas menguasai bahasa Arab dan Persia. Mereka pun akhirnya kembali ke Indonesia dengan pengetahuan Islam yang sangat dalam.
"Seharusnya Islam tidak dilihat sebagai hal yang kaku dalam budaya Asia Tenggara. Mereka ini juga bagian penting dalam dunia Islam".
Putar Balik Islamisasi
Beberapa tahun belakangan, kelompok-kelompok keagamaan di indonesia mendapat sorotan, di tengah kekhawatiran bahwa kelompok ekstrimis mulai menguasai kancah perpolitikan.
Pilgub Jakarta tahun 2017, di mana seorang keturunan Cina yang beragama Krsiten yang dijatuhkan oleh sekelompok Islam menjadi contoh naiknya praktik intoleran, kata Osman.
Osman menilai ini menjadi masalah ketika topik perdebatan berpusat pada pertanyaan apakah kelompok "islmis" sedang naik? Narasi yang mulai muncul terang-terangan ketika partai-partai Islam mulai mendapat banyak suara di pemilu 1999.
Mantan presiden Suharto, yang memimpin selama 31 tahun mencoba membatasi pergerakan kelompok-kelompok politik Islam. Suharto juga mencoba memangkas peran agama dalam pemerintahan.
Tapi itu bukan berarti kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi besar dan banyak pengikut setelah lengsernya Suharto. Jauh sebelum Suharto turun, NU dan Muhammadiyah sudah menjadi oragnisasi Islam terbesar di Indonesia. Dalam pemilu 1955 pun, kelompok Islam dapat suara 40-45%. tutur Osman.
Akhir-akhir ini, bahkan kelompok moderat seperti NU merasa dalam ancaman gerakan Arabisasi terhadap Muslim Indonesia. NU pun mencoba untuk menggalakkan kampanye Islam Nusantara. Islam yang damai, yang santun, yang nasionalis.
"Ulama-ulama NU dan Muhammadiyah merasa bahwa Islam moderat sekarang dalam ancaman gerakan-gerakan sejenis Salafi, HTI dan IM.
"tapi saya pikir, apa yang terjadi akhir-akhir ini karena adanya perpecahan dalam tubuh kelompok Islam tradisional sendiri. Banyak anggotanya yang justru malah medapat posisi tinggi di kelompok eskstrimis. tutup Osman.
Pria asal Tuban, Jawa Timur. Alumni Universitas Al-Azhar. Selama di Kairo, aktif di LSBNU PCI NU Mesir. Meminati musik, kopi, seni dan sejarah. Penggila berat Manchester United. Sekarang menjadi editor kreatif video di channel Youtube Sanad Media.
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024