Artikel
Bantahan atas Gugatan yang Melarang Maulid Nabi
Terdapat sekian banyak persoalan atau gugatan terhadap tradisi Maulid Nabi. Bahkan hal ini selalu menjadi bahan kontroversi di kalangan masyarakat muslim sejak zaman dahulu. Bukanlah hal yang aneh jika kita kerap mendengar perdebatan tersebut di zaman sekarang.
Pada dasarnya, Maulid Nabi merupakan suatu kegiatan atau adat yang telah melekat di masyarakat Islam. Adat ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh para ulama dan cendekiawan muslim. Mayoritas umat Islam sangat antusias dalam menyambut bulan kelahiran Rasululllah, kekasih mereka, sosok penebar rahmat bagi seluruh mahluk Allah di alam semesta.
Sama sekali tidak benar apa yang dikatakan sebagian orang yang berpersepsi bahwa maulid adalah bid'ah, dan segala sesuatu yang bid'ah adalah sesat. Tolak ukur yang mereka gunakan hanya sebatas pemahaman dari teks hadist saja, tanpa meinterpretasikan makna yang terkandung di dalamnya. Ideologi mereka juga didominasi oleh syahwat, hingga secara sepihak mengklaim bahwa apa yang mereka yakini adalah benar. Hal ini tentunya keliru, bahkan apa yang mereka yakini itu telah menjadi kontroversi dan menyimpang dari ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
Persoalan bid'ah hasanah tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum muslimin yang tercaver dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan.
Mayoritas ulama Ahlu Sunnah bersepakat, bahwa hukum merayakan Maulid Baginda Nabi Muhammad Saw serta mendengarkan siroh (perjalanan kisah hidup) dan pujian-pujian kepadanya adalah mubah (boleh).
Kelompok yang meyakini bahwa maulid itu hanya disunnahkan pada malam atau waktu tertentu, tergolong kelompok ahlu bid'ah. Karena Maulid Nabi tidak terikat hanya pada satu ruang dan waktu, akan tetapi disunnahkan setiap saat. Adapun kebanyakan umat Muslim merayakannya pada bulan Rabi'ul Awwal, hal ini sesuai dan selaras dengan waktu kelahirannya sehingga lebih mudah diterima oleh khalayak.
Dalam menghadapi ideologi minoritas umat Islam, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Khodimul Ilmi as-Syarif bil Baladil Haram menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah adat, bukan ibadah. Setidaknya dari sini kita dapat mengetahui, jika seseorang berkata bahwa Maulid adalah sunnah yang disyariatkan, maka kita akan kembali bertanya, "Manakah dalil yang menunjukan kesunnahan tersebut?" Sedangkan jika dia berkata bahwa Maulid Nabi adalah adat (kebiasaan), maka kita katakan padanya,"Kalau begitu, lakukanlah semaumu!"
Oleh karena itu, apakah setelah ini masih ada sekte yang mengingkari perkara mubah seperti Maulid? Kita semua tahu bahwa terdapat perbedaan yang begitu mencolok antara adat dan ibadah.
Jika kita menjalankan adat, maka itu dibolehkan secara mutlak selama tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan jika kita mengerjakan ibadah yang tidak disyariatkan (membuat ibadah baru), maka sudah jelas bahwa hukumnya adalah bid'ah dan haram. Berkenaan dengan ini, Imam Syafii berkata,
ما جادلت عالما إلا غلبته، وما جادلت جاهلا إلا غلبني
"Tidaklah aku berdebat dengan orang alim, kecuali aku akan mengalahkannya. Dan tidaklah aku berdebat dengan orang bodoh kecuali dia akan mengalahkanku."
Ucapan Imam Syafi’i di atas menunjukan bahwa beliau mengkategorikan sekte yang mengingkari dan melarang atas tradisi perayaan Maulid termasuk orang bodoh (tidak berilmu).
Adat Maulid memainkan perananan penting sebagai media dakwah dalam menyebarkan agama Islam. Hal ini merupakan kesempatan emas yang tak boleh terlewatkan. Oleh sebab itu, para ulama mengemban tugas mulia untuk mengingatkan pada masyarakat tentang Nabi Muhammad Saw. Menjelaskan bagaimana ahlak, adab, keadaan, kisah hidup, metode mu'amalah serta tata cara ibadahnya. Dan menasihati mereka agar menjauhi perkara bid'ah yang kerap kali disebarkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab.
Selain menjadi ajang perayaan hari kelahiran Nabi, perkumpulan tersebut juga bisa menjadi prantara silaturahmi antar sesama muslim, yang demikian itu, mampu menumbuhkan rasa kecintaan dan mengokohkan tali persaudaraan. Tradisi Maulid ini selaras dengan perintah Allah swt yang tercantum dalam surat Yunus ayat 58:
"Katakanlah dengan kemuliaan dan rahmat-Nya, oleh karena itu bergembiralah kalian karena itu lebih baik."
Dalam kitab Ad-Durrul Mansur, Imam Suyuthi beranggapan sebagaimana yang telah dinukilnya dari riwayat Ibnu Abbas, bahwa maksud kemuliaan pada ayat tersebut ialah ilmu, sedangkan rahmat-Nya ialah dengan diutusnya nabi Muhammad Saw.
Riwayat yang mendukung bolehnya tradisi ini, tercantum dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa li Suyhuti, yaitu perbuatan Rasulullah Saw yang telah mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah beranjak dewasa. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa beliau sudah diaqiqahkan oleh kakeknya Abdul Mutthallib ketika berumur tujuh tahun. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghalanginya untuk melakukan hal serupa kedua kali, bertujuan menunjukan rasa syukurnya kepada Allah.
Dalil lain yang menunjukan bolehnya tradisi Maulid Nabi ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadits tersebut menjelaskan bagaimana Rasulullah Saw mensyukuri hari kelahirannya sendiri dengan berpuasa.
عن أبي قتادة: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم الإثنين؟ فقال: فيه وُلِدْتُ وفيه أُنْزِلَ عليَّ.
Dari Abi Qatadah, Rasulullah Saw pernah ditanya mengenai puasa pada hari senin? Beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan pada hari itu juga diturunkan kepadaku (Al-Qur'an)." (HR. Muslim)
Manfaat lain yang terkandung dalam tradisi perayaan maulid ialah pembacaan shalawat, tentunya hal tersebut adalah perkara yang diminta oleh syariat. Semakin banyak shalawat yang dibaca, semakin dekat pula ikatan hati kita dengan sang kekasih Nabi Muhammad Saw. Firman Allah yang menyebutkan seputar sholawat:
"Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman! bersholawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya." (QS: Al-Ahzab: 56)
Imam Khozin meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini turun, Sayyidina Abu Bakar Ra berkata kepada kepada Nabi, "Tidaklah Allah memuliakanmu wahai Nabi, melainkan kami telah ikutserta dalam hal itu."
Dari kisah di atas, kita dapat mengetahui, bahwa sedari zaman sahabat, kegiatan memuliakan Nabi sudah menjadi tradisi wajib bagi mereka. Bahkan, hal itu dilakukan sebelum turunnya firman Allah swt.
Kelompok yang berfikiran dangkal mengenai kelegalan maulid, mesti ditanyakan akan keimanan dalam hatinya. Jika dia berkeyakinan bahwa perbuatan ini adalah bid'ah yang sesat, maka dia telah mengingkari akan nilai-nilai syariat yang terkandung di dalamnya. Kendati demikian, tidak semua perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh salafussalih adalah haram, akan tetapi ada kalanya mereka meninggalkan perbuatan tersebut demi menghindari fitnah di zamannya.
Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar.
Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Begitu pula sama halnya dengan maulid, perkara tersebut memang bid'ah, namun kita tegaskan bahwa bid'ah di sini adalah bid'ah hasanah.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, memaparkan bahwa maulid merupakan bid'ah hasanah dan telah disepakati atas kesunnahannya, begitupun dengan kelompok yang melakukan hal tersebut dengan mengadakan perkumpulan, hukumnya sama yaitu bid'ah hasanah.
Imam Suyuthi berkata, "Maulid adalah bid'ah hasanah, dan yang mengerjaknnya berhak mendapatkan pahala. Yang demikian itu, karena di dalam Maulid terdapat kegiatan pengagungan terhadap Nabi Muhammad Saw, serta gembira atas hari kelahirannya ke muka bumi."
Syekh Ahmad Zaini Dahlan beropini, "Dan terrmasuk sarana penghormatan kepada nabi ialah dengan membangkitkan rasa gembira pada malam kelahirannya serta membaca Maulid."
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi mengutarakan pendapatnya, "Dan sebagai rasa penghormatan atas tradisi ini, hendaknya kita menunjukan rasa senang dan bahagia dengan mengingatnya, yaitu dengan mengerjakan kegiatan rutin Maulid Nabi Muhammad Saw setiap tahun." Wallahu a'lam bis showab.
Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024