Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Cangkang Siput dalam Seni Arsitektur Islam

Avatar photo
26
×

Cangkang Siput dalam Seni Arsitektur Islam

Share this article

Dinasti Abbasiyah yang berbasis di Baghdad menguasai wilayah terbentang hingga ke Iran, Mesopotamia, Arabia, dan negeri-negeri di Mediterania Timur dan Selatan. Periode antara 750 sampai 900 Masehi disebut-sebut sebagai era keemasan Islam.

Ketika Dinasti Umayyah selaku rivalnya cenderung memanfaatkan dan merenovasi bangunan-bangunan pra Islam, tidak demikian dengan Dinasti Abbasiyah. Dinasti yang disebut terakhir ini rata-rata mendirikan tempat-tempat peribadatan dari nol, demikian pula istana, benteng-benteng pertahanan, perumahan, pasaraya komersil, bahkan fasilitas olahraga seperti sirkuit balap dan lapangan polo.

Sayang sekali saat ini tak tersisa sedikit pun jejak dari bangunan-bangunan megah yang konon berdiri kokoh di Baghdad, latar utama 1001 Malam yang berdiri di bawah tangan Al-Manshur dan Ar-Rashid. Seiring berlalunya waktu, bangunan-bangunan tersebut mengalami kerusakan, bertambah parah ketika terjadi perang saudara antara Al-Amin dan Al-Makmun. Pada puncaknya, semua bangunan itu hancur total ketika Hulagu Khan bersama prajuritnya meratakan tanah Baghdad pada 1258 M.

Masjid Agung Samarra dengan menara cangkang siputnya.

Tidak bernasib demikian dengan Masjid Agung di Samarra yang berjarak 100 KM lebih di utara Baghdad. Sebuah bangunan megah lagi nyentrik ini rampung dibangun Khalifah al-Mutawakkil pada tahun 851 Masehi. Masjid Jami’ ini, yang konstruksinya menghabiskan 700.000 Dinar, berbentuk persegi empat dengan bentuk jendela yang melengkung dan dilapisi timah memberikan sinyal adanya pengaruh India. Di masjid ini tidak ada sedikitpun yang menunjukkan adanya mihrab di sisi arah kiblat. Tampaknya ‘mihrab’ merupakan penemuan bangsa Suriah sebagaimana ditunjukkan oleh rancangannya yang hampir menyerupai altar gereja Kristen.

Baca juga: Menelusuri Arsitektur Turki Utsmani lewat Masjid yang Diubah Jadi Gereja

Dari sekian elemen yang ada, yang paling monumental dari masjid Samarra adalah menaranya yang akrab disebut Al-Manarah al-Malwiyah, atau menara yang berkeluk-keluk (twisted minaret). Menara ini dicor dengan batu pasir, keunikannya dibanding menara-menara lain adalah desain spiralnya yang mengerucut setinggi 52 meter ke atas, bagian dasarnya selebar 33 meter, spiral tersebut tidak lain topangan tangga terbuka hingga ke puncak bangunan. Selain diterjemahkan ‘terbelit’, atau ‘berkeluk-keluk’, kata ‘malwiyah’ sering diartikan sebagai ‘cangkang siput’ karena kemiripan pada putaran spiralnya.

Dimungkinkan bahwa desain spiral seperti itu terpengaruh oleh bangunan-bangunan ziggurat[1] di lembah Mesopotamia Kuno dan dataran tinggi Iran sebelah barat, namun dugaan yang lebih masyhur adalah akibat pengaruh Pilar Gor[2] yang dibangun di kekaisaran Sasaniah.

Masjid ibnu Thulun yang kabarnya terinspirasi oleh Masjid Agung Samarra.

Masjid lain yang dibangun Khalifah al-Mutawakkil demikian pula modelnya, yakni Masjid Abu Dulaf (859) yang terletak kurang lebih 15 KM sebelah utara Samarra.

Dalam beberapa sisi, Masjid ibnu Thulun di Kairo boleh jadi sangat terinspirasi dengan Masjid Agung Samarra, lebih-lebih tekstur cangkang siput pada menaranya.

Singkat cerita, Masjid Ibnu Thulun dibangun oleh anak seorang budak dari Turki. Sudah menjadi tradisi terdahulu bahwa perekrutan militer salah satunya dari kalangan budak sahaya, Ibnu Thulun adalah salah satu yang bernasib mujur, hanya selang beberapa musim ia mampu naik pangkat menjadi kesatria pengawal Khalifah.

Pada tahun 868 Masehi ia dikirim ke Mesir untuk menjadi gubernur yang berdomilisi di al-Fusthat. Namun dalam waktu yang relatif singkat, yakni dua tahun, Ibnu Thulun memisahkan diri sepenuhnya dari kepemerintahan Abbasiyah dengan memproklamirkan Dinasti Thuluniyah sebagai khilafah resmi dan independen.

Masjid Ibnu Thulun dibangun antara tahun 876 dan 879 Masehi. Masjid ini menjadi situs penting dalam sejarah peradaban Islam karena beberapa faktor, antara lain karena ia adalah masjid tertua di Kairo yang masih menyisakan bentuk aslinya, tidak mengalami beberapa penambahan serta restorasi masif seperti Masjid Amru ibnu al-Ash. Alasan lain adalah keberadaannya menjadi contoh langka dalam seni arsitektur Islam periode klasik, yakni abad kedelapan sampai kesepuluh Masehi, di mana ketika pengaruh istana Abbasiyah di Irak terbilang dominan. Demikian juga yang menjadikannya istimewa adalah bahwasannya masjid ini, secara akrsitektural, menyajikan salah satu sampel terbaik dalam merancang halaman kongregasi. Halaman kongregasi milik Masjid Ibnu Thulun kurang lebih seluas enam setengah hektar.

Baca juga: Masjid Malika Safiya: Mimpi Abadi Sang Harem Sultan

Ada baiknya menyimak bagaimana novel Katarsis Hitam Putih menggambarkan keindahan ornamen dan struktur Masjid Ibnu Thulun lewat ucapan John kepada seorang wisatawan perempuan dari Kanada:

“Kita harus segera terlelap, besok kita akan mengunjungi Masjid Ibn Thulun. Kita akan mengelilingi sepanjang tepi pelataran masjid untuk menikmati pantulan cahaya yang melahirkan bayangan-bayangan dinding tua itu bermesraan dengan bayangan tubuh kita. Matamu akan terpana dengan lengkukan-lengkukan yang membentuk hiasan pada setiap sudutnya. Dari atas menara kita akan menyaksikan gairah kehidupan kota, kemudian menutup mata dan memaksa pikiran kita melayang jauh ke masa lalu, ke masa beberapa abad lalu, ketika mantan seorang budak mampu mendirikan dinasti dan membangun masjid semegah dan sekokoh itu sehingga masih bertahan hingga hari ini.”

Amanda mulai tersenyum, ia kembali menatap John.

“Dari menara kita akan beralih ke atas atap masjid, sambil menghitung jumlah langkah kita, jengkal demi jengkal. Mendengar irama pijakan kakimu sendiri, aku yakin kamu akan merasa lebih baik.”

Bukti bahwa pola cangkang siput juga menginspirasi khazanah arsitektur modern antara lain terdapat pada Kapel[3] Thanksgiving (1976) yang berlokasi di alun-alun Thanks-Giving di Dallas, Texas, Amerika Serikat. Karena karya mungil tersebut Philip Johnson selaku arsiteknya berhasil memenangkan Penghargaan Arsitektur Pritzker, salah satu ajang paling bergengsi dalam dunia arsitektur saat ini.

***

Glosarium:

 [1] Ziggurat: Monumen besar yang dibangun di lembah Mesopotamia Kuno juga dataran tinggi Iran sebelah barat, lumrahnya berbentuk piramida berundak. Terdapat 32 ziggurat yang diketahui di Mesopotamia dan sekitarnya, salah satu yang paling populer adalah Ziggurat Ur di dekat kota Nasiriyah, Irak.

[2] Pilar Gor: Sebuah panggung berbentuk seperti menara yang dibangun di pusat kota Gor, Sasaniah (hari ini Firuzabad, Iran).

[3] Kapel: Gereja Kecil (di asrama, biara, dan sebagainya)

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.