Artikel
Huruf Jar dan Keindahan Bahasa al-Quran
Malik bin Dinar menceritakan perkumpulannya dengan Hasan al-Bashri, Abul ‘Aliyah ar-Riyahi, Nasr Bin Ashim al-Laisti dan Ashim al-Juhdari Imam Qiraat.
Mereka saling membacakan al-Quran. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, “Ya Abal Aliyah, apa arti Sahwun (lalai) dalam firman Allah:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُون
Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shalatnya.
Abul Aliyah menjawab, “Orang yang ketika shalat lupa sudah berapa rakaat, sedang ganjil atau genap.”
Hasan al-Bashri menyahut , “Diam ya Abal Aliyah, bukan itu yang al-Quran maksud, tapi maksudnya adalah lalai terhadap waktu shalat sehingga terlewat.”
“Tidakkah kalian memperhatikan kalimat al-Quran mengunakan ‘an shalatihim saahun?” ujar hasan al-Bashri berdalil.
Al-Khattabi mengomentari dalil Hasan al-Bahsri ini dalam kitab beliau Bayan I’jazil Quran, “Abul Aliyah berpendapat seperti itu karena tidak membedakan antara huruf Fii (في) artinya di dalam dan huruf ‘an (عن) yang bermakna mujawazah: melampaui atau melewati. Kalau menunjukkan bahwa lalai terhadap rakaat terjadi dalam shalat, maka pilihan kalimatnya adalah “Fii Shalatihim sahuun”.
Satu huruf Jar dalam al-Quran bisa sangat mempengaruhi perubahan makna, bahkan banyak kalimat yang maknanya berubah menjadi antonim ketika berbeda huruf Jarnya. Misal Kata رَغِبَ yang makna aslinya menunjukkan keluasan dalam kehendak. Raghiba bisa ditemani dengan huruf jar ‘an, fii, ila, dan al-Ba.
Kalau fi’ilnya “Raghiba Fii”. Fii maknanya adalah Dzarfiyah (Penempatan) menunjukkan ‘Sesuatu yang diinginkan menempati keinginan. Seakan-akan keinginan adalah sebuah tempat, dan tempat itu hanya berisi sesuatu yang diinginkan. Ini makna dzarfiyah menunjukkan keinginan kuat dan mengosongkan hati hanya untuk sesuatu yang diinginkan. Dalam bahasa Indonesia Raghiba Fii kadang diterjemahkan dengan suka.
Kalau fi’ilnya “Raghiba ‘an”. ‘An maknanya adalah al-mujawazah : melampaui, melewati. Maka artinya berubah menjadi tidak diinginkan dan melewati sesuatu yang diinginkan. Dalam bahasa Indonesia Raghiba ‘an kadang diartikan benci.
Contohnya hadist Rasulullah:
ومن رغب عن سنتي فليس مني
“Barang siapa yang tidak menginginkan sunahku maka bukan dari golonganku.”
Raghiba ‘an sunnah, melewatkan keinginan terhadap sunnah, artinya tidak ingin.
Kalau fi’ilnya “Raghiba Ila”. Ila maknanya adalah Intiha’ al-Ghayah: ujung dari tujuan. Maka makna raghiba ila : Mencurahkan keinginan dan mengarahkannya hanya kepada sesuatu yang diinginkan dan berpaling dari yang selainnya. Misal firman Allah: إنا إلى ربنا راغبون (sesungguhnya kami hanya berharap kepada Allah dan tidak menginginkan selainnya).
Kalau fi’ilnya “Raghiba bi”. Ba’ maknanya adalah al-Ilshaq: melekat atau menempel. Maka sesuatu yang diinginkan menempel erat dengan keinginan. Dalam Bahasa Indonesia biasanya diartikan dengan bakhil atau kikir. Seperti Firman Allah dalam surat Taubah : ولا يرغبون بأنفسهم عن نفسه (tidak pantas bagi mereka (penduduk madinah) lebih mencintai diri mereka daripada diri Rasulullah).
Lihatlah betapa pentingnya memahami huruf jar karena menunjukkan perubahan makna yang signifikan. Karena ini banyak ulama yang menulis kitab ternang huruf jar, seperti al-Jana ad-Dani lil Muradi, maanil huruf lir Rummani, al-Azhiyah lil Harawi, Rashful Mabani lil Malaqi, dan yang paling luas Mughnil labib libni Hisyam al-Anshari. Dan Min Asrari hurufil jar fi Uslubil Hakim punya gurunya guru-guru kami di Fakultas Lughah: Muhammad al-Amin al-Khudhari.
Dan makna huruf jar ini makin rumit ketika al-Quran sering menggunakan fi’il muta’addi bukan dengan huruf jar yang biasa. Tetapi al-Quran selalu tepat memilih kata, setiap ada perubahan dari yang biasa, maka pasti menunjukkan makna dan rahasia.
Mari kita lihat ibarat al-Quran tentang kapal. Kadang al-Quran menggunakan ‘fil fulki’ kadang menggunakan ‘alal fulki’ di atas kapal. Apa bedanya? Apa rahasianya?
فأنجيناه ومن معه في الفلك المشحون
“Dan Kami selamatkan Nabi Nuh dan orang-orang yang besertanya dalam kapal yang penuh muatan).”
Huruf fi di sini menunjukkan makna dzarfiyah: menempati dengan kokoh. Karena ayat ini menggambarkan nikmat Allah yang telah menyelamatkan hamba-Nya dari banjir bandang dan badai. Huruf Fii mengisyaratkan makna mereka kokoh dan merasa aman di dalam kapal dengan perlindungan Allah.
ففتحنا أبواب السماء بماء منهمر وفجرنا الأرض عيونا فالتقى الماء على أمر قد قدر وحملناه على ذات ألواح ودسر تجري بأعيننا
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan pemeliharaan Kami.”
Dalam ayat ini al-Quran menggunakan ‘ala’ ke atas kapal, karena tujuannya adalah menunjukkan kuasa Allah dalam menyelamatkan Nabi Nuh, dan isyarat bahwa kapal meskipun menjadi sebab zahir tapi sebab hakikinya adalah Allah. Kata ala mengisyaratkan agar kita tidak berkeyakinan bahwa yang menyelamatkan adalah kapal. Kata menguatkan itu, karena kapal itu hanya kayu dan paku, Allahlah yang mengangkat dan menyelamatkan mereka.
Di dalam al-Quran, ada 11 kali al-Quran menggunakan “fii” untuk menunjukkan fil fulki dan semaknanya seperti fis safinah dll. Dan ada 6 kali menyebutkan “alal fulki” dan semaknanya, semuanya menunjukkan makna dan isyarat yang hanya bisa ditempati huruf fii dan ‘ala, kalau diubah maka maknanya akan rusak.
Bersambung.
Alumni Al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Asal dari Tanjung, Kalimantan Selatan. Kini tengah melanjutkan studi jenjang S2 Al-Azhar. Meminati kajian Manthiq dan Balaghah
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024